Home » Dan at The Movies » ATHIRAH (2016)

ATHIRAH (2016)

ATHIRAH: AN IMPRESSIVE BEAUTY THAT RARELY REACHED ITS PEAK

Sutradara: Riri Riza

Produksi: Miles Films, 2016

athirah

Dari sebuah PH yang menjadi pionir kebangkitan film Indonesia, Miles Films dengan Mira Lesmana dan Riri Riza sebagai pentolan utamanya, sudah menjelma jadi sebuah brand name yang kuat dalam industri perfilman kita. Ini seperti apapun yang mereka produksi, walau ada satu-dua yang dipandang gagal baik dalam resepsi kritikus maupun box office, nama Miles sudah jadi sebuah jaminan yang selalu layak ditunggu. Paling tidak, mereka punya tanggung jawab terhadap karya yang mereka hasilkan. Ada estetika sinematis dan sensitivitas yang luarbiasa terjaga dari karya-karya itu, yang akhirnya menggaris batas perbedaan dengan pencapaian sineas lain. Kala mereka menggarap tema yang sudah digarap sineas lain bahkan bukan sebagai trendsetter, di tangan Mira dan Riri dengan pendekatannya, tema-tema itu, seberapapun usangnya, bisa berubah jadi emas.

Dalam latar pengenalan wilayah, misalnya, yang selalu jadi background menarik di film-film mereka. Dari Belitong, Sumba bahkan Atambua. Lantas sebut lagi yang lain. Dari film anak-anak, remaja hingga biopik. ‘Athirah’ yang masih tak jauh dari yang terakhir disebutkan, merupakan biopik dari ibunda Wakil Presiden Jusuf Kalla, di tangan sineas lain, mungkin bisa berakhir sebagai biopik narsis penuh glorifikasi visual yang biasanya kita lihat.

Tapi lihat ‘Athirah’. Kali ini memindahkan sorotannya ke Makassar dengan distinct culture Bugis yang terangkat begitu indah, bahkan kala mereka harus menyenggol nilai-nilai ke-Islam-an dalam membalut konflik poligami dalam source yang diangkat dari novel biografi karya Alberthiene Endah itu – ‘Athirah’ tak lantas mengikut trend drama reliji menye-menye yang sudah ada. Estetika sinematis dan sensitivitas-lah yang lantas menjadikan Mira-Riri ada di garis beda dengan yang lain. Ia tak semata komersil dalam meletakkan dayatarik ke tujuan akhir sebuah film yang tak lengkap tanpa punya penonton, tapi juga pantas disebut film ‘serius’ kalau Anda terlalu berhati-hati memakai istilah arthouse, tanpa sekalipun meninggalkan kecantikan dalam cara bertutur.

Dan memang benar, ‘Athirah’ lewat memoir itu, bukanlah semata biopik biasa. Ia lebih berupa napak tilas historis dari kacamata seorang anak yang begitu menghargai sang Ibu sebagai kekuatan moral yang membentuk pendewasaannya. Di situ pula, peran Ucu (Jusuf Kalla remaja yang diperankan oleh Christoffer Nelwan dengan cukup bagus) menjadi seolah soulmate Athirah (Cut Mini) dalam pilihan storytelling-nya yang tak biasa oleh Riri. Senada dengan sederet film-film Zhang Yimou di era awal ‘90an, Riri tak perlu menghadirkan banyak dialog tetapi memilih visual yang bercerita bersama simbol dan menangkap emosi lewat ekspresi dari face close up shots dari para karakternya.

Lewat sepenggal adegan pembuka yang begitu cantik dihadirkan oleh Riri bersama Aditya Ahmad (protege Miles dari shortSepatu Baru’), kita dibawa untuk mengenal sosok Athirah saat ia bersama suaminya, Haji Kalla (seniman Sulawesi Selatan Arman Dewarti), mengungsi dari Bone ke Makassar di tengah situasi seusai perang kemerdekaan yang masih bergejolak. Melanjutkan kehidupan mereka dengan bahagia dan terhormat bersama bisnis suaminya yang mapan, pernikahan mereka akhirnya diterpa badai dengan Haji Kalla yang memilih beristri lagi tanpa sepengetahuan Athirah yang malah belakangan mendengarnya dari gunjingan orang lain. Meski berat, Athirah mencoba segala cara untuk tetap bisa tegar mempertahankan keluarganya. Ia bangkit – jatuh dan bangkit lagi, tapi satu yang tak pernah dilepasnya adalah kecintaannya pada orang-orang yang ia cintai, Ucu dan kedua saudara perempuannya, serta sang ibu (Jajang C. Noer) di balik nilai-nilai keluarga, agama dan keberadaaannya sebagai wanita.

Nyaris tanpa tangis dan akting gaduh-gelisah dari penempatan karakter dan pendekatan storytelling-nya, Riri, lewat skrip minim dialog yang ditulisnya bersama Salman Aristo, justru bisa menohok segala sisi penuh sindirannya jauh lebih kuat bagi penonton yang mau bersabar menerjemahkan segala simbol dan ekspresi akting yang ia hadirkan. Walau sebuah biopik tetap tak bisa lari dari rupa glorifikasi lewat POV penggagasnya, ia membentuk karakter Athirah dengan luarbiasa halus, penuh sensitivitas serta manusiawi bahkan bersedia menyelami sisi gelap yang biasanya jadi sesuatu yang layak ditutupi apalagi menyangkut kredibilitas seorang tokoh penting kala Athirah harus bermain-main dengan hal klenik atau menggoda sang suami demi sebuah tujuan. Bahwa ia tak bodoh, bukan pula malaikat, tapi semata-mata, manusia.

Menokohkan Athirah di balik sensitivitas itu, adalah Cut Mini yang merupakan amunisi utama di dalamnya. Bahkan menjadi pencapaian terbaik penampilan Mini selama karirnya, aktor-aktor pendukung lain termasuk Christoffer Nelwan, Indah Permatasari (memerankan Ida remaja) dan Arman Dewarti bermain bagus, tapi memang masih kalah jauh saat penceritaan itu harus bergulir lewat ekspresi wajah karakter-karakter itu. Ini juga mungkin yang membuat balance karakter Athirah dan Ucu yang harusnya bergerak seolah sumbu dan mesiu dalam sebuah dinamit jadi kerap menonjolkan Athirah seorang diri.

Selain itu kekuatan utamanya juga hadir dari tata artistik dengan detil luarbiasa oleh Eros Eflin serta sinematografi Yadi Sugandi yang membentuk sinergi sangat impresif bersama penceritaan Riri. Bersama vintage color palette dan simetri setiap framing simboliknya, kamera Yadi seolah menjadi mata yang menangkap jiwa dalam tiap pergerakannya mengeksplorasi ruang, simbol, ekspresi hingga pertunjukan seni budaya saat sarung tenunan sutra Bugis (Lipa Sabbe) dimunculkan sebagai salah satu sisi jual penting ‘show of culture’ seperti yang ada pada tampilan posternya. Membentuk ‘Athirah’ menjadi sebuah impressive beauty yang tak mudah kita dapatkan dalam kebanyakan film bersama simbol-simbol yang digunakan Riri dalam menyatukan values soal feminisme, Islam dan keluarga. Dari meja makan, sholat subuh, pelantunan salam hingga perhiasan mahar. Kadang menyindir, tapi tak pernah sekalipun berseberangan.

Namun sayang memang, Riri agaknya terlalu terlena dengan subtilitas yang sebenarnya sudah punya sejuta potensi tanpa harus lebih lagi dieksplorasi hingga mengurangi emosi. Editing W. Ichwan Diardono seakan kerap kali mengakhiri emosi yang sudah bergerak memuncak bahkan membuat mata pemirsanya basah dengan dissolve dan perpindahan adegan kelewat cepat sebelum impact-nya benar-benar mencapai puncak. Meski ini tetap sebuah pilihan, termasuk memangkas durasinya hingga hanya kurang dari 90 menit, ini memang sering sekali jadi mispersepsi seorang filmmaker dalam penekanan ‘film serius’ dalam wujud keseluruhan sebuah karya.

Saat arthouse seharusnya diartikan untuk meng-artistik-kan yang gamblang – membuat yang sudah jelas menjadi lebih indah, kita masih sering terpeleset menggunakan label-nya buat menutupi kekosongan rasa. Entah apa jadinya kalau tak ada scoring tradisional milik Juang Manyala berikut lagu lawas yang ditampilkan sampai tiga kali, yang memang ditempatkan dengan luarbiasa efektif membangun ‘rasa’ yang kerap kali hilang sebelum mencapai puncaknya.

Sudah begitu, walau lagi-lagi mungkin punya maksud buat merangkum kesimpulan di balik ide-ide soal survival dan ‘sweet revenge’ ke dalam penutup yang menohok tentang kemenangan hati, setup Ucu (diperankan Nino Prabowo dengan kemiripan fisik meyakinkan ke Christoffer Nelwan) dan Ida pasca remaja (Tika Bravani) yang walau halus tetap terasa sekali berada di balik tendensi sponsor terasa pincang menyokong closing scene yang sudah begitu kuat dilakonkan Cut Mini. Ini, mau tak mau melemahkan titik pengujungnya yang seharusnya bisa muncul dengan emotional impact jauh dari apa yang akhirnya kita lihat sebelum lagi-lagi terburu-buru berpindah begitu saja ke kredit finale-nya. An impressive beauty that rarely reached its peak, tapi jelas secara keseluruhan masih berada jauh di atas rata-rata. (dan)