FLORENCE FOSTER JENKINS: AN ULTIMATELY RELEVANT STORY OF LOVE, PASSION AND INCAPABILITY
Sutradara: Stephen Frears
Produksi: Pathé, BBC Films, Qwerty Films, Paramount Pictures, 2016
Like it or not, based on true story films, terlebih sebuah biopik, di luar atau di dalam, memang masih punya daya tarik buat dijual sebagai komoditas. Namun seperti dua sisi uang logam, di balik iming-iming ‘inspiring’ yang sering sekali disemat ke dalamnya, tak banyak yang bisa bercerita dengan beda dalam penyampaian ide. Ketika sebagian hanya berupa rekonstruksi, sebagian lagi – muncul dengan kedalaman thought-provoking yang membuka mata kita lewat kejadian nyatanya, serta satu yang terpenting: relevansi kuat mengapa ia layak diceritakan lagi dan lagi.
‘Florence Foster Jenkins’, film besutan Stephen Frears yang muncul sebagai film pembuka Tokyo International Film Festival (TIFF/TIFFJP) ke-29 ada di kotak yang terakhir. Ia tak lantas jadi begitu bagus karena keterlibatan Meryl Streep dan kesukaannya merambah tema-tema musikal belakangan setelah kesuksesan ‘Mamma Mia!’ yang jadi rekor film terlaris Meryl, juga Hugh Grant yang dipertemukan buat pertama kali dalam deretan cast utamanya. Namun skrip Nicholas Martin dan sensitivitas Frears yang memang punya kredibilitas lebih di balik statusnya sebagai award-winning director, memang tak sekedar bercerita, tapi membuka mata. Bahwa tema dan moral mendasar lewat titular character-nya yang dikenal sebagai ‘The World’s Worst Opera Singer’ berikut semua fenomenanya, memang tak hanya kita temukan dalam profesi yang dibahas di sini.
Sebagai seorang milyuner sosialita di era ’20-‘40an New York, Florence Foster Jenkins (Meryl Streep) memiliki passion luarbiasa terhadap opera dan pertunjukan musikal masa itu. Bersama suami sekaligus manager-nya, St. Clair Bayfield (Hugh Grant), mereka adalah founder the Verdi Club yang memprakarsai industrinya saat itu. Begitupun, dalam kondisi kesehatan yang dideritanya (ini tak menjadi sisi yang terjelaskan dalam filmnya, namun aslinya adalah sifilis yang masih menjadi momok saat itu dari suami pertamanya), selain mengharuskannya menggunakan terapi yang makin menurunkan kondisinya, juga tak mengizinkannya berhubungan dengan St. Clair hingga St. Clair memiliki simpanan rahasia, Kathleen Weatherley (Rebecca Ferguson) yang disambanginya setiap malam.
Masalahnya lagi, ambisi Florence menjadi seorang penyanyi opera terkenal tak diimbangi kapabilitas yang dimilikinya. Membawa kita ke masa-masa akhir Florence di era ‘40an, Florence yang tengah mencari pemain piano akhirnya mempekerjakan Cosmé McMoon (Simon Helberg), pemain berbakat yang harus berhadapan dengan idealismenya ketika mengetahui bahwa suara Florence sangat payah namun tetap disokong St. Clair dengan resiko apapun bersama pelatih vokalnya, Carlo Edwards (David Haig), asisten konduktor Metropolitan Opera yang terus menciptakan komposisi opera/aria bersama Florence sambil membungkam tiap kritikus dan penonton yang rata-rata menertawakan penampilan Florence.
Penyimpangan persepsi audiens yang menganggapnya sebagai hal konyol yang memplesetkan pertunjukan musikal sebagai sebuah komedi tak disadari Florence dengan dukungan St. Clair dan penonton yang kian membludak, makin memuncak kala Florence menyewa Carnegie Hall untuk pertunjukan semalam yang selain dihadiri para prajurit juga legenda musik Cole Porter di tengah resepsi-resepsi berbeda. Walau memecahkan rekor penonton terbanyak pertunjukan musik di Carnegie Hall masa itu, resikonya adalah kondisi Florence sendiri, namun St. Clair tetap memberi dukungan penuh dengan menempuh cara apapun demi karir Florence di tengah ketidakmampuannya sebagai seorang penyanyi opera.
Saat sineas lain bisa jadi akan meng-handle tema-tema seperti ini dengan crowd-pleasing injections sebagai musical romcom, Frears membawa justifikasinya ke ranah yang berbeda. Wujud akhirnya mungkin tetap bisa digolongkan dalam genre yang sama, namun seperti banyak film Frears lainnya, distinct sensitivity yang dimilikinya tak serta-merta menggampangkan segalanya.
Ia bersama Nicholas Martin tetap menahan ‘Florence Foster Jenkins’ dengan alegori-alegori yang membuat kita melihat lebih luas pokok permasalahan ketimbang pencapaian rekor tak penting dalam kisah-kisah passion vs incapability – bersama tiap elemen sampingannya yang tetap dengan leluasa memuat social critics soal industri hiburan yang masih terjadi hingga sekarang, dari dikotomi-dikotomi seni vs komersil ke kritisi berbayar – media sebesar apapun, di balik alasan-alasan suportif.
Sementara elemen-elemen klise soal penyakit (Streep juga memerankan karakter biopik lain dengan penyakit yang sama di ‘Out of Africa’) dan perselingkuhan hubungan rumahtangga berikut humanitas karakter-karakternya tak lantas menjadi eksploitatif tapi tetap relevan bersama pilihan-pilihan life comedy ala Inggris yang tak lantas menolak tampilan-tampilan komikal untuk alasan sinematis yang hadir lewat karakter McMoon yang diperankan dengan baik sekali oleh Simon Helberg (‘The Big Bang Theory’) berikut sebagian supporting actors yang sama kuat, terutama penampilan singkat Nina Arianda , aktris pemenang Tony Awards lewat ‘Venus in Fur‘ versi play.
Di atas segalanya, ‘Florence Foster Jenkins’ memang menjadi sangat spesial dengan performa solid Meryl Streep yang terus menjaga tampilan karakter Florence dengan kapasitas-kapasitas manusiawi. Di tangannya, meski kita semua sudah tahu Streep bisa menyanyi dengan bagus, gambaran Florence dengan incapability-nya tak lantas jatuh secara total seperti kartun. Ada batas-batas yang terjaga bersama eksplorasi karakter yang luarbiasa kuat dan makin baik lagi dengan chemistry juara Streep dengan Hugh Grant, yang juga memerankan St. Clair dengan restrained act tak kalah luarbiasa. Setiap ekspresi tertahan yang ditampilkan Hugh Grant di sepanjang film menunjukkan keseriusan eksploratif di wilayah akting yang pantas jadi nominee di award mana pun; bahwa semua motivasi yang tergambar dalam eksplorasi akting itu tetap secara solid berada dalam satu garisan kuat soal love and passion.
Walau tetap bermain dalam ranah-ranah genre musical romcom, also at times – life tragedies, ‘Florence Foster Jenkins’ pada akhirnya meninggalkan kita terhenyak lewat dialog penutup yang tak hanya haunting tapi juga thought-provoking. Bahwa sebesar apapun fenomenanya, pada akhirnya, Frears tak memilih keberpihakan ke sisi mana pun, tapi lebih membuat kita melongok balik ke hal-hal sama soal incapability dan dampak fenomenal yang bisa kita temukan dalam profesi apapun. Bahwa terkadang kita bisa begitu marah atau malah menertawakan effort-effort sama terhadap sebagian sosok yang berlindung di balik passion dan kemampuan finansial untuk sebuah kreasi tak layak yang malah disambut dengan fenomena kesuksesan ini itu dengan cara apapun, tapi pada akhirnya tetap tak bisa menolak kenyataan yang ada, bahwa orang-orang ini memang sudah berkreasi dan melakukan sesuatu. Di situ, ‘Florence Foster Jenkins’ tak lagi jadi terbatas sekedar sebagai event nyata yang diangkatnya, tapi hadir dengan relevansi luarbiasa dari semua alegorinya, sebagai kisah yang layak diceritakan lagi dan lagi. Every voice deserves to be heard. (dan)