Home » Events » MENYELAMI DUNIA ANIME MAMORU HOSODA DI TOKYO INTERNATIONAL FILM FESTIVAL KE-29

MENYELAMI DUNIA ANIME MAMORU HOSODA DI TOKYO INTERNATIONAL FILM FESTIVAL KE-29

tiff-mamoru-hosoda

©2016 TIFF

Merayakan rentang karyanya tepat selama 20 tahun di industri anime Jepang, Tokyo International Film Festival (TIFF/TIFFJP) ke-29 mempersembahkan segmen spesial retrospektif untuk pertama kali bagi Mamoru Hosoda, sutradara film-film anime terkenal dari ‘The Girl Who Leapt Through Time’ (2006) hingga ‘The Boy and the Beast (Bakemono no Ko)’ yang menjadi film layar lebar berpenghasilan tertinggi di tahun 2015 dengan box office domestik hampir mencapai 60 juta dolar AS.

Segmen yang mereka beri nama ‘The World of Mamoru Hosoda’ ini bukan saja menayangkan 4 film layar lebarnya selain 2 judul di atas, ‘Summer Wars’ (2009) dan ‘Wolf Children’ (2012), namun juga akar karya Hosoda di industrinya, animasi-animasi pendek seperti ‘Digimon Adventure’ (1999), selain juga talk show spesial dan seminar yang membahas perjalanan karir dan visinya dalam industri anime Jepang.

Pertama kali mempelajari oil painting di Kanazawa College of Art yang juga merupakan almamater kreator video game Nintendo Shigeru Miyamoto, Hosoda kemudian memulai karirnya di Toei Animation dengan karya-karyanya di franchise ‘Digimon’ sebelum berpindah ke Madhouse (2005-2011) dan mendirikan sendiri studionya, Chizu Studio di tahun 2011.  Uniknya, Hosoda tetap mempertahankan teknik konvensional handpainting anime walaupun kebanyakan sineas dalam industrinya sudah beralih ke teknik-teknik digital.

Dalam penayangan ‘Wolf Children’ pada tanggal 26 Oktober lalu, Hosoda dipertemukan dengan sutradara ternama Jepang Hirokazu Kore-eda (‘Nobody Knows’, ‘Like Father Like Son’, ‘Our Little Sister’) dalam sebuah event special talk dalam membicarakan kesamaan-kesamaan paralel dalam karya mereka.

©2016 TIFF

©2016 TIFF

Walau berbeda jalur, di mana Hosoda lebih dikenal dalam film-film anime blockbuster dan Kore-eda ada di jalur live-action yang lebih naturalis serta kontemplatif, kedua sutradara ini mengatakan bahwa mereka banyak menemukan kesamaan dalam karya-karya mereka. Sering berbicara salah satunya soal keluarga, Hosoda dan Kore-eda mengaku bahwa ada rasa kehilangan sosok ayah dari keduanya yang sedikit banyak direpresentasikan secara berbeda dalam karya-karya mereka, misalnya lewat gambaran figur ayah yang hadir seolah jadi bayangan penting baik dalam ‘The Boy and the Beast’ dan ‘Our Little Sister’.

Sementara karakter ibu seakan jadi penghubung dalam karya keduanya. Hosoda mengaku kehilangan ibunya saat ia membuat ‘Summer Wars’ dan kemudian menyatakan permintaan maaf lewat karakter single mother yang membesarkan dua anak dalam ‘Wolf Children’, dan Kore-eda, dalam karya terbarunya ‘After the Storm’ membangun karakter utama lewat aktris Kirin Kiki berdasar sosok ibunya. Ia bahkan memberikan postcards, lukisan serta kacamata sang ibu pada Kiki agar bisa benar-benar masuk menyelami karakternya.

©2006 KADOKAWA

©2006 KADOKAWA

Dalam penampilannya seusai penayangan ‘The Girl Who Leapt Through Time’, Hosoda mengatakan bahwa ia benar-benar tak menyangka bahwa film yang sudah berusia lebih dari 10 tahun lalu itu tetap mendapatkan sambutan sangat meriah dari para penontonnya. Ia merasa bangga bisa mempertunjukkan karya-karyanya dalam segmen retrospektif dengan perlakuan spesial dari para programmer TIFF.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa karakter Makoto yang memiliki kemampuan kembali ke masa lalu dan ‘mencuri waktu’ untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya dalam film anime tersebut merupakan visinya bahwa keberadaan kita di masa sekarang dibentuk oleh masa lalu yang seharusnya dijadikan sebuah pembelajaran. Bahwa setiap orang seharusnya berkembang dengan perubahan hati yang lebih baik seperti Makoto.

Mengenai signature-nya di film-film anime besutannya, Hosoda memang gemar mengangkat tema-tema soal keluarga. Baginya, keluarga sebenarnya lebih menjadi motif. Bahwa romansa terbesar dalam sebuah tema ada dalam skup keluarga yang dipenuhi tawa dan tangis atas kisah-kisah pertemuan dan perpisahan. Ada kasih sayang, pengorbanan dan juga keteguhan hati yang selalu ditampilkan Hosoda pada karakter-karakternya yang rata-rata memuat sisi tumbuh kembang anak, termasuk dalam karakter Kyuta yang menjadi murid seorang monster bernama Kumatetsu setelah kehilangan ibunya yang meninggal dan ayah yang pergi entah kemana dalam ‘The Boy and the Beast’.

tiff-mamoru-hosoda-film

Tentang pilihannya untuk tetap menggunakan handpainting animations, Hosoda tetap merasa perlu mempertahankan idealismenya, dan melihat kultur lukisan tangan ini perlu dilestarikan di industri anime manapun, termasuk di AS yang dirasa Hosoda sudah semakin tergerus oleh teknologi digital. Lebih jauh ia mengatakan bahwa dalam perbedaan antara foto dan lukisan, ada banyak sekali emosi yang bisa dipresentasikan lewat lukisan tangan lewat sejarah ribuan tahun yang terentang dalam waktu lebih lama.

Elemen-elemen dalam tema keluarga ini menurut Hosoda, merupakan inti dari semua anime besutannya. Bahwa apa yang ia rasakan hadir secara jujur dalam film-film itu, yang rata-rata juga ikut ditulisnya sebagai co-writer. Harapan terbesarnya adalah membawa pemirsanya menyelami dunia yang dihadirkan Hosoda dalam film-filmnya, yang selalu punya sisi menyentuh ketika berbicara tentang keluarga.