Dipenuhi kehadiran bintang-bintang internasional dari aktor Hong Kong Louis Koo, aktris Perancis Anne Parillaud hingga aktris legendaris peraih 3 piala Oscar Meryl Streep, edisi ke-29 Tokyo International Film Festival (TIFF/TIFFJP) yang digelar dari 25 Oktober hingga 3 November 2016 adalah bukti bahwa festival film internasional tahunan ini semakin berkembang menjadi salah satu selebrasi insan film paling bergengsi di Asia.
Begitupun, general director TIFF, Yasushi Shiina, mengaku bahwa tahapan-tahapan yang mereka hadapi lewat fokus berbeda beserta outcome yang dicapai setiap tahunnya, masih terus membutuhkan pengembangan di banyak sisi penyelenggaraan festivalnya. Dalam bincang-bincang yang melibatkan sejumlah jurnalis internasional dengan tiga sosok yang paling berpengaruh di TIFF – selain Shiina ada festival programmer Kenji Ishizaka dan Yoshi Yatabe, proses-proses penting dalam penyelenggaraan TIFF dibahas secara lebih mendalam. Lebih dari sebuah selebrasi insan film dan audiens pemirsanya, ada banyak tantangan yang mereka hadapi untuk mewujudkan tendensi utama TIFF dalam memperkenalkan sinema Jepang sekaligus memperluas networking dengan talenta-talenta sinema dunia ke dalam sebuah festival bertaraf internasional.
Bersama program-program dan segmen-segmen khas TIFF dan kerjasamanya dengan the Japan Foundation Asia Center tiga tahun belakangan, salah satu fokusnya ada di ‘Crosscut Asia’ yang merupakan pertukaran budaya Asia lewat film sebagai platform utamanya. Menyorot fokus ke industri sinema Indonesia tahun ini, setelah Thailand dan Filipina di tahun sebelumnya, Kenji Ishizaka – programmer TIFF untuk Crosscut Asia mengatakan bahwa prosesnya sedikit berbeda.

Kenji Ishizaka
Tak seperti Filipina yang memiliki beberapa maestro yang sudah dikenal dalam festival-festival internasional – seperti Brillante Ma Mendoza yang menjadi fokus spesial dalam Crosscut Asia: The Heat of Phillipine Cinema di TIFF ke-28, Indonesia dianggap Kenji memiliki potensi lewat sineas-sineas muda yang melawan arus untuk menyampaikan ide-ide non konvensional di balik keberadaan ragam budayanya yang sangat luas dengan tekanan-tekanan yang ada. Salah satu yang lain adalah perkembangan sineas wanita dalam beberapa tahun belakangan. Mengangkat isu gender dalam karya-karya mereka, ia merasa talenta-talenta ini sangat perlu lebih diperkenalkan ke mata dunia.
Memilih 11 judul film Indonesia dalam segmen ‘Crosscut Asia: Colorful Indonesia’ plus ‘Salawaku’ yang masuk ke segmen kompetisi Asian Future atas keberadaannya sebagai karya debut sutradara wanita Pritagita Arianegara, Kenji mengaku bahwa ia tak sendiri, dan ada proses panjang menyangkut sorotan-sorotan TIFF sebelumnya – sejak era ‘90an terhadap sinema Indonesia, termasuk atensi pribadinya mengikuti perkembangan sinema kita lewat beberapa festival film lainnya di Asia.
Kenji mengatakan bahwa ia melihat perkembangan sinema Indonesia sekarang sudah jauh lebih vital dibandingkan 23 tahun lalu. Bersama tim dari the Japan Foundation Asia Center setempat, ia juga terus melakukan riset terhadap sejarah sinema kita berikut proses-proses regenerasinya. Sebagian film Indonesia juga diarsipkan di Jepang sehingga memudahkan Kenji untuk mengakses film-film tersebut, termasuk film-film Usmar Ismail dari era ’50-an; ‘Lewat Djam Malam’ yang ikut ditayangkan tahun ini, dan versi baru dari ‘Tiga Dara’; ‘Ini Kisah Tiga Dara (Three Sassy Sisters)’ dari Nia Dinata dan timnya.
Sementara judul-judul lain terpilih atas pengamatannya lewat sejumlah festival-festival film bertaraf internasional dari area lain di Jepang seperti Osaka dan Fukuoka. Kenji mengakui bahwa ia juga kerap membina hubungan terhadap sineas dari film-film yang masuk dalam seleksi festival-festival tersebut untuk memudahkannya mendapat rekomendasi dalam proses seleksi final programnya secara keseluruhan. Ia tak menampik bahwa sebagian memang terpilih berdasarkan nama sineasnya – seperti Teddy Soeriaatmadja yang sebelumnya sudah menayangkan ‘Lovely Man’ dan ‘Something in the Way’ di Fukuoka atau Riri Riza yang sudah mendapat sorotan khusus di TIFF 2012 dalam segmen ‘Indonesian Express’ bersama Garin Nugroho dan Edwin, namun tetap pada akhirnya, adalah relevansi dan konten dari film-film itu sendiri, walau diwarnai subjektivitasnya sebagai head programmer, dalam melihat aktualitas tema yang dibawa dari film-film yang terpilih terhadap representasi kultur Indonesia.
Kenji, yang juga merupakan salah satu yang menginisiasi program jagoan TIFF bersama the Japan Foundation Asia Center tahun ini – ‘The Asian Three-Fold Mirror Project’, mengatakan bahwa pemilihan proyek awal yang diisi oleh tiga sineas; Brillante Ma Mendoza dari Filipina, Isao Yukisada dari Jepang dan Sotho Kulikar dari Kamboja sudah terlebih dahulu melalui pengambilan keputusan yang cukup panjang. Begitupun, proyek-proyek selanjutnya, yang tetap akan berlangsung hingga 2020 akan membuka kesempatan bagi sineas dari belahan Asia lain untuk ikut terlibat. Dalam segmen yang dibesut sutradara Isao Yukisada, misalnya; sinema Malaysia ikut mengambil andil lewat cerita yang diangkat bersama penampilan beberapa aktornya.
Mengenai ‘Crosscut Asia’ sendiri, di tahun-tahun berikutnya, mereka belum lagi memutuskan akan terus menyorot fokus berdasarkan negara seperti apa yang mereka lakukan terhadap Thailand, Filipina dan Indonesia. Bisa jadi, line up di tahun berikutnya akan mereka susun berdasarkan similaritas tema atau kesamaan-kesamaan lainnya, namun yang jelas, seperti nama segmennya, ‘Crosscut Asia’ akan tetap menyorot keberadaaan sinema Asia dan pencapaian-pencapaian karyanya.
Yoshi Yatabe – programmer segmen kompetisi utama / Asian Future TIFF dalam bincang-bincang ini ikut menyampaikan visinya dalam memilih 16 film yang terpilih. Walau kriteria-kriteria baku dalam segmen kompetisi festival sejenis kebanyakan merupakan film-film arthouse, ia tetap mempertimbangkan bahwa dalam penyampaian keseluruhan, sebagian film-film itu juga harus bisa diterima oleh pemirsa awam. Terhadap cinephiles dan jurnalis, film-film arthouse jelas tidak menjadi masalah, namun bagi pemirsa awam yang tetap mereka perlukan untuk eksposur festivalnya, ini merupakan sebuah pertimbangan.

Yoshi Yatabe
Dan seperti yang dikatakannya di tahun-tahun sebelumnya, Yoshi tetap berusaha untuk mengedepankan variasi genre dalam line up kompetisi utama ini. Ia tak menutup diri terhadap genre-genre horor atau komedi di luar drama yang mendominasi, namun tentunya film dengan genre-genre tersebut mesti memiliki kelebihan secara artistik dalam level tertentu. Ia menyebut salah satu film produksi China – Hong Kong, komedi fantasi ‘Shed Skin Papa’ karya sutradara Roy Szeto yang dibintangi Louis Koo dan Francis Ng sebagai salah satu kompetitor dalam line up kompetisi utama TIFF tahun ini. Walau lebih berstatus sebagai blockbuster, ‘Shed Skin Papa’ bukanlah sekedar komedi biasa, tapi film yang secara mendalam bicara soal hubungan ayah dan anak dalam layer dramatik yang juga memiliki kekuatan terhadap kriteria-kriteria yang ada.
Begitupun, secara umum, Yoshi tak menampik bahwa dalam keberadaan TIFF sebagai festival bertaraf internasional, salah satu yang mereka perlukan dalam line up-nya adalah status eksklusivitas film-film tersebut dalam treatment World/International/ Asian ataupun Japan Premiere. Tetap menjadi salah satu pertimbangan, dari keseluruhan submission film-film peserta, kriteria ini harus bisa disatukan dengan talenta-talenta sineasnya dalam auteurism style yang unik dan tak biasa.
Dalam skup keseluruhan TIFF sebagai festival film internasional yang berbasis Jepang, general director Yasushi Shiina mengatakan bahwa benar mereka lebih mengutamakan film-film dari industri sinema mereka, tapi dalam statusnya sebagai festival film internasional, TIFF tetap berusaha membawa ragam karya dari regional Asia lain berikut dunia.

Yasushi Shiina, ©2016 TIFF
Ada pengaturan yang mereka gagas lewat pembagian segmen-segmen festivalnya, seperti World Focus yang menyorot film-film dari berbagai negara dunia, sementara ada Japan Now – segmen baru yang merepresentasikan perkembangan sinema Jepang sekarang berikut subsegmen retrospektif terhadap film animasi – satu yang sangat perlu diperkenalkan sebagai ciri khas kultur sinema mereka, ataupun ‘Japanese Cinema Splash’ buat mencari talenta-talenta baru, muda serta fresh dari sinema indie Jepang. Sementara untuk talenta-talenta yang sama dari belahan dunia lain, ada segmen sub-kompetisi ‘Asian Future’ yang menyorot karya-karya fenomenal pertama atau kedua dari para sineas muda negara Asia lain di luar Jepang.
Ia kemudian menambahkan bahwa TIFF tetap berusaha menjadi salah satu festival film internasional yang mengedepankan pertukaran budaya. Kerjasama dengan the Japan Foundation Asia Center yang sudah menginjak tahun ketiga mereka kembangkan lagi dengan proyek film ‘The Asian Three-Fold Mirror Project’ yang memberi ruang bagi sineas-sineas Asia dalam film omnibus yang membawa kultur negara sineasnya masing-masing dalam hubungannya dengan Jepang sebagai benang merahnya. Sejauh ini, Yasushi cukup senang mendengar reaksi dari sejumlah media terhadap proyek yang akan terus mereka kembangkan hingga akhir kerjasama tahap pertama TIFF dengan Japan Foundation di tahun 2020 menyambut Olimpiade Tokyo.
Menjelaskan TIFF dalam tiga kata seperti diminta oleh salah satu jurnalis dari Indonesia, Yasushi mengatakan bahwa secara keseluruhan TIFF adalah komunikasi di antara negara-negara Asia dan dunia terhadap Jepang, keramahtamahan dalam menyambut semua tamu dan pesertanya, serta festival dalam makna selebrasi insan-insan film bertaraf internasional lebih dari sekedar ekshibisi – koleksi film dari berbagai negara dunia. Bahwa TIFF bukan hanya jadi sarana untuk menonton ragam film yang ada, tapi juga sebuah interaksi kuat di antara semua stakeholder dan pemirsanya.
Mengakhiri perbincangannya, Yasushi menyatakan bahwa melewati proses yang menjadikannya sebagai salah satu festival film internasional paling bergengsi yang ada di Asia, dari kehadiran sineas-sineas dunia beberapa tahun terakhir; di antaranya Tom Hanks, Robert De Niro, Tim Burton, John Woo hingga Meryl Streep berikut kolaborasi-kolaborasi yang mereka lakukan dengan festival-festival film internasional Asia lainnya, walau sudah mencapai beberapa tingkatan sasaran yang mereka inginkan sebagai festival internasional termasuk dalam semangat pertukaran budaya dan saling mengenalkan kultur film dari negara masing-masing, perjalanan TIFF masih sangat panjang, dan mereka akan terus berupaya melakukan pengembangan serta inovasi yang lebih lagi.