Home » Dan at The Movies » DOCTOR STRANGE (2016)

DOCTOR STRANGE (2016)

DOCTOR STRANGE: A PSYCH AND HIP MARVEL’S SPECTACLE

Sutradara: Scott Derrickson

Produksi: Marvel Studios, Walt Disney Studios Motion Pictures, 2016

doctor-strange

Meski bukan sosok superhero yang dikenal sebesar ‘Iron Man’, ‘Captain America’, ‘Hulk’, ‘Thor’ ataupun personil ‘The Avengers’ lainnya, sering pula dianggap lebih ke anti-hero, ‘Doctor Strange’ yang sejak lama ingin diadaptasi ke layar lebar namun terus tertunda ini adalah karakter penting dalam Marvel Cinematic Universe (MCU). Sedikit berbeda dengan karakter Marvel lain, penelusuran ‘Doctor Strange’ memang sedikit lebih kompleks di balik kapabilitas yang menyentuh ranah supranatural dalam pertentangan dunia medis Barat – Timur.

Tercatat, di era banyaknya adaptasi superhero untuk TV di pengujung ’70-an, karakternya juga sudah pernah diangkat dalam pilot episode ‘Dr. Strange’ yang dibintangi Peter Hooten dan tak berlanjut. Rencana adaptasi layar lebarnya yang dimulai sejak 1986 sempat melibatkan nama-nama dari Wes Craven, David S. Goyer, Chuck Russell hingga Stephen Norrington dengan rights yang terus berpindah dari satu studio ke studio lain. Terakhir, di tahun 2010, duo Thomas Dean Donnely dan Joshua Oppenheimer (bukan sineas yang sama dari ‘The Act of Killing’) dari ‘A Sound of Thunder’, ‘Dylan Dog’ dan ‘Conan the Barbarian’ versi Jason Momoa sempat terdengar dengan calon cast Patrick Dempsey sebelum akhirnya Kevin Feige memutuskan karakternya menjadi bagian dari ‘Phase ThreeMCU. So now here we are, setelah kesuksesan luarbiasa Marvel membangun fase demi fase cinematic universe-nya di balik sambutan yang sejalan dari box office dan resepsi kritikus.

Dari sebuah introduksi tentang keberadaan Kamar-Taj, fasilitas mistis di Kathmandu, Nepal, kita dikenalkan ke sosok Stephen Strange (Benedict Cumberbatch), dokter ahli bedah syaraf yang angkuh di balik semua kapabilitasnya. Namun ketika sebuah kecelakaan merenggut keahliannya, walau awalnya tetap skeptis, Strange mau tak mau mesti mengeksplorasi dunia astral lintas dimensi Kamar-Taj dan The Ancient One (Tilda Swinton), penyihir abadi dan muridnya, Mordo (Chiwetel Ejiofor). Mendapatkan kekuatan yang tak pernah dibayangkannya, Strange harus berhadapan dengan Kaecilius (Mads Mikkelsen), mantan penyihir Kamar-Taj yang membelot ke kekuatan jahat bernama Dormammu (motion-capture-nya juga dimainkan oleh Cumberbatch) dan menyelamatkan dunia dari kehancuran.

Di balik semua kompleksitas karakternya menjadi bagian dari kolaborasi superhero Marvel, ‘Doctor Strange’ memang kelihatan memiliki tingkat kesulitan tinggi untuk divisualisasikan. Ada di antara gambaran karakter dengan universe ‘Harry Potter’ dan ‘Avatar: The Last Airbender’ dalam genre supernatural adventure, untungnya skrip yang ditulis oleh Scott Derrickson bersama C. Robert Cargill, writerfilm critics yang dipilih produser Kevin Feige dengan cermat dari film horor mereka ‘Sinister’ plus Jon Spaihts, co-writerPrometheus’, ‘Passengers’ serta rebootThe Mummy’, kembali menunjukkan digdaya Marvel membangun bongkar pasang universe sinematis itu.

Menjadi sebuah visual spectacle yang ternyata tampil dengan begitu mengagumkan di atas detil-detil skrip yang lagi mengulang kekuatan Marvel menghadirkan konsep ke karakter dan instalmen solo buat pengenalan awal, bukan hanya di soal-soal pencapaian teknis dan efek yang tampil dengan luarbiasa – termasuk di aspek medis neurosurgery dan ilmu bedah lain yang tak pernah kita bayangkan bisa dihadirkan begitu cermat, penceritaannya yang membenturkan dunia medis Barat – Timur berikut semua aspek-aspeknya dengan cukup lengkap juga tak sekalipun kehilangan sisi fun dan keseruan yang biasanya ada di instalmen-instalmen Marvel.

Di tangan Derrickson dan timnya, tentu dengan supervisi Feige yang hampir tak pernah meleset membangun instalmennya, perpaduan dua dunia – antara Barat dengan Timur itu bahkan digagas dengan batas jelas hingga tak kelihatan sebagai fantasi kosong. Titik temunya secara mengejutkan bisa memiliki thought-provoking values yang berdiri kokoh dengan basic science ketimbang pure fantasy soal mystical world & sorcerers, mendobrak batasan-batasan skepticism dari pertentangan medis modern dan tradisional. Di sela-selanya, Derrickson tak lantas memberi pembelaan terhadap salah satu namun menyeimbangkan dua sisinya secara luarbiasa terjaga.

Kekuatan konsep ini juga ikut diisi oleh scoring Michael Giacchino dengan komposisi berbeda yang mengadopsi kombinasi kultur rock Barat-Timur era ‘70an, bahkan memperluas range-nya bersama music trivias yang dibangun di balik detil karakter Strange dengan memuat classic smooth jazz tuneFeels so Good‘ dari Chuck Mangione. Menjadi sebuah main theme lepas instalmen solo Marvel yang berbeda di tengah pro-kontra resepsi scoring film-film Marvel, lihat bagaimana Giacchino mengkombinasikan 70s rock sound dari raungan gitar hingga hammond B3 organ bersama bunyi sitar untuk penekanan eastern feel ke dalam komposisi main theme berjudul ‘The Master of the Mystic‘ yang hadir di pengujung film bersama guliran kredit akhirnya.

Namun memang yang paling spesial adalah pemilihan Benedict Cumberbatch sebagai Doctor Strange. Lagi-lagi menunjukkan kekuatan Feige dan Marvel mengakuisisi cast dengan nama besar dan popularitas buat memperkuat konsep, penampilan Cumberbatch dalam similaritas ke sumbernya benar-benar menyamai level yang mereka lakukan terhadap Robert Downey, Jr. sebagai Tony Stark/Iron Man. Appear with full-forced enigmatic charisma, Cumberbatch di sini bukanlah Cumberbatch dari film-filmnya yang sudah kita saksikan sebelumnya. Seperti lahir untuk peran Doctor Strange, performanya masih didukung pula oleh supporting cast kuat termasuk Rachel McAdams untuk mengisi sempalan romansanya yang hadir secara proporsional.

Sementara di sisi lain, ada porsi sidekick yang juga kuat dari Chiwetel Ejiofor, meski yang kerap kita bayangkan mungkin adalah persona seorang Irrfan Khan, plus Benedict Wong dan Tilda Swinton yang punya alasan tersendiri buat membaur ke dalam sebuah Marvel blockbuster. Di deretan villain-nya, meski Scott Adkins tak mendapat banyak kesempatan, aktor Denmark Mads Mikkelsen bisa mengisi porsi utamanya dengan bagus dalam action tiga babak menuju finale-nya yang spektakuler, bahkan melebihi mythical universeThor’ dalam detil-detil sains yang berbeda namun tetap punya kontinuitas yang bisa kita petakan dalam keseluruhan bangunan fase sinematisnya.

Di atas semuanya, inilah kehebatan Marvel yang makin membentangkan jarak jauh buat bisa disaingi karakter-karakter superhero rival-nya dari universe sinematik DC (DCEU). Batas-batas sulit yang terus didobrak dengan pencapaian yang tak pernah kita bayangkan lewat tampilan visual tanpa kehilangan kedalaman penceritaan, juga tak menanggalkan sisi fun dengan sempalan humor ke tengah-tengah keseriusan pendekatannya.

Ini seperti soal ujian yang sepertinya sulit sekali buat diselesaikan, namun bagi Marvel, hasilnya semudah membalikkan telapak tangan dengan pencapaian gemilang. Di situ, lewat dua additional mid & after credit scenes-nya, mereka sudah terlihat begitu leluasa memberi fondasi untuk kolaborasi besarnya di instalmen-instalmen berikut, dari ‘Thor: Ragnarok’ ke pertemuan akbar karakter-karakter supehero ini nantinya di ‘The Avengers: Infinity War’. A psych and hip spectacle yang makin menyadarkan kita pada kedigdayaan Feige bersama MCU-nya. Something only Marvel can do. (dan)