Home » Interview » ‘TRILOGY OF INTIMACY’ BAGI SAYA SEPERTI MEMBUAT SEBUAH LUKISAN”: WAWANCARA EKSKLUSIF BERSAMA TEDDY SOERIAATMADJA & RAIHAANUN DI TOKYO INTERNATIONAL FILM FESTIVAL KE-29

‘TRILOGY OF INTIMACY’ BAGI SAYA SEPERTI MEMBUAT SEBUAH LUKISAN”: WAWANCARA EKSKLUSIF BERSAMA TEDDY SOERIAATMADJA & RAIHAANUN DI TOKYO INTERNATIONAL FILM FESTIVAL KE-29

Menghadiri Tokyo International Film Festival (TIFF/TIFFJP) ke-29 untuk mempresentasikan tiga filmnya dalam ‘Trilogy of Intimacy’ yang masuk ke dalam line upCrosscut Asia: Colorful Indonesia’ tahun ini, Teddy Soeriaatmadja didampingi oleh Raihaanun yang juga membawa dua filmnya yang lain, ‘Following Diana / Sendiri, Diana Sendiri’ karya Kamila Andini dan ‘Salawaku’ karya Pritagita Arianegara yang terpilih dalam segmen kompetisi Asian Future. Dalam wawancara eksklusif yang lebih berupa bincang-bincang santai dan juga dihadiri oleh Angga Rulianto dari SlateID ini, Teddy membahas panjang lebar soal proses dan visinya membuat ketiga film itu; ‘Lovely Man’, ‘Something in the Way’ dan ‘About a Woman’ yang secara unik membenturkan nilai-nilai dalam masyarakat kita, menyentuh batas tabu dalam tampilan film yang selama ini belum berani diangkat oleh sineas lain dalam pendekatan yang sama.

tiff-teddy-raihaanun-1

Q: ‘Trilogy of Intimacy’ adalah film yang dipilih oleh programmer Crosscut Asia, Kenji Ishizaka, sebagai line up Colorful Indonesia tahun ini. Bisa ceritakan prosesnya seperti apa dan apakah ia mengatakan alasannya secara langsung?

A: Kenji-san memintanya langsung saat ia ke Jakarta mewakili TIFF bersama the Japan Foundation Asia Center. Ini cukup spesial karena belum ada festival-festival internasional sebelumnya yang sekaligus menayangkan ‘Lovely Man’, ‘Something in the Way’ dan ‘About a Woman’ ketiganya sebagai trilogi. Kebetulan ada beberapa perwakilan dari Japan Foundation Jakarta yang sudah menonton ketiganya dan merekomendasikan film-film itu pada Kenji. Mengenai alasannya, Kenji-san menyampaikan secara pribadi bahwa ia memang sudah menyaksikan ‘Lovely Man’ dan suka sekali dengan filmnya. Ia kemudian menyaksikan ‘Something in the Way’ dan terutama ‘About a Woman’ dan sangat tersentuh dengan filmnya. Jadi bukan karena tema tertentu, soal sexual intimacy atau yang lain, namun memang ketiga film itu menurutnya merupakan refleksi terhadap apa yang terjadi di balik keragaman budaya masyarakat kita sekarang.

Q: Dari tanggapan penonton di sesi Q&ASomething in the Way’ yang sudah ditayangkan sebagai public screening barusan, apa Anda menemukan sesuatu yang menarik?

A: Rata-rata tanggapannya menarik sih, ada yang memandangnya dari sisi Islam, soal ‘Act of Jihad’ yang ditampilkan dalam film itu, apakah itu sesuatu ajaran Islam – tentunya bukan – he’s (Reza Rahadian dalam filmnya) just a character who misinterpreted the idea of Islam hingga melakukan hal yang salah. Ada rasa keingintahuan mengenai Islam sebagai populasi reliji terbesar di Indonesia dan ada dunia seperti ini. Yang lain, overall, dari ‘Lovely Man’ ke ‘Something in the Way’, mereka juga sangat curious terhadap proses dan cara pembuatannya sebagai micro-budget film.

Q: Saat Anda mengerjakan ‘Lovely Man’, apakah sudah ada rencana menjadikannya sebagai sebuah trilogi?

A: Sewaktu kita membuat ‘Lovely Man’, sebenarnya tidak ada sama sekali rencana untuk membuat film-film lainnya sebagai sebuah trilogi. Bahkan rencana menayangkannya di bioskop pun tidak ada. John Badalu adalah orang yang paling tahu soal ini. Ini sebenarnya hanya seperti lukisan, yang saya buat secara pribadi dalam passion saya membuat film yang saya inginkan untuk dipertontonkan hanya pada orang-orang dekat saja. Saat John menontonnya, menurutnya, ‘Lovely Man’ memiliki potensi besar untuk dirilis secara luas sebagai tontonan publik. Ide trilogi sendiri muncul saat offline editing, bahwa tema yang mendasari ‘Lovely Man’ sayang sekali kalau tidak di-stretch lebih jauh, karena kita melihat intimacy antara dua karakter, hypocrisy dan juga sexuality dalam proses-prosesnya. Jadi banyak sekali ide-ide yang bisa di-stretch dari tema ini untuk diadaptasi ke cerita-cerita lain, dan akhirnya kita memutuskan untuk terus. ‘Let’s do it’.

Q: Secara tema ada eskalasi yang saya lihat dari ‘Lovely Man’ ke film-film berikutnya terutama dalam soal keberanian eksplorasi yang banyak dipandang masih tabu dalam masyarakat kita. Apakah konsep triloginya dari awal memang membenturkan nilai-nilai ke-Islam-an dengan society, kenyataan yang terjadi di masyarakat kita sehari-hari?

A: Kita mendeteksi ada pesan-pesan seperti itu dalam ‘Lovely Man’, ada tema transformasi di sana. ‘Lovely Manis actually about transformation of characters. Bibit ini, dalam ‘Lovely Man’, menurut saya sudah cukup kuat untuk di-stretch ke film-film berikutnya. It just make sense.

Q: Tentang ‘About a Woman’, sebenarnya sudah cukup banyak film-film luar dari era eksploitasi hingga karya-karya arthouse lain yang menceritakan temanya; cinta dan passion dengan rentang usia jauh; dengan lebih halus. Apakah ada film luar yang menjadi inspirasinya?

A: Benar, tapi sebenarnya tidak ada inspirasi spesifik ke film apapun dalam ‘About a Woman’. Dalam ‘About a Woman’, saya hanya ingin bercerita soal loneliness, soal kesepian terhadap tokoh yang sudah berusia 60 tahun ke atas. Begitupun, saya selalu mengatakan ‘About a Woman’ sebagai film (Ingmar) Bergman-nya saya. I’m a big fan of Bergman. Walaupun Bergman tidak pernah membuat film bertema seperti ‘About a Woman’, namun pendekatan rasa, look, emosi hingga subtlety-nya saya rasa terinspirasi oleh film-film Bergman.

Q: Ada banyak atribut-atribut ke-Islam-an dalam ‘Lovely Man’ dan ‘Something in the Way’ untuk dibenturkan ke society, tapi tidak sebanyak itu dalam ‘About a Woman’. Bisa diceritakan alasannya?

A: I see. Sebenarnya ada. Cuma dalam membuat film, saya tidak mengejar sisi sensasionalnya, tapi lebih pada kebutuhan ceritanya seperti apa. Mungkin kalau saya tampilkan karakter yang diperankan Tutie Kirana mengenakan hijab, it will be very much a different film, dan itu bukan sesuatu yang saya mau buat dalam ‘About a Woman’. Saya tidak mencari gimmick tapi lebih mencari kesesuaian dengan cerita yang saya tulis atau ingin saya buat. Dalam trilogi ini, yang memang menyentuh nilai-nilai reliji, itu saya masukkan pada karakter anaknya; yang masih menyesuaikan diri dalam mengenakan hijab, termasuk pada suaminya (diperankan Ringgo Agus Rahman). Saya tidak menerapkannya ke main character yang diperankan Tutie Kirana, karena menurut saya karakternya bukan seperti itu. Identitas muslim dalam karakter utamanya hanya saya refleksikan dalam adegan-adegan dan karakter lain termasuk adegan sholat. Kita juga mau menunjukkan bahwa bukan semua pemeluk Islam di Indonesia mengenakan hijab seperti Raihaanun dalam ‘Lovely Man’. It’s a different kind of Muslim, tapi lebih menggambarkan kelas dalam bentukan karakternya, seorang ibu-ibu middle class – modern Jakarta. Kalau mengenakan hijab, it will become very gimmicky dan itu bukan yang saya mau (tertawa).

Q: Saat menulis ‘About a Woman’ apakah ada cast/aktris kita yang dibayangkan dalam benak Anda? Is Tutie Kirana actually your first choice?

A: Let’s say, ada yang merekomendasikan Tutie Kirana kepada saya. Saya sendiri tidak tahu banyak tentang sejarah karir Tutie Kirana dan film-filmnya sebelumnya karena sulitnya mengakses film-film kita, dan ternyata film-film Tutie dulunya merupakan film-film yang cukup berani. Tapi beliau memang bisa bekerjasama dengan baik dan percaya pada saya selama pembuatan ‘About a Woman’, bahwa apa yang saya tampilkan juga bukanlah sesuatu yang eksploitatif secara seksual.

Q: Ada atau tidak pengaruh festival-festival film internasional khususnya TIFF sebagai salah satu festival internasional terbesar di Asia terhadap kekaryaan Anda?

A: Pengaruh langsung ke karya secara spesifik sebenarnya tidak. Namun yang selalu saya apresiasi dari festival-festival internasional; baik Busan, Berlin, Rome maupun TIFF adalah the experience of cinema, karena sekarang ini kan sinema sedang beralih ke konten-konten online lewat device, dan penonton rata-rata sudah bisa menerima itu. Sama seperti perpindahan seluloid ke digital. Awalnya ada resistensi dari filmmaker – termasuk saya, tapi perlahan mereka sudah bisa adjust ke hal itu. Dulu saya menolak digital, sekarang semua film saya di-shoot secara digital. Sinema juga seperti itu. Penonton yang awalnya masih punya resistensi akhirnya pelan-pelan sudah bisa menerima perubahan itu. Jadi dari festival-festival ini, film-film pesertanya bisa disaksikan lewat cinematic experience. Bisa ditonton beramai-ramai dengan feel yang beda. Ini yang bisa terus menghidupkan feel-nya. Saya jelas ingin sekali film-film saya dinikmati dalam sebuah pengalaman sinematis.

Q: Adakah influence tertentu dari sutradara atau film Jepang terhadap karya-karya Anda? Yang terasa sangat memorable?

A: Of course. Saya tidak sekolah film dan belajar membuat film dengan menonton banyak film. Salah satunya, menurut saya, Akira Kurosawa adalah satu-satunya sutradara yang pintar men-staging adegan. Saya belajar staging adegan dari film-film Kurosawa. Like just watched three war films dari Kurosawa, you will understand how to stage a scene. Peletakan kamera, background dan foreground itu seperti apa, positioning the performers, semua itu sangat penting dan bisa kita dapat dengan menyaksikan film-film beliau. I learned a lot from his films, mostly in staging and understanding scenes. Sineas lain yang karyanya saya ikuti adalah film-filmnya Takeshi Kitano, tapi saya belajar paling banyak dari film-filmnya Kurosawa.

Q: Saya mau bertanya pada Raihaanun. Dalam simposium women filmmakers bersama Nia Dinata, Mouly Surya dan Kamila Andini kemarin, mereka mengatakan bahwa sebagai wanita mereka merasakan mereka merasa sebagai minoritas di industri, terutama sebagai perempuan muslim yang bekerja di film. Apakah Anda merasakan hal yang sama terhadap keduanya, sebagai perempuan, dan perempuan muslim dalam industri film kita?

A: Terus terang saya tidak kepikiran ke arah sana dan tidak merasa terintimidasi juga terhadap status saya ke hal-hal Islami. Saya merasa tidak ada korelasi tertentu antara nilai-nilai budaya Islam dan menjadi minoritas dalam bidang pekerjaan saya. Itu terlalu luas.

Q: Apakah ini pengalaman Raihaanun yang pertama di TIFF? Bagaimana kesan-kesan terhadap audiensnya?

A: Kalau TIFF benar, yang pertama. Di Fukuoka sebelumnya saya sebenarnya hanya menemani Teddy membawa ‘Something in the Way’. Satu yang saya kagumi adalah kulturnya. Budaya kesopanannya, dan mereka terus terang terhadap suka atau tidak suka tidak secara abu-abu. Saya sebenarnya pertama kali di-approach untuk ‘Following Diana’, lantas kebetulan kemudian ‘Lovely Man’ dan terakhir ‘Salawaku’. Ini surprising dan saya merasa bangga bisa mewakili tiga film sekaligus. Saya sangat menghargai apresiasi yang belum tentu bisa saya dapatkan di negara sendiri. Sambutan dan keingintahuan mereka (audiensnya) juga luarbiasa.
(Teddy) Benar. Kita sampai kaget ada audiens yang sudah menonton ‘Lovely Man’ di Osaka tapi datang lagi untuk menontonnya di sini.

Q: ‘Lovely Man’ mungkin belum terlalu sensitif untuk ditayangkan di bioskop. Saat membuat ‘Something in the Way’ dan ‘About a Woman’, apakah sudah ada kesadaran bahwa film-film ini sulit dirilis sebagai konsumsi publik di bioskop?

A: ‘Lovely Man’ pun sebenarnya tidak punya niat untuk ditayangkan di bioskop. Filosofi sejak awalnya sebenarnya film-film ini boleh ditayangkan kalau tidak disensor sama sekali. ‘Lovely Man’ pernah melalui censorship trial dan ternyata tidak dipotong sama sekali, tapi ternyata ketika mau ditayangkan, proses sensor resminya ternyata ada beberapa catatan untuk disensor, dan kita tidak mendapatkan alasan yang memuaskan. However, kita tidak bisa mundur lagi. Jadi saat dirilis, ada beberapa bagian yang disensor dari ‘Lovely Man’. Dengan kesadaran itu, benar, saya memutuskan ‘Something in the Way’ dan ‘About a Woman’ tidak akan saya tayangkan di bioskop, jadi bukan dari sisi temanya lebih berani atau tidak, karena esensinya bisa hilang.

Q: Okay, jadi ketiga film ini tidak dibuat untuk alasan komersil. Apakah keikutsertaannya di festival dan pemutaran-pemutaran terbatas tujuannya sama, bukan untuk tujuan komersil?

A: Benar. Tidak semua festival juga menawarkan screening fees. Membuat ‘Trilogy of Intimacy’ bagi saya seperti membuat sebuah lukisan. Pekerjaan utama saya adalah membuat TV commercials, jadi saya tidak mengharapkan keuntungan komersil dari ketiga film ini. There was no commercial intentions bahwa film-film ini akan di-monetize seperti apa sejak awalnya. Saat ini belum ada wacana ke arah sana walaupun ‘Lovely Man’ sudah ditayangkan secara komersil.

Q: Bisa ceritakan sedikit tentang film terbaru Anda?

A: Yang bisa saya katakan adalah film ini adalah my first take on a teenage drama, dan ini merupakan kolaborasi pertama saya dengan Meiske (Taurisia) dan Edwin (Babibuta Films). Sekarang masih dalam tahap persiapan.