Home » Dan at The Movies » HANGOUT (2016)

HANGOUT (2016)

HANGOUT: A FRESH BLEND, NOT YET A META

Sutradara: Raditya Dika

Produksi: PT Rapi Films, 2016

hangout

Dalam perkembangan sinema komika kita, satu yang sangat menjelaskan trend film Indonesia sekarang ini, Raditya Dika memang masih berada di tempat terdepan soal inovasi; dan yang terpenting dalam bentukan karir seorang komedian; style dan konsep yang konsisten – selagi Ernest Prakasa menyusul pesat di belakangnya, dengan peningkatan outcome untuk memantapkan bargaining power terhadap studio. Sejak premis, kemudian menyusul trailer-nya diluncurkan, memang ada yang terasa berbeda dari komedi Raditya Dika yang satu ini.

Yang pertama jelas sematan kisah misteri dalam plot-nya. Dari Agatha Christie dengan premis ‘Ten Little Indians’ atau ‘And then There Were None’, meski ini tak berjumlah 10, ke trend horror slasher yang lebih modern macam ‘I Know What You Did Last Summer’ dan sejumlah film yang menjual set kabin di tengah hingga ujung hutan. Tapi di baliknya ada yang lebih menarik, bahwa mungkin sebagian dari kita membaca persepsi metacinema alaThis is the End’ di dalamnya. Lagi-lagi, dalam konteks film terms, meski punya sistem akademis dan masing-masing literatur acuannya, memang tak pernah punya definisi baku seperti ilmu pasti, meta cinema ini punya banyak sekali pengertian, dari referensi ke elemen-elemen yang dalam ‘This is the End’ menggunakan karakterisasi fiktif yang mengacu ke cast aslinya, seperti pseudo-characters di mana para aktornya memerankan diri mereka sendiri.

Then again, sebuah adopsi terhadap referensi tentu tak bisa mentah-mentah begitu saja dilakukan tanpa mengulik sejarah. Bahwa komedi luar dan lokal punya perjalanan historikal yang beda, tentu tak mudah memindahkan konsep seperti ‘This is the End’ atau film-film sejenisnya ke ranah film kita, yang dalam sejarah genre komedi sejak dulu, berbeda dengan film luar, kebanyakan menggunakan karakter dengan nama sendiri ke film.

Ini seperti katakanlah, dari Warkop DKI: Dono, Kasino, Indro yang meski memulai debutnya dengan karakter beda tapi mentok sebagai Dono, Kasino, Indro di film-film selanjutnya yang berbeda. Begitu pula yang lain dari Ateng-Iskak, Benyamin S., Bagio CS, Jayakarta Group, Sersan Prambors hingga grup-grup atau komedian lainnya ke era sekarang. Kebanyakan menggunakan konsep sama, tentu kita tak bisa lantas mengatakan semua – dari film-film mereka ke yang lebih modern seperti ‘Udin Cari Alamat Palsu’ atau ‘Youtubers’ – adalah sebuah metacinema – dengan hanya semata menggunakan satu-dua referensi yang menyenggol karakter atau karir mereka di industri nyata. So, ada inovasi-inovasi lain yang dibutuhkan – kalau memang maksudnya mengarah ke sana.

9 orang tersebut; Raditya Dika, Soleh Solihun, Bayu Skak, Gading Marten, Surya Saputra, Titi Kamal, Dinda Kanya Dewi, Prilly Latuconsina dan Mathias Muchus masing-masing mendapat undangan misterius untuk menyambangi sebuah villa di pulau terpencil. Terjebak menunggu jemputan, satu-persatu dari mereka menemukan ajalnya; menyisakan beberapa yang mulai saling mencurigai satu sama lain sebagai pembunuhnya.

Melangkah ke ranah berbeda dengan plot big screen showcase Raditya Dika sebelumnya yang rata-rata bicara soal cinta dengan berbagai metafora, ‘Hangout’ memang meracik elemen-elemen resepnya secara inovatif. Skrip yang ditulis Dika bersama timnya memang terlihat asyik sekali bermain-main dengan referensi untuk bentukan pseudo-characters yang menyinggung kiprah dan karir masing-masing sebagai artis atau public figure. Di satu sisi ini merupakan elemen komedi paling fresh terhadap konsep baru tersebut.

Sayangnya, hanya dialog tentu tak cukup untuk sebuah resiko jualan ke pasar kita walaupun trend yang ada sudah menunjukkan seberapa besar fanbase Dika buat mendukung film-film layar lebarnya. Walau ini tetap pilihan bisnis, salahnya, Dika justru memberinya kontras dengan memasukkan toilet jokes ke dalam konsep cerdas tadi, satu elemen komedik yang sayangnya tak seperti film-film luar; dalam film kita lebih sering jatuh menjadi sesuatu yang disgusting ketimbang lucu; walaupun tetap bisa membuat penonton awam tertawa keras seperti yang sudah kita saksikan dari promo-promo-nya.

Dari joke-joke buang air ke bulu ketek yang walau menempatkan Dinda Kanya Dewi ke salah satu turnover acting cukup berani dalam karirnya, namun tak dibarengi dengan taste dan treatment berbeda untuk berusaha membuatnya lebih berkelas. Dalam keseluruhan bangunan komediknya, elemen-elemen toilet jokes ini justru menutupi semua kecerdasan bentukan karakter dengan referensi-referensi tadi walaupun ‘Hangout’ masih jauh sekali untuk disamakan sebagai sebuah meta ke ‘This is the End’.

Begitupun, sisi teknisnya sama sekali tak jelek. Comedic timing dari editing Ryan Purwoko masih cukup banyak menghadirkan kelucuan yang pas walau di kala mereka harus bermain-main dengan darah dan pembunuhan, dan sinematografi dari Enggar Budiono cukup memberi batasan beda ke atmosfer komedik ketimbang horor-horor dengan set sejenis. Masing-masing pendukungnya juga bekerja dengan baik meng-handle porsi komedi mereka dari Prilly Latuconsina ke Mathias Muchus, plus Soleh Solihun sebagai MVP-nya. Konklusi ke whodunit part-nya mungkin bukan sesuatu yang penting namun juga bisa tersampaikan dengan motivasi yang halus namun tetap terasa cukup unik.

So, ‘Hangout’ mungkin belum lagi sepenuhnya smooth menggabungkan elemen-elemennya, namun jelas merupakan effort bagus dalam karir Dika buat menghindari kebosanan serta menghadirkan sesuatu yang beda, yang perlu sekali dihargai lebih atas usaha-usaha buat keragaman pendekatan ketimbang terus-menerus menyuguhkan atmosfer sama di genre-nya. A fresh blend, but obviously not yet a meta. (dan)