Home » Dan at The Movies » CEK TOKO SEBELAH (2016)

CEK TOKO SEBELAH (2016)

CEK TOKO SEBELAH:  THE ULTIMATE STORE CALLED FAMILY

Sutradara: Ernest Prakasa

Produksi:PT Kharisma Starvision Plus, 2016

cts

Look around and see. Bahwa bentukan sosial kita memang dibangun di atas label dan stereotip. Identitas yang berada di dalam sebuah persepsi mayoritas dan minoritas, masih kerap jadi batu sandungan di negeri ini. Walau sudah jauh lebih membaik dan terkadang kembali marak di atas sebuah gejolak, seperti yang terjadi sekarang ini, coba tanyakan pada etnis yang mengalaminya. Betapa jengah dan tak nyamannya mereka hidup di antara persepsi-persepsi itu, tapi tetap harus bertahan bersama perubahan zaman. Isu sensitif ini berhasil diangkat Ernest Prakasa dengan bijak lewat film pertamanya sebagai all-rounder role di skrip, penyutradaraan sekaligus aktor; ‘Ngenest’, yang menghadirkan pandangan-pandangan itu ke gaya komedinya sebagai seorang komika. Mentransformasikan kegelisahannya lewat self-mocking jokes untuk sebuah penerimaan jenaka, ‘Ngenest’ menjadi sebuah one of a kind saat yang lain mungkin menggubahnya menjadi protes-protes serta satir sosial yang terasa keras dan menghentak.

Thus, sebagai seorang komika (maaf) minoritas, lagi-lagi karena kita memang gampang sekali me-label kelompok-kelompok etnis, Ernest justru sangat beruntung. Bahwa konsep, yang paling dibutuhkan oleh seorang komedian – apalagi komika – untuk membentuk signature-nya, membuatnya dengan cepat melaju pesat. Kala yang lain butuh beberapa film untuk sampai ke pencapaian ini, Ernest sudah punya amunisi kuat sebagai pijakannya. Dan hebatnya, ia memang punya sensitivitas lebih di atas kejengahan yang ia sampaikan lewat ‘Ngenest’. Lebih dari seorang komika, dan sekarang sineas, ia adalah seorang konseptor hebat yang merancang panggung permainannya dengan ketelitian lebih, termasuk dalam mengajak protege dan rekan-rekannya bergabung seperti sebuah penentuan blocking dalam pengaturan panggung bahkan sekelas Srimulat – satu yang terbaik hingga saat ini, yang jelas meletakkan siapa berfungsi sebagai apa di antara lead, supporting hingga sekedar penggembira yang padu buat melontarkan laugh bomb dan kejutan-kejutannya.

Cek Toko Sebelah’, judul menarik yang ia pilih untuk jadi karya keduanya masih sedikit banyak berpijak di wilayah yang sama. Tentang label. Tentang sterotip, yang kali ini dikombinasikannya dengan persepsi lain terhadap hal-hal sejenis. Dan itu memang kenyataan. Bahwa etnis tertentu ada yang punya label usaha toko sport, toko kain bahkan pemilih PH, sementara yang lain rumahmakan atau tukang jahit hingga gerai makanan yang berbeda-beda, akar etnis Ernest memang punya cap tak jauh dari usaha-usaha toko sembako atau di beberapa daerah disebut kedai sampah. Bagusnya, ketika ada cara gampang membentuk plot yang menyenggol judul pilihan itu untuk menggambarkan persaingan antar toko seperti yang kita lihat di trailer-nya, atau katakanlah beberapa film luar yang punya tema-tema mirip, Ernest – bersama different race life partner-nya – Meira Anastasia, yang dalam ‘Ngenest’ dituangkannya ke dalam karakter semibiografis yang diperankan Lala Karmela, plus Jenny Jusuf – kembali sebagai script consultant yang kali ini dicantumkan di kredit, justru membelokkan core-nya ke arah berbeda. Seperti seorang motivator, ia tak lantas secara gamblang mengartikan ‘toko’ sebagai toko, tapi membidik persepsi yang lebih personal dalam kaitan etnis dan identitas sebagai label dan stereotip tadi.

Erwin (Ernest Prakasa), pekerja muda kantoran dengan karir gemilang dan kehidupan mapan di atas hubungannya dengan working girl tak kalah sukses – Natalie (Gisella Anastasia) kelabakan ketika sang ayah, Koh Afuk (Chew Kinwah), pemilik toko sembako memilih untuk mewariskan tokonya pada Erwin. Padahal anak sulung Koh Afuk – kakak Erwin, Yohan (Dion Wiyoko), yang sejak lama menginginkan pengakuan dari sang ayah merasa dilangkahi. Pasalnya, selain sempat membuat masalah sepeninggal ibu mereka (Dayu Wijanto), hubungan Yohan dan Koh Afuk memburuk akibat ia memilih seorang pribumi, Ayu (Adinia Wirasti) sebagai pendamping hidupnya dan bekerja pas-pasan sebagai seorang fotografer freelance dengan bantuan Ayu yang masih bermimpi punya usaha kulinernya sendiri. Sadar tak bisa menolak permintaan Koh Afuk yang kesehatannya mulai menurun – sementara Erwin tengah berada di ambang promosi besarnya sebagai brand director yang ditempatkan di luar negeri, perseteruan keluarga ini pun mulai meruncing di balik ego dan pilihan masing-masing.

Read that again, dan ‘Cek Toko Sebelah’ memang kedengaran sangat tidak komedi, meninggalkan persaingan Koh Afuk dengan Pak Nandar, pemilik toko sebelah yang diperankan oleh Budi Dalton seperti yang kita lihat di trailer-nya. Though don’t worry. ‘Cek Toko Sebelah’ tetaplah ada dalam statusnya sebagai sebuah showcase komedik Ernest Prakasa, yang justru tampil berbeda dengan sematan konflik yang mendasari plot-nya sebagai fondasi kuat buat bangunan komedi yang dibangun dari set toko Koh Afuk dengan Pak Nandar beserta karyawan-karyawannya yang diperankan oleh kolega-kolega komika Ernest. Ada Adjis Doaibu, Andi ‘Awwe’ Wijaya, Dodit Mulyanto, Anyun Cadel, Arafah RiantiHernawan Yoga dan Arif Brata.

Masih mempertahankan soal persaingan yang menjadi surface layer judulnya seperti persepsi kita saat melihat trailer-nya, bangunan side characters itu tak lantas digagas Ernest buat sekedar melucu, tapi masing-masing punya detil dan motivasi yang jelas tanpa harus saling tumpang tindih sebagai penggembira dengan guyonan khas masing-masing. Semua karakter ikut dibentuk menjadi karakter-karakter solid dengan pemberian justifikasi di pengujung akhirnya; tetap dalam tendensi memunculkan gelak tawa. Selebihnya, bahkan karakter emak-emak pelanggan toko yang diperankan komika asal Medan Gita Bhebhita, dokter yang diperankan Arief Didu hingga atasan Erwin – Bu Sonya yang diperankan oleh desainer Asri Welas sebagai scene stealer terkuat dalam reference play ke serial ‘Keluarga Cemara‘ yang bukan disemat buat mengada-ada serta lari dari bangunan plot-nya, hingga ke sempalan penutup bahkan end credits bloopers yang luarbiasa lucu.

Memoles stage-nya sebagai sarana mereka buat bermain, Ernest pun tak main-main. Ada detil yang dihadirkan dalam penataan kamera Dicky R. Maland yang menegaskan lapis latar tiap tokohnya termasuk toko yang jadi sentral penceritaan, juga detil tata artistik yang tetap membangun humor hingga kepentingan product placement-nya yang bisa tertutupi dengan mulus. Sementara ranah karakter Yohan juga diperkuat dengan satir kultur etnisnya yang sampai harus membawa-bawa reference ke Quentin Tarantino pula – and more, tetap dengan tektok-tektok penuh canda yang muncul luarbiasa lucu seperti amunisi seorang komika kala beraksi di atas panggungnya, selagi penyuntingan Cesa David Luckmansyah bermain luwes dengan invisible editing untuk menyambung sketsa-sketsanya menjadi sebuah kontinuitas padu bersama scoring Andhika Triyadi yang makin memberi rasa.

Di atasnya ada Adinia Wirasti yang mungkin di-mispersepsikan sebagian orang kurang tergali. But look deeper, betapa karakter Ayu menjadi seolah ‘tranquilizer’ terhadap eskalasi dramatis yang dihadirkan plot utamanya, sekaligus dipenuhi justifikasi hubungan lintas etnis yang punya motivasi kuat terhadap pilihannya. Lagipula tak gampang bagi seorang aktris dengan ‘leading lady’ status untuk bisa menahan porsinya buat ditahan di batasan-batasan pendukung tanpa membayangi porsi karakter lain yang lebih besar. Ada kompromi-kompromi yang cukup terlihat, namun hal terbaiknya adalah chemistry begitu hangat yang terbentuk antara Adinia dan Dion, yang sekali ini benar-benar naik kelas di tangan Ernest buat bermain serius di antara comics ensemble-nya.

MVP lain juga ada di tangan aktor Malaysia Chew Kinwah sebagai Koh Afuk. Memerankan seorang ayah kolot yang memberi penekanan stereotip etnis tadi, diperkuat dengan bentukannya sebagai subetnis Hokkien, Chew tak lantas jadi seorang ayah antagonis pemicu konflik di film-film kita rata-rata. Ia bahkan bisa membuat kita bersimpati dengan kerapuhan di balik ketidakadilan perlakuan terhadap dua putranya setelah ditinggal sang istri, Ci Lili yang diperankan Dayu Wijanto, yang meski hadir hanya dalam porsi flashback dan elemen artistik tapi punya gestur sekuat keperluan karakternya sebagai faktor penting yang memicu motivasi karakter-karakter utamanya dalam keseluruhan bangunan plot ‘Cek Toko Sebelah‘. Membuat kita benar-benar mengerti betapa semua motivasi karakter ini mengacu ke sosoknya dalam setiap pertimbangan keputusan. Itu pula yang membuat mengapa graveyard scenes di filmnya, termasuk part rekonsiliasinya bisa benar-benar mengetuk hati, luarbiasa menyentuh  meski ditampilkan berulang dalam penekanan karakter Yohan yang menjadikannya pegangan terkuat dalam bentukan karakter itu.

Masih diramaikan oleh heist subplot yang memunculkan karakter-karakter komikal yang juga diperankan sesuai porsinya oleh Tora Sudiro dan Yeyen Lidya, meskipun klise, ia berhasil memberi sentuhan lebih untuk sebuah setup buat motivasi rekonsiliasi serta kaitan-kaitan yang punya relevansi tanpa harus lari kelewat jauh dari inti terkuatnya soal keluarga. Bahkan cameo seperti Patrick Effendy ke Kaesang Pangarep dan dukungan lebih lagi seperti karakter Nino Fernandez plus belasan komika lain tetap punya dasar dan kesempatan tanpa membuatnya jadi penuh sesak. Dan walau Gisella Anastasia sebagai Natalie masih terlihat agak lemah di aspek subplot hubungannya dengan Erwin, tapi tetap bisa tertutupi dengan kekuatan ensemble-nya sebagai satu kesatuan yang solid.

So, inilah kekuatan konsep yang digagas oleh Ernest sebagai titik tengah semua bangunannya. Lebih dari sekedar komika, Ernest menunjukkan dirinya adalah arsitek jempolan buat showcase-nya sendiri. Dengan elemen-elemen sedemikian kuat, ia hanya perlu memainkan porsinya dengan self-mocking style komedi khas dia seperti seorang tauke pemilik toko di batasan-batasan sangat terjaga. And for a lead comedian, that’s the ultimate act.

Pada akhirnya, konsep itu memang tak menjadikan ‘Cek Toko Sebelah’ sebagai tontonan stereotipikal di atas isu label dan stereotip yang diangkatnya, sekaligus membentuk tatanan dramatisasi yang melebur mulus dengan panggung komedinya. Membuat kita tertawa terpingkal-pingkal dengan mata basah karena berkali-kali dibelokkan ke sebuah kedekatan rasa yang digagas di atas sebuah kepekaan lebih atas hal-hal yang kita jumpai sehari-hari, bahkan membuat kita merindukan rumah dengan orang-orang terdekat sebagai inti terkuatnya. Mengingat kembali pilihan-pilihan yang selama ini tak kita sadari sebagai kebanggaan, atau justru kekecewaan bagi orang-orang terdekat kita.

Di situ, tanpa lagi mempedulikan ending yang bagi sebagian orang bisa dianggap luarbiasa klise, bukan saja memicu sebuah perenungan panjang atas pilihan-pilihan tadi, toko dalam ‘Cek Toko Sebelah’ bukan lagi menjadi sekedar toko tapi justru sebuah  simbol bahkan alegori terkuat sebagai inti terpenting yang ingin disampaikan Ernest. That all family members are their own storekeepers, and though we could always look up to others – toko-toko sebelah yang ada di sekitar kita – in comparison to either the same or different problems, toko pertama kita adalah satu yang jarang kita sadari. An ultimate store caled family, yang harus selalu dijaga apapun pilihan akhirnya.

Menyampaikan semua dengan luarbiasa bijak, funny, heartfelt and engaging, ‘Cek Toko Sebelah’ adalah tontonan bagus penutup sekaligus pembuka tahun. Sebuah humor stereotip yang sama sekali tak jatuh jadi stereotipikal. A kind of ultimate comedy that can make you laugh and weep at the same time, sambil tentunya tak pernah berhenti membuat kita melihat balik atas pilihan-pilihan kita selama ini. Dan di di ujung akhirnya, seperti iringan soundtrack bagus dari kolaborasi duet The Overtunes dan GAC dengan folk-acoustic ambience yang menenteramkan hati, ia membuat kita keluar dari bioskop dengan satu keinginan. Come home and go straight hugging our loved ones. (dan)