BUKA’AN 8: COULD BE ANYONE’S PERSONAL MEMOIR THAT HITS CLOSE TO HOME
Sutradara: Angga Dwimas Sasongko
Produksi: Visinema Pictures, Chanex Ridhall Pictures, Kaninga Pictures, 2017
Ada banyak film yang digagas dari pengalaman personal pembuatnya sebagai sebuah labor of love yang lantas dibalut dengan berbagai ambisi. Itu biasa. Tapi menemukan sebuah pengalaman personal yang punya kedekatan dengan banyak orang, itu perlu kejelian beda. Satu, karena mungkin seringkali hal-hal semacam ini berupa rutinitas biasa yang kerap luput dari proses kelahiran sebuah ide. Kedua, kreator sebuah karya biasanya melulu memikirkan ide-ide out of the box agar kelihatan tak biasa. Padahal, kedekatan tema – juga bisa jadi hal yang tidak biasa.
Di situ, ‘Buka’an 8’ menemukan momentumnya. Ia boleh jadi kelihatan biasa dengan berdiri di atas tema-tema menyambut proses kelahiran pertama yang sudah banyak kita temukan di film-film luar macam ‘Nine Months’, ‘Father of the Bride II’ hingga ‘Bridget Jones’ Baby’ tahun kemarin. Atau yang lebih jeli mengulik histori, kita pernah punya film arahan S.A. Karim tahun 1976 yang berjudul ‘Menanti Kelahiran’ (dibintangi Deddy Mizwar di awal karir filmnya) – namun lebih berupa PSA soal pendidikan seks hingga membawa-bawa penyakit kelamin dan menghadirkan beberapa dokter yang berbicara bak sebuah dokumenter.
Namun menjadi pengejawantahan memoir singkat pembuatnya – pasangan sutradara-produser Angga Dwimas Sasongko dan Anggia Kharisma, serta kabarnya beberapa pasangan lain di sekitar kehidupan mereka, ada sentuhan yang mungkin membuatnya jadi berbeda dengan yang lain. Apalagi, proses-proses rutin ini jelas tak bisa terpisahkan dari fenomena sosial yang mendefinisikan sebuah era di mana pengalaman personal itu terjadi. Di sinilah, ‘Buka’an 8’ lantas menjadi kemasan tak biasa, di mana Angga bersama penulis skrip Salman Aristo bisa dengan leluasa mengemas banyak subteks ke dalamnya, dari keluarga hingga social media. Ia bicara soal kelahiran pertama, but the best thing of it, the movie defines an era.
Pasutri Alam (Chicco Jerikho) dan Mia (Lala Karmela) merupakan pasangan milenial yang dari short prequel companion di luar filmnya dikisahkan bertemu dan jatuh cinta di dunia maya. Mendapat tentangan dari keluarga Mia; Abah (credited as Tyo Pakusadewo) dan Ambu (Sarah Sechan) sejak awal karena menganggap Alam yang hanya seorang selebtwit politik tanpa kerjaan tetap tak bisa diandalkan, proses kelahiran anak pertama mereka pun diwarnai kekacauan. Belum lagi, niat untuk membahagiakan Mia atas cintanya bercampur-baur dengan sebuah usaha pembuktian bahkan pencitraan di balik eksistensi Alam di sosmed.
Lebih dari sebuah romance menyambut kelahiran pertama yang dibangun di atas template chaos comedy, dengan elemen-elemen yang membungkus keseluruhan plot-nya, ‘Buka’an 8’ adalah sebuah kejelian bercerita dari kolaborasi Angga dan Salman Aristo. Tak serta-merta hanya membangun konflik penuh kekacauannya di antara kepentingan-kepentingan serta kelas sosial dua keluarga dalam tradisi pernikahan masyarakat kita – disorot lewat dialog-dialog jenaka namun tak lantas kehilangan kedalaman lapis sosial para karakternya, skrip Salman juga mengeksplorasi fenomena sosial dengan rentang luas dari sosmed, intrik-intrik politik yang relevan hingga masalah-masalah kestabilan ekonomi pasangan-pasangan muda di balik impian-impian kaum urban, bahkan secuil protes sosial soal tingkatan kelas pelayanan kesehatan di negeri ini.
Di situ, dengan penerjemahan visual Angga yang memang merupakan salah satu dari segelintir sineas kita dengan kemampuan storytelling di atas rata-rata, ‘Buka’an 8’ menjadi sebuah life comedy yang kaya dengan subteks, sekaligus menyentuh kedekatan semua aspek penceritaannya terhadap banyak orang. Bahwa Alam dan Mia adalah refleksi dari banyak pemirsanya. Pasangan yang kerap bertengkar dengan kebiasaan perilaku sosmed sebagai kebutuhan utama, harapan-harapan orangtua terhadap anaknya, mertua terhadap menantunya, serta manusia-manusia yang saling bertarung di tengah kesenjangan ekonomi dan problem-problem sosial lainnya demi penghidupan yang lebih baik. Namun mereka tak sekalipun kelepasan meninggalkan fondasi terkuat soal cinta dalam keberadaan ‘Buka’an 8’ tetap sebagai sebuah romcom. Delightful one.
Itu juga yang membuat gambaran karakter-karakternya terasa sangat dekat serta komunikatif terhadap pemirsanya, membuat kita dengan mudah menertawakan banyak hal di luar sempalan-sempalan slapstick yang tergelar proporsional. Menciptakan sinergi yang baik antara karakter Abah dan Ambu yang diperankan dengan komikal oleh Sarah Sechan apalagi Tyo dengan ekspresi fisik Bell’s Palsy-nya dalam balance bagus ke karakter ibu Alam yang diperankan Dayu Wijanto secara lebih serius namun penuh sparks di antara ketegasan dan kasih sayang, juga karakter dokter yang diperankan Maruli Tampubolon bersama segenap paramedisnya (Melissa Karim, Ary Kirana & Nadine Alexandra di antaranya) plus acting coach Norman Akyuwen sebagai mandor. Selebihnya ada seabrek cameo yang mengisi tiap subplot termasuk yang dihadirkan Angga dengan visualisasi twitwar sosmed secara unik; dari Deddy Mahendra Desta, Mo Sidik, Marwoto, Uli Herdinansyah hingga Dwi Sasono dan Roy Marten.
Sementara di porsi sentralnya, Alam yang diperankan dengan santai tapi tak pernah kehilangan momentumnya oleh Chicco Jerikho membaur dengan chemistry juara bersama Lala Karmela sebagai Mia yang meski tak terlalu banyak mendapat tantangan namun menunjukkan aura lead actress yang makin kuat setelah breakthrough performance-nya di ‘Ngenest’. Bangunan karakter Alam yang jauh dari kesempurnaan, clumsy dan seringkali mengesampingkan tanggung jawab dan diterjemahkan dengan baik oleh Chicco justru membuat proses-proses empati terhadapnya bisa muncul naik turun secara wajar, namun di satu titik tertentu tetap meyakinkan kita soal motivasi terbesar di tengah distraksi-distraksi yang ada. Bahwa dalam persyaratan baku seorang lead character, titik ujungnya adalah sebuah turnover untuk jadi sosok yang berbeda, or at least we thought so. Duet slapstick-nya dengan Tyo Pakusadewo yang bisa jadi sedikit keluar jalur namun tak mengapa dalam comedy patterns menjadi salah satu comedic highlight terbaik yang muncul dalam ‘Buka’an 8’.
Di departemen teknisnya tak ada yang terlalu spesial kecuali kehadiran detil-detil latar medis yang tergolong cukup rapi buat rata-rata film kita, namun scoring dari Mc Anderson dan lagu tema dari Payung Teduh cukup memberi nuansa ke aspek-aspek romantisasinya. Tapi memang ‘Buka’an 8’ tak terlalu membutuhkan distraksi teknis di atas skrip Salman Aristo – storytelling Angga berikut penampilan bagus semua pendukungnya.
Pada akhirnya, di tengah kedekatan-kedekatan yang mereka tampilkan di sepanjang penceritaannya, ‘Buka’an 8’ tetap dibungkus dengan benang merah yang menyambung semua sesuai esensi judulnya, membawa kita ke sebuah refleksi personal yang mengingatkan kembali rasa terbesar menyambut anugerah terindah soal kelahiran dengan sangat menyentuh. Could be anyone’s short personal memoir welcoming their first labor and truly feels like one, ‘Buka’an 8’ hits so close to home. Everyone’s home. (dan)