Home » Dan at The Movies » LOGAN (2017)

LOGAN (2017)

LOGAN: A BLOODY GORE-FEST MEETS DYSTOPIAN WESTERN; WOLVERINE’S GLORIOUS FINAL RIDE

Sutradara: James Mangold

Produksi: Marvel Entertainment, Kinberg Genre, The Donners’ Company, 20th Century Fox, 2017

logan imax

Sudah 17 tahun sejak Hugh Jackman pertama kali tampil sebagai Wolverine dalam instalmen pertama ‘X-Men’. Dalam rentang sejauh itu, ia juga tampil dalam instalmen solo Wolverine; ‘X-Men Origins: Wolverine’ dan ‘The Wolverine’. Tapi film solo ketiga ini dari awal memang dikabarkan akan menjadi sesuatu yang beda.

Merupakan visi sutradara James Mangold (‘Copland’) meneruskan ‘The Wolverine’ ke ranah beda sekaligus dikabarkan menjadi final chapter buat tokohnya, ‘Logan’ – judul singkat yang mereka pilih berdasar komik ‘Old Man Logan’ karya Mark Millar dan Steve McNiven dan ‘Wolverine’ dari Roy Thomas, Len Wein dan John Romita, Sr. ini sekilas lebih mirip film western yang digagas di dunia distopia – futuristik ketimbang tone pure fantasy dari seri layar lebar ‘X-Men’ biasanya. Bersama Mangold dan Scott Frank dari ‘The Wolverine’, skripnya juga ikut ditulis oleh Michael Green, penulis blockbuster sequels unggulan tahun ini; ‘Alien:Covenant’ dan ‘Blade Runner 2049’.

Dikisahkan, di tahun 2029, Wolverine alias Logan (Hugh Jackman) sudah berada pada hari tuanya. Mulai kehilangan daya penyembuhan dan cakar adamantium yang tak lagi sempurna, sambil bekerja sebagai sopir limo, bersama mutan Caliban (Stephen Merchant) yang mirip vampir Nosferatu, mereka pun jadi anggota X-Men yang tersisa atas sebuah insiden masa lalu, yang harus merawat Prof. Charles Xavier (Patrick Stewart) – kini pikun dan tak lagi bisa mengontrol kekuatannya.

Tak lama, Logan tak bisa menolak kala diminta oleh seorang perawat dari institusi Transigen untuk membantu Laura (Dafne Keen), gadis 11 tahun untuk menemukan sebuah tempat rahasia bernama Eden di mana masih banyak mutan tersisa. Di balik rahasia Laura, Transigen dan Eden, Logan – Charles dan Laura menemukan diri mereka dikejar oleh Transigen dengan pentolannya, Zander Rice (Richard E. Grant), kepala sekuriti Donald Pierce (Boyd Holbrook) dan tim algojonya; The Reavers yang punya mutan-mutan tangguh menyerupai dirinya.

Dari sekuens awal, ‘Logan’ memang sudah tak terlihat seperti ‘X-Men’ biasanya. Beralih ke nuansa muram atmosfer western distopia yang penuh darah, pameran aksinya dipenuhi adegan-adegan luar biasa sadis bahkan menempatkan karakter anak-anak sebagai subjeknya, terutama dari Laura yang diperankan dengan sangat meyakinkan oleh aktris layar lebar debutan berusia 12 tahun Dafne Keen.

Namun bukan berarti ‘Logan’ lantas kehilangan koherensinya sebagai – tetap, bagian dari universeX-Men’ yang sudah dirombak sejak instalmen ‘Days of Future Past’ untuk membuang blunder yang pernah dilakukan Brett Ratner dalam ‘The Last Stand’. Permukaan teratasnya menjual pameran kesadisan secara eksplisit. Namun juga dipenuhi hati dari Mangold dan tim-nya, kombinasinya menjadi sesuatu yang benar-benar unik dan tak sekalipun memutus benang merah-benang merah yang ada dalam franchise-nya, bahkan sekali ini mendobrak trivia atas latar belakang Laura yang dijuluki X-23 ke kultur populer source  ‘X-Men’ khususnya Wolverine yang kita tahu, sambil diisi homage yang jelas ke film koboi klasik karya George Stevens, ‘Shane’ yang dibintangi Alan Ladd.

Di situ, skrip Mangold, Frank dan Green sibuk memuat heartful interactions di atas subteks ‘keluarga’ dari karakter-karakternya; di antara Logan dan Charles, juga keberadaan mereka sebagai penjaga sekaligus pelindung Laura. Di tengah ambience yang sangat mengingatkan kita ke banyak film lain – dari ‘Shane’ ke ‘Mad Max: Road Warrior yang juga sangat senada hingga Fury Road’, emotional sparks itu muncul dengan solid; menyentuh di antara percikan darah dan loose body parts yang nyaris digelar Mangold tanpa kompromi demi penekanan rating dewasanya.

Membangun tiap belokan berbeda dari tone-nya terhadap instalmen-instalmen ‘X-Men’, sinematografi ‘Logan’ dari DoP kawakan John Mathieson (‘Gladiator’, ‘Kingdom of Heaven’, ‘Robin Hood’, ‘Pan’ dan ‘X-Men: First Class’) yang memang sudah biasa bermain di rendisi karakter-karakter legenda ke arah yang lebih realis dan dewasa menjadi salah satu kekuatan utama ‘Logan’ dalam cinematography-based framing yang diakui Mangold sebagai pendekatan visual utamanya. Adegan-adegan aksinya digagas dengan style serba gahar, gritty juga gruesome tapi tak juga meninggalkan keindahan action choreography yang ditangkap Mathieson dengan sempurna bersama editing Michael McCusker yang juga sudah biasa bekerjasama dengan Mangold di ‘Walk The Line’, ‘3:10 to Yuma’ dan ‘The Wolverine’.

Tapi yang benar-benar menghidupkan karakter-karakter X-Men secara berbeda dengan tiap penerjemahan disabilitas, past-their-prime superheroes, adalah Jackman dan Stewart. Chemistry mereka berkembang melebihi instalmen ‘X-Men’ manapun menggambarkan sisi father to son yang luar biasa menyentuh, bersama Dafne Keen sebagai scene stealer paling tangguh yang beraksi bak super-heroine belia dengan kesadisan tanpa ampun bahkan melebihi kiprah awal Chloe Moretz sebagai ‘Hit Girl’ dalam ‘Kick-Ass’ – in many similarity. Sementara selain Stephen Merchant, masih ada Boyd Holbrook dan aktor Inggris senior Richard E. Grant di porsi villain-nya, plus Eriq La Salle dan (if you really pay attention) aktor laga B movies ‘90an Daniel Bernhardt yang sekarang mulai kembali di sejumlah film-film aksi.

Entah nanti Jackman masih bakal tampil sebagai Wolverine, karena di genre ini apapun bisa terjadi, buat sementara ini, took different turns into a bloody gore-fest meets dystopian western, yet moves in the veins of ‘X-Men’ franchise, ‘Logan’ adalah sebuah penutup yang seru, megah sekaligus menyentuh untuk karakternya. One glorious Wolverine’s final ride, yang sayangnya kali ini – walaupun filmnya sendiri secara kontradiktif agak eksploitatif menggunakan anak-anak sebagai subjek kesadisan, berstatus restricted buat pemirsa anak-anak dari tahapan usia tertentu. Apa boleh buat. (dan)