KARTINI: THE ULTIMATE ESSENCE OF THE EPIC FIGURE
Sutradara: Hanung Bramantyo
Produksi: Legacy Pictures, Screenplay Productions, 2017
Dibanding biopik-biopik perjuangan lainnya, ‘Kartini’ mungkin menjadi sosok yang paling sulit buat diangkat ke layar lebar. Di luar soal set dan pernak-pernik artistik, kostum ataupun dialek, tanpa menonjolkan perjuangan fisik, masalahnya adalah esensi. Di saat setiap tahun para wanita kita merayakan jasa-jasanya, mungkin apa yang kita ketahui soal sosok dan perjuangannya tergolong dangkal. Adalah kemudian cara bercerita yang lantas membuat kita bisa mendapat sesuatu yang lebih, dan itu pula sasaran akhir dari sebuah karya biopik. Tanpa pula dipoles dengan glorifikasi berlebih. Seharusnya.
Syuman Djaya pernah mencoba lewat versi pertamanya di tahun 1984. ‘R.A. Kartini’ yang memasang Yenny Rachman untuk memerankan Kartini jelas sebuah karya yang baik; namun tak membuat kita tahu melebihi penggalan-penggalan pendidikan sejarah perjuangan bangsa yang kita pelajari di sekolah. Sementara ‘Surat Cinta Untuk Kartini’ (2016) memilih bermain aman di balik sebuah fictionized – unrequited love tale – menempatkan sosoknya hanya sebagai latar tanpa pendekatan historis yang sebanding. Di sini, kali ketiga sosoknya diangkat ke layar lebar, buat sebagian orang, nama Hanung Bramantyo mungkin diragukan. Bukan karena biopik adalah wilayah barunya, namun justru karena beberapa kali Hanung menyemat glorifikasi berlebih tadi sebagai polesan yang akhirnya jatuh ke wilayah kelewat pop hingga kehilangan esensi.
Untunglah ‘Kartini’ kali ini tak begitu. Lewat skrip yang ditangani Hanung sendiri – bersama Bagus Bramanti, yang memang tahun ini makin banyak menelurkan skrip bagus, sematan star studded factors yang setiap saat bisa berpotensi sebaliknya, bisa berjalan rapi di jalurnya. Ada visi Robert Ronny, mungkin, sebagai produsernya untuk menjaga itu, dengan membawa Kartini ke esensi terdasarnya sebagai seorang manusia biasa. Skrip itu pada akhirnya memang membawa kita menemukan Kartini lewat orang-orang di sekelilingnya. Ia tak lantas menjadi center of the film’s universe, tapi bagian dari sebuah lakon natural yang bergerak rapi bersama buat membawa esensinya.
Kartini (diperankan Dian Sastrowardoyo; yang juga memicu tak sedikit reaksi publik karena dianggap terlalu kinclong) yang diperkenalkan pada kita lewat skrip itu bukanlah sosok wanita yang sibuk berjuang sejak awal. Di tengah kehidupan patriarkis ningrat Jawa yang penuh keterkungkungan, ia tumbuh melihat ibunya, Ngasirah (Christine Hakim) terbuang dianggap sebagai pembantu karena tak punya darah ningrat. Sementara ayahnya, Raden Sosroningrat (Deddy Sutomo) juga tak berdaya melawan tradisi meski ia begitu mencintai Kartini. Dengan bantuan kakaknya, Kartono (Reza Rahadian), Kartini yang dipingit untuk menjadi Raden Ayu akhirnya bergerak mengambil perhatian banyak pihak untuk membuktikan dirinya layak memperoleh kesetaraan pendidikan, sekaligus membawa dua saudarinya; Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita Nugraha) berjuang bersamanya.
Selagi kekuatan utama skripnya juga merambah banyak hal yang mungkin belum pernah kita dengar sebelumnya secara informatif; termasuk kiprah tiga saudari yang dijuluki ‘het klaverblad’ bahkan ke latar industri kerajinan Jepara, yang membuat ‘Kartini’ jadi begitu hidup adalah pengaturan ensemble play bersama desain produksinya. Di tangan Hanung – Bagus, Robert Ronny dan timnya, ia tak harus bergerak lambat atau terlalu puitis sebagai ‘award-quality’ biopic. Penceritaannya ringan namun bukan berarti kehilangan kedalaman.
Penempatan cast yang digagas dengan pas juga bisa terbagi dalam porsi yang proporsional. Dari A-list actors yang bergantian mencuri perhatian, menempatkan Dian dan Christine di jajaran teratas MVP-nya – duet hebat yang dulu gagal lewat ‘Pasir Berbisik’ yang kelewat pretensius di atas plot yang klise luar biasa, ke peran-peran extras yang diisi oleh aktor-aktor kecil – bule ataupun lokal, ‘Kartini’ muncul dalam pengaturan staging yang sangat baik, namun tak sekalipun terasa teatrikal. Lakon itu mengalir secara natural, dan di lapis berikutnya ada penampilan yang juga solid dari Deddy dan Djenar Maesa Ayu – yang meski sekilas dibentuk kelewat komikal namun tetap mendapat justifikasi yang baik dari penelusuran skrip Hanung dan Bagus.
Masih ada Denny Sumargo yang sangat berbeda dari film-filmnya yang biasa, Acha dan Ayushita yang mendukung karakter utamanya dengan wonderful sparks di tiap adegan mereka, bahkan Reza Rahadian, Adinia Wirasti, Dwi Sasono atau Rudy Wowor bermain kuat di porsi kecil mereka.
Tata produksinya pun tampil sangat berkelas. Membawa sinematografi Faozan Rizal sebagai bagian paling menonjol bersama tata artistik dari Allan Sebastian, tata kostum dari Retno Ratih Damayanti, tata rias dari Darto Unge pun mendukung keseluruhan desain produksinya dengan baik. Scoring dari Andi Rianto dan Charlie Meliala, lagi menunjukkan bahwa mereka adalah pilihan tepat untuk tata produksi di kelas grande seperti ini, termasuk kala ia dengan berani merekonstruksi arsip atau footage lama aslinya ke pengadeganan baru.
Namun yang benar-benar membawa ‘Kartini’ ke puncak pencapaiannya sebagai salah satu biopik terbaik yang pernah dihasilkan industri film kita adalah bagaimana keseluruhan elemen itu membentuk kesatuan yang padu buat menyemat esensi yang ada di balik perjuangan non fisik yang dilakukan oleh sosok sentralnya. Played like an untold story of the epic figure – sebuah pendekatan yang tentu membuat sebuah biopik jadi semakin kaya tanpa harus mengada-ada, ia membawa kita merasakan feel yang tepat dari karakter-karakternya dan apa yang harus ditampilkan dalam sebuah biopik; guliran ending yang lewat penyuntingan Wawan I. Wibowo membawa frame demi frame finale dengan kekuatan akting itu mengalir begitu menyentuh tanpa mesti dipoles dengan glorifikasi berlebihan untuk menggambarkan esensi perjuangan Kartini mendobrak batasan dan keterkungkungan buat kaumnya.
Boldly depicting the ultimate essence; sacrifices for the greater good, yang mungkin akan membuat di tahun-tahun berikutnya para wanita kita tak lagi hanya sekedar merayakan, tapi mengingat sosok Kartini secara jauh lebih mendalam. Bagus sekali. (dan)