CRITICAL ELEVEN: A DEEPLY INTIMATE JOURNEY OF LOVE, LOSS AND LIFE
Sutradara: Monty Tiwa & Robert Ronny
Produksi: Starvision, Legacy Pictures, 2017
“Sums up with a deep intimacy never before seen in our cinema these days, #CriticalEleven took us to a journey of love, loss and life.”
Baik dalam dunia sosmed dan fiksi metropop, penulis kelahiran Medan Ika Natassa dan novel-novel best seller-nya adalah sebuah fenomena. Keunikan marketing non-konvensional di balik gambaran relationship kaum urban dan aspek-aspek kekinian yang digelar Ika lewat karya-karya itu menjadi faktor utama buat meraih pembaca loyalnya. Novel ‘Critical Eleven’ sendiri punya rekor spesial habis terjual dalam waktu 11 menit peluncuran perdananya.
Sebagai bayi pertama dari serangkaian novelnya yang akan diangkat ke layar lebar, adalah sebuah blessing Ika bisa menggamit kolaborasi Starvision dan Legacy Pictures dalam ‘Critical Eleven’. Kebiasaan Starvision menjual star factors dan kelas produksi Legacy membuat status high profile-nya dipenuhi ekspektasi tinggi dalam menghidupkan imajinasi pembacanya terhadap karakter-karakter yang seolah hidup bersama mereka sejak lama lewat akun-akun sosmed fiktif yang dibesut Ika dalam marketing non-konvensionalnya.
Merujuk ke judul yang menggambarkan istilah dunia penerbangan soal 11 menit paling kritis – 3 menit setelah take-off dan 8 menit sebelum landing, yang menentukan keselamatan penumpang pesawat dan lantas menjadi alegori dari sebuah pertemuan, Aldebaran ‘Ale’ Risjad (Reza Rahadian) dan Tanya ‘Anya’ Baskoro (Adinia Wirasti) saling bertaut dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Berlanjut ke pernikahan dan kepindahan keduanya ke New York atas pekerjaan Ale di lepas pantai Meksiko, dua manusia ini mulai bergumul dengan ego dan perasaan masing-masing saat kehamilan Anya berujung ke sebuah konflik yang setiap saat bisa meluluhlantakkan bahtera mereka.
Dikemas dalam tata produksi sangat rapi dalam tiap aspek presentasi teknisnya, ‘Critical Eleven’ terasa begitu hidup oleh penampilan solid Reza Rahadian dan Adinia Wirasti di tengah ensemble cast yang memuat nama-nama terkenal dari Revalina S. Temat, Hamish Daud, Hannah Al Rashid, Astrid Tiar, Refal Hady, Dwi Sasono, Mikha Tambayong, Anggika Bolsterli hingga aktor senior Widyawati Sophiaan dan Slamet Rahardjo Djarot. Semua deretan nama-nama ini bisa mengisi karakter mereka dengan baik sesuai porsinya masing-masing, as circle of friends and families, walau sebagian sangat singkat tapi bukan berarti sambil lewat tanpa punya kepentingan, sementara Widyawati dan Slamet Rahardjo membuktikan legenda keaktoran mereka dengan penampilan keduanya di sebuah adegan yang begitu berhasil menggerakkan titik kulminasi emosinya di balik penyuntingan efektif Ryan Purwoko.
Kembali ke soal gambaran realistik hubungan suami-istri dalam melodrama sejenis, yang tak pernah jadi masalah gampang di film kita, menjadi poros terkuat dalam ‘Critical Eleven’, chemistry Reza dan Adinia yang sebelumnya sudah teruji dalam produksi Legacy sebelumnya; ‘Kapan Kawin?‘ berhasil menciptakan intimacy luar biasa, juga terlihat sangat believable dalam realisasi hubungan marital yang jarang-jarang kita saksikan dalam film Indonesia sekarang ini, bahkan dalam banyak hal menyamai satu pencapaian yang sejauh ini masih dipegang oleh duet Slamet Rahardjo dan Christine Hakim dalam ‘Di Balik Kelambu’, film terbaik FFI 1983 arahan Teguh Karya, begitu pula dari looks dan gestur yang sangat mengingatkan ke pasangan itu.
Walau jalinan cerita yang sebenarnya cukup simpel, skrip yang digarap keroyokan oleh Ika dan Jenny Jusuf bersama duet sutradara Robert Ronny dan Monty Tiwa bisa membangun kedalaman rasa atas konflik dan interkoneksi antar karakter yang mereka tampilkan. Ada keintiman bercerita yang lantas membuat konflik yang mereka gelar bisa terbangun dengan wajar serta humanis di atas kompleksitas dan persepsi berbeda soal penyembuhan luka dalam hubungan-hubungan suami istri sebagai skup terkecil dalam keluarga.
Gempuran romantic scenes yang mereka gelar secara no-holds-barred di paruh awal tak lantas menjadi sekedar pameran panoramik set New York dengan segala lanskapnya namun menjadi atmosfer yang padu serta simbolik buat melatarbelakangi tiap twist and turn di marital conflict ke paruh berikutnya. Lantas tak seperti yang biasanya sering disepelekan pembuat film kita, ada detil yang juga tertata baik dalam sebuah pengadeganan medis yang menjadi salah satu titik emosional terpentingnya.
Sementara dalam tata teknisnya, kredit paling menonjol selain kolaborasi penyutradaraan Monty dan Robert yang bisa bersinergi membawa style masing-masing tanpa terasa tumpang tindih, adalah kekuatan dan keindahan frame dari DoP Yudi Datau yang bisa meretas lapis demi lapis perpindahan set-nya buat mengiringi eskalasi konflik yang mereka gelar. Berikutnya adalah komposisi scoring Andi Rianto yang tampil dengan nuansa orkestrasi megah, menggugah rasa tapi tak lantas jadi kelewat majestis mengarahkan sematan-sematan emosinya. Sebagai musik latar yang mengalir dengan melodius – ini juga tak setiap kali bisa kita dapatkan di film-film kita, where a main theme in movies should work like memorable ones you could whistle or hum to, scoring Andi juga membentuk blend yang baik dengan theme song bagus ‘Sekali Lagi’ yang ditulis khusus buat filmnya oleh Isyana Sarasvati.
Semua elemen-elemen juara dari pengaturan akting hingga tata produksi inilah yang lantas berhasil menjaga ritmenya sebagai sebuah melodrama cinta yang meski sederhana dan kerap tak bisa menghindar dari beberapa turnover klise tapi tertutupi dengan baik oleh sebuah keintiman dan kedekatan rasa. Bahwa banyak dari kita adalah Ale dan Anya yang mungkin pernah berada di titik kritis kehidupan marital masing-masing, ‘Critical Eleven’ berhasil membawa kita melihat balik buat merasakan sebuah perjalanan menyentuh soal cinta, kehilangan sekaligus kehidupan. (dan)