VALERIAN AND THE CITY OF A THOUSAND PLANETS: FOR BETTER OR WORSE, A WILD AND HIGHLY IMAGINATIVE VISUAL GRANDEUR
Sutradara: Luc Besson
Produksi: EuropaCorp, Fundamental Films, River Road Entertainment, BNP Paribas Fortis Film Finance, Universum Film, Gulf Film, Belga Films, 2017

Image: impawards.com
Sebagai salah satu pionir sinema modern Perancis yang kemudian banting stir ke ranah blockbuster komersil dengan produksi-produksi internasional, nama Luc Besson sudah sejajar dengan sineas-sineas Hollywood terdepan. Valerian yang diangkat dari komik serial Eropa berjudul Valérian and Laureline karya Pierre Christin dan ilustrasi Jean-Claude Mézièrez (di Indonesia diedarkan dengan judul Valerian: Agen Antarruang dan Waktu) ini merupakan salah satu proyeknya yang paling ambisius, sekaligus film Eropa dari studio non-major termahal yang pernah diproduksi, jauh melebihi scifi Besson dalam gambaran universe paling mendekati, The Fifth Element.
Sebagai agen khusus dari satuan manusia di abad ke-28, di mana berbagai ras dan spesies dari macam-macam planet hidup menyatu di sebuah space station bernama Alpha, Valerian (Dane DeHaan) dan Laureline (Cara Delevingne) diserahi tugas oleh The Defence Minister (pianis/keyboardist jazz Herbie Hancock) untuk merebut makhluk kecil yang disebut ‘converter’ dari pasar gelap antar dimensi di Planet Kyrian. Namun mendapati Alpha diinfiltrasi oleh kekuatan misterius diikuti penculikan Commander Filitt (Clive Owen) yang harusnya mereka lindungi, Valerian dan Laureline terpaksa masuk ke misi lebih besar untuk menelusuri apa yang sebenarnya terjadi di balik sebuah konspirasi dan keberadaan Planet Műl beserta peradabannya yang sudah lama punah.
Dibuka dengan sejarah pengembangan interkoneksi antarsemesta oleh umat manusia sebagai latar penjelasan Alpha lewat lagu klasik David Bowie, Space Oddity, memang tak pernah merupakan hal yang mudah untuk menggelar universe baru sebuah adaptasi franchise komik ke layar lebar. Skrip yang ditulis Besson sebenarnya sudah cukup efektif – walaupun tak benar-benar terasa detil, untuk menuangkannya lewat tampilan visual grandeur yang dibesut oleh tim ILM (Industrial Light and Magic) dengan bujet raksasanya.
Hanya saja, ketika berbenturan dengan plot investigasi ala futuristic Bond dan romance plot termasuk message of love ala Besson, blend yang ada dalam Valerian memang terasa sedikit overpacked menyatukan elemen-elemen yang ada termasuk pengenalan para karakternya. Storytelling-nya terkadang begitu liar hingga walau bisa jadi nilai tambah, juga beresiko buat sebagian pemirsa lainnya. Dari karakter Valerian yang semau gue hingga Laureline sebagai katalisnya, latar ini juga yang mungkin membuat romance chemistry di antara DeHaan dan Delevingne yang kebanyakan dibangun lewat dialog-dialog witty-nya seringkali masih terasa hit and miss.
Belum lagi, fokus hampir sepenuhnya ke visual yang lagi-lagi menunjukkan signature spesial Besson ke style over substance seakan lupa mengemas Valerian dengan koreografi aksi yang stylish. Selagi genre sejenis sebenarnya sangat memerlukan aspek-aspek ‘strike-a-pose’ dari karakter-karakter utamanya, Valerian jadi terasa cukup lemah di sisi itu. Sedikit sekali action scenes yang tergarap dengan stylish, kebanyakan semata hanya menonjolkan kostum, efek dan latar set-nya. Padahal, ini hampir selalu jadi salah satu signature Besson dalam tampilan karakter-karakternya.
Sementara, dalam level popularitas, sebenarnya tak ada yang salah dengan casting Dane DeHaan dan Cara Delevingne sebagai Valerian dan Laureline dari sisi kemiripan ke komiknya. Kekurangan yang ada mungkin masih bisa cukup dimaklumi secara mereka kebanyakan berinteraksi dengan karakter-karakter CGI. Toh Valerian masih punya banyak dayatarik lain lewat pemeran-pemeran pendukungnya. Clive Owen sebagai Commander Filitt, meskipun tak pernah terlalu berkesan, Kris Wu – personil boyband Korea-China EXO yang lagi-lagi sangat terasa dipasang untuk menarik audiens Asia, Sam Spruell hingga penampilan singkat maestro jazz Herbie Hancock, Ethan Hawke bahkan Rutger Hauer. Namun yang benar-benar bekerja sebagai scene stealer, bahkan mungkin bisa jadi salah satu side characters paling memorable in a scifi, adalah Rihanna sebagai Bubble.
Begitu pun, jangan tanyakan soal elemen visualnya. Tampilan VFX/CGI yang dibesut tim ILM itu tetap dengan sukses membuat look-nya sangat luar biasa walaupun sinema kita tak mengimpor versi 3D-nya. Dari space wars ke underwater creatures, Valerian muncul semegah blockbuster Hollywood sekelas Avatar, juga dengan sinematografi Thierry Arbogast di latar set-nya dan scoring Alexandre Desplat – beberapa lagu OST-nya termasuk I Feel Everything yang dibawakan Delevingne sendiri, dalam mendukung semua kemegahan itu. For better or worse, inilah yang menjadi jualan utama Valerian untuk bisa dinikmati sebagaimana mestinya. Wrapping Bond, Star Wars to Flash Gordon into one, a wild and highly imaginative visual grandeur! (dan)