Home » Dan at The Movies » BANDA: THE DARK FORGOTTEN TRAIL (2017)

BANDA: THE DARK FORGOTTEN TRAIL (2017)

BANDA: THE DARK FORGOTTEN TRAIL: A CAUTIONARY JOURNEY BEYOND OUR NEARLY LOST PARADISE
Sutradara: Jay Subiakto
Produksi: Lifelike Pictures, 2017

Image: lifelikepictures.co

Seberapa penting sebenarnya bagi sebuah generasi untuk mengenal sejarah bangsanya? Jawabannya tentu relatif, namun seringkali – di sini, kita kerap dibawa untuk mengenal sejarah dalam bentuk perjuangan bangsa atau kemerdekaan ketimbang hal-hal yang jarang kita sadari ada di sekitar kita. Sekilas tak kelihatan atau kedengaran penting, namun sebenarnya memegang peranan lebih dari apa yang juga ikut membentuk kehidupan sekarang. Hal-hal yang seringkali terlupakan dan luput dari perhatian banyak orang.

Masalah berikutnya adalah tipe-tipe tontonan untuk menyampaikan sebuah gagasan. Sebuah feature fiksi, harus diakui seringkali lebih menarik buat audiens publik ketimbang film dokumenter apalagi yang berdurasi panjang. Kecuali segelintir penggemar feature-feature dokumenter, film-film seperti ini kerap dipandang menjemukan tak peduli sebanyak atau sepenting apa ia menyampaikan informasinya. Ini juga yang mungkin membuat pihak ekshibitor enggan menyediakan slot, sementara sineasnya pun lebih sering terpatok untuk mengangkat fokus-fokus yang lebih bisa di-handle bak sebuah pemberitaan; menyorot penderitaan kaum marjinal, dayatarik situs wisata atau hal-hal umum lain yang lebih menarik perhatian lebih banyak orang.

Namun Lifelike Pictures-nya Sheila Timothy bergerak lebih jauh. Juga mungkin ingin mendobrak persepsi-persepsi menjemukan tadi, mereka lebih memilih cara berbeda untuk menyampaikan gagasannya. Mengangkat Banda, sebuah kepulauan yang ada di Maluku yang bukan hanya jadi bagian dari negara ini tapi juga memiliki andil bagi sejarah peradaban dunia di abad pertengahan, mereka tak sekedar bicara soal keindahan, tapi justru sebaliknya. Mengeksplorasi sejarah ekspedisi pelayaran internasional untuk mencari rempah-rempah melalui traktat-traktat internasional, film dokumenter yang dibesut Jay Subiakto sebagai feature layar lebar pertamanya ini justru memilih banyak aspek lebih dari sekedar sejarah jalur rempah. Treatment promosinya pun digagas bak sebuah blockbuster dengan berani ketimbang dokumenter layar lebar yang dirilis terbatas.

Membawa kita kembali ke abad pertengahan, segenggam pala di pasar Eropa dianggap jauh lebih berharga dari emas. Apa yang terjadi kemudian adalah perburuan ekspedisi untuk menemukan pulau-pulau penghasil rempah yang berujung ke kepulauan Banda sebagai tambang emasnya. Menjadi perebutan kolonialisme yang membuat Belanda bahkan rela melepas Manhattan, New York yang waktu itu disebut Nieuw Amsterdam lewat sebuah perjanjian untuk mengusir Inggris dari Banda, pembantaian, perbudakan bahkan nyaris sebuah genosida oleh monopoli VOC akhirnya memunculkan semangat perlawanan dan identitas multikultural sebagai bagian dari sejarah gelap dunia. Banda yang dulunya memegang peranan penting bagi Nusantara, dari jalur rempah ke jalur sutra, kini nyaris terlupakan bahkan sebagai sekedar situs wisata bagi sebagian orang yang sudah mengenalnya.

Skrip yang dibesut oleh Irfan Ramli sebenarnya memiliki tingkat kesulitan tinggi buat merangkai sejarah dan kisah-kisah sosial yang terentang selama berabad-abad ke dalam feature dokumenter berdurasi kurang dari dua jam. Sejarah jalur rempah yang disorot menjadi tema utamanya seringkali masih terdistraksi oleh informasi-informasi umum yang disampaikan; dari sepenggal sejarah pengasingan tokoh-tokoh nasional seperti Hatta dan Syahrir hingga kondisi sosial, budaya bahkan alam kepulauannya.

Namun kepentingan akan kaitan yang satu dengan yang lainnya memang sulit untuk benar-benar terpisahkan. Sebagian pemirsanya mungkin lebih mengharapkan eksplorasi lebih jauh terhadap sejarah jalur rempah yang mengubah strategi perdagangan dan politik dunia, sementara sebagian lagi mungkin lebih tertarik menyimak kisah-kisah personal yang mereka sajikan lewat wawancara narasumber terpilih. Walau begitu, kompetensi narasumber terhadap keabsahan sejarahnya, walaupun sempat menuai sejumlah protes dari sebagian pihak, rasanya memang terpulang lagi pada visi pembuatnya. Paling tidak, keputusan-keputusan kreatif yang memang mutlak dibutuhkan dalam visi pembuatnya memandang subjek ini sudah cukup mampu menyajikan rangkaian penceritaan yang menarik secara keseluruhan. Ide-ide tentang sejarah gelap bahkan jejak-jejak berdarah yang ada di balik eksistensi Banda sebagai subjeknya tetap bisa membuka mata dan bekerja sangat baik sebagai sebuah cautionary tale untuk mengingatkan kembali para pemirsanya terhadap kepentingan informasi yang mereka sampaikan.

Di sinilah, fungsi visual yang dibesut Jay Subiakto yang memang sudah teruji dari karir panjangnya di ranah video klip musik – lewat sinematografi Ipung Rachmat Syaiful dan kepiawaian fotografi Davy Linggar, Dodon Ramadhan dan Oscar Motuloh mengiringi penceritaan itu dengan kemegahan lebih yang tak selalu bisa kita dapatkan di karya-karya dokumenter sejenis. Gorgeous shots yang merekam panorama-panorama memikat dari subjeknya, diiringi tambahan treatment audio-visual lain seperti animasi dan scoring megah serta menghentak dari Lie Indra Perkasa membuat pergerakan Banda jadi terasa begitu dinamis bahkan kadang jauh melebihi feature-feature National Geographic yang selalu mengutamakan kekuatan visual.

Pace penyuntingan fast-cut dari Aline Jusria, Cundra Setiabudhi dan Syauqi ‘Bimbo’ Tuasikal terkadang kerap terasa sangat video klip namun tak bisa dipungkiri juga membentuk sinergi yang kuat dari gaya tutur Jay mengemas semua elemennya, sekaligus membuatnya tak kehilangan ritme. Dan satu hal yang paling diperlukan untuk menjaga itu juga datang dari narasi yang diisi oleh Reza Rahadian (versi internasionalnya diisi oleh Ario Bayu).

Memberikan jiwa dengan begitu kuat ke tiap baris narasi yang disampaikan, narasi Reza ini merupakan salah satu kekuatan terbesar Banda untuk membuat rangkaian pengadeganannya dipenuhi emosi yang seringkali hilang dalam karya-karya dokumenter, termasuk menutup Banda lewat puisi karya Chairil Anwar, Cerita Buat Dian Tamaela, dengan feel yang sangat menggetarkan.

Pada akhirnya, Banda yang dibandrol sub judul The Dark Forgotten Trail ini memang bukan lagi bertujuan menceritakan soal jalur rempah, tapi lebih dari itu, membuka mata dan selalu mengingatkan kita untuk tak pernah melupakan sejarah. Seperti penggalan yang muncul di filmnya, “Melupakan masa lalu adalah sama dengan mematikan masa depan bangsa ini”, Banda bukan hanya bicara soal Banda dan budaya-budaya yang hampir hilang di balik keberadaan sebuah surga, tapi juga bangsa. Sebagai pengingat yang masih sangat relevan terhadap situasi sekarang, ia membawa kita menelusuri jejak yang sudah menorehkan sejarah bangsa ini. A cautionary tale beyond our nearly lost paradise, an important history lesson and also a rare documentary journey. Jadi mari tanyakan kembali: Seberapa penting sebenarnya bagi sebuah generasi untuk mengenal sejarah bangsanya? (dan)