RAFATHAR: A BUMPY ATTEMPT TO EXPLORE OUR RARE SUPERBABY GENRE
Sutradara: Bounty Umbara
Produksi: RnR Movies, Umbara Brothers Film, 2017
Bicara pernah atau tidak pernah, tentu bukan sama sekali tidak ada film Indonesia dengan elemen bayi/anak super dalam genre fantasi atau superhero secara lebih luas. Tapi dalam cakupan genre lebih sempit, mengarah ke film-film seperti Baby’s Day Out, Baby Geniuses dan sejenisnya, Rafathar mungkin memang jadi yang pertama sekaligus pembukanya.
Film yang juga sekaligus menjadi awal sepak terjang RNR Movies yang digawangi Raffi Ahmad dan Antonius Rovy dalam membuka jalan kembali ke scene film kita setelah sekian lama berkarir sebagai presenter TV, sekaligus mempopulerkan putranya bersama Nagita Slavina, Rafathar Malik Ahmad, di balik status mereka sebagai seleb sosmed yang punya fanbase cukup gede, agaknya sudah berada di jalur yang tepat. Benturannya tentu kembali lagi ke batasan rata-rata bujet film kita yang selama ini menghalangi eksplorasi genre lebih luas bahkan kalah dari negeri tetangga; seberapa jauh peranan efek spesial atau CGI bisa tampil maksimal buat mendukung kebutuhannya?
Ini tentu balik lagi ke masalah-masalah taktis yang hampir sepenuhnya menjadi effort kolaborator Raffi dalam karya pertama RNR. Umbara Brothers, dengan nama Anggy Umbara – salah satunya, selama ini memang sudah bermain di ranah itu walaupun belum lagi ke genre scifi. Namun apa yang dilakukan Anggy bersaudara di film-film mereka; dari Comic 8 ke Warkop DKI Reborn, memang memuat penggunaan efek spesial yang masih jarang-jarang tersentuh sineas kita hingga membuat kategori awarding yang sudah dimulai beberapa tahun terakhir masih kepayahan mencari karya yang layak dinominasikan. Hasil akhirnya-lah yang akan bisa menjawab usaha itu.
Jonny Gold (Raffi Ahmad) dan Popo Palupi (Babe Cabiita), perampok profesional yang kerap bekerja untuk Bos Viktor (Agus Kuncoro) diserahi tugas untuk menculik seorang bayi bernama Rafathar (Rafathar Malik Ahmad). Pekerjaan ini ternyata tak segampang itu ketika mereka mulai menyadari bahwa Rafathar yang diadopsi oleh pasangan seleb Mila (Nur Fazura) asal Malaysia bersama suaminya, Bondan (Arie K. Untung) memiliki kemampuan telekinesis. Misi kacau-balau ini perlahan mulai membuat mereka mempertanyakan tujuan yang ada di balik sebuah konspirasi di balik rahasia asal-usul Rafathar.
Berpegang ke dua elemen terbesar dalam keseluruhan plot-nya, komedi slapstick dan fantasi, skrip yang ditulis keroyokan oleh Anggy, sutradara Bounty Umbara dan Bene Dion Rajagukguk sebenarnya terlihat cukup menjanjikan. Paling tidak, Anggy, Bounty dan Bene memang kelihatan benar-benar mengerjakan PR mereka dalam menuangkan banyak elemen wajib serta taburan referensi genre-nya, namun cukup cermat memindahkannya ke kultur komedi lokal kita di atas kombinasi subgenre ke film-film macam Rob-B-Hood untuk menambahkan heart factor ke dalamnya.
Namun sayangnya penerjemahan komedi memang sangat bergantung ke para pemain serta couple/ensemble chemistry-nya. Babe Cabiita yang sudah teruji di banyak film dengan gaya komedik khas Medan pasarannya, bahkan hampir selalu menjadi penyelamat dalam banyak film yang ikut dibintanginya, jelas oke-oke saja, sementara Raffi masih sangat terasa canggung melucu di banyak bagian karakternya. Di sini, skrip Anggy dkk mungkin belum cukup solid menyusun detil bentukan karakternya seperti pola-pola karakter villain film luar di genre sejenis.
Belum lagi, kombinasi racikan itu pun tak digagas dengan proses yang benar-benar rapi. Turnover duet Raffi dan Babe dari villain menjadi hearty heroes di tengah situasi, a la Jackie Chan dan rekan-rekannya di Rob-B-Hood, tak cukup kuat untuk membalik empati ke karakter mereka di balik level kekonyolan yang tetap mesti dipertahankan, sementara karakter-karakter sampingannya pun tak ada yang benar-benar berhasil menutupi kekurangan ini. Agus Kuncoro sebagai Bos Viktor yang kelewat komikal dan hiperbolik lewat permainan dialek, Nagita sebagai detektif Julie dan Ence Bagus sebagai Inspektur Bagus Nyadi sebenarnya sudah punya bangunan komedik yang potensial dari tiap motivasi dan plesetan-plesetannya, namun dari sisi chemistry tetap terasa masih hit and miss.
Semuanya tetap bisa memancing tawa di sejumlah adegan, tapi belum cukup kuat untuk benar-benar mengisi satu sama lain dalam sebuah ansambel yang solid. Masih ada dua nama lagi, bapak-anak Henky Solaiman dan Verdi Solaiman yang sayangnya juga tak tereksplor lebih baik sebagai kausa dalam keseluruhan plot-nya, sementara Rafathar yang masih terlalu belia juga ketimbang dibesut dengan CGI lebih mengandalkan stock shots dalam penyuntingannya.
Yang terakhir tentu soal penggunaan VFX-nya. Dengan kebutuhan CGI environment yang jelas-jelas punya tingkat kesulitan jauh lebih tinggi dari penggunaan efek biasa sebagai selipan, inilah rasanya letak kegagalan terbesar Rafathar. Kelihatan masih terlalu mentah dengan polesan yang sama sekali tak maksimal, dari robot ke ondel-ondel raksasa ke bagian finale yang mestinya bisa jauh lebih baik, tampilan trailer dan promonya yang cukup menjanjikan tak terbayar cukup dalam hasil akhir yang kita saksikan.
Rafathar pada akhirnya hanya mampu meninggalkan sebagian kelucuan yang masih mampu memancing tawa terutama dari penampilan Babe Cabiita dan reference play yang cukup asyik dari signature Umbara Brothers yang sampai membawa-bawa kepanjangan Rafathar bak film fantasi anak-anak tahun ‘80an, D.A.R.Y.L. (Data Analysis Robot Youth Lifeform) meskipun detilnya tampil kelewat sekelebat hingga terlewat begitu saja. A bumpy effort to explore our rare superbaby genre, ini masih cukup layak dihargai lebih, namun sayang sekali gagal tampil dengan maksimal. (dan)