Home » Events » “SAYA TAK MEMBUAT FILM DENGAN CARA BIASA” – MASTERCLASS SUTRADARA WANITA NAOMI KAWASE DI TOKYO INTERNATIONAL FILM FESTIVAL KE-30

“SAYA TAK MEMBUAT FILM DENGAN CARA BIASA” – MASTERCLASS SUTRADARA WANITA NAOMI KAWASE DI TOKYO INTERNATIONAL FILM FESTIVAL KE-30

©2017 TIFF

Kecuali penggemar fanatik sinema Jepang, tak banyak mungkin orang yang mengenal sutradara Naomi Kawase. Padahal, ia mungkin merupakan satu-satunya sutradara wanita berstatus auteur di industrinya dengan banyak rekor internasional; di antaranya adalah satu-satunya sutradara wanita yang mengantarkan karyanya sebagai seleksi Cannes Film Festival hingga 7 kali, peraih Camera d’Or termuda lewat Suzaku (1997) dan juga satu-satunya sutradara Jepang pemenang Carrosse d’Or (Golden Coach) di festival dunia bergengsi itu.
Salah satu filmnya yang paling dikenal, The Mourning Forest (Mogari no Mori), adalah pemenang Grand Prix Cannes 2007, diikuti Hanezu di tahun 2011 dan Still the Water di tahun 2014. Di tahun 2015, ia kembali menayangkan filmnya, Sweet Bean (An) di Un Certain Regard Cannes. Kawase juga pernah bertugas sebagai juri kompetisi utama di Cannes 2013 berikut segmen film pendek di Cannes 2016, selain penggagas Nara International Film Festival yang merupakan daerah asalnya

Radiance (Hikari), karya Kawase yang juga menjadi peserta kompetisi utama Cannes memperebutkan Palm d’Or tahun ini, juga menjadi seleksi Tokyo International Film Festival (TIFF/TIFFJP) di segmen Japan Now; segmen yang merupakan showcase atas perkembangan sinema Jepang dari tahun ke tahun. Membawa Radiance ke TIFF, Kawase menyempatkan diri mengisi salah satu event penting di festival ini, sebuah Masterclass dan Special Talk Event bersama aktor veteran Tatsuya Fuji (In The Realm of Senses).

©2017 TIFF

Sebelumnya, setelah penayangan perdana Radiance di TIFF, Kawase yang tampil dalam sesi Q&A menjelaskan makna mendalam yang ingin disampaikannya dalam Radiance soal seseorang yang kehilangan penglihatan, memori dan orang-orang yang disayangi dari premis tentang cinta yang hilang dan ditemukan kembali. Romansa unik yang sangat tak biasa itu mengisahkan Misako (diperankan Ayame Misaki), penulis panduan audio film untuk pemirsa tuna netra dan hubungannya dengan fotografer paruh baya Nakamori (diperankan aktor senior Masatoshi Nagase, juga aslinya seorang fotografer) yang berjuang di tengah penglihatannya yang mulai hilang.
Dalam sesi Q&A itu, Kawase juga mengatakan bahwa penceritaan Radiance memerlukan visual dan detil suara untuk menggambarkan simbolisme dunia para karakternya, dan inspirasi ini datang dari pengalamannya sendiri menulis panduan audio bagi pemirsa dengan disabilitas sama di filmnya sebelum Radiance, Sweet Bean (An; judul bahasa Jepangnya).

Dikenal sebagai auteur yang kerap mengangkat simbol-simbol distorsi ruang tipis antara fiksi dan non-fiksi dari dominasi karya dokumenter di awal-awal karirnya, Kawase menyampaikan visi dan cara-cara unik yang dilakukannya dalam pembuatan film-filmnya. Masterclass yang dihadiri oleh filmmaker, kritikus dan fans itu juga diawali secara unik dengan penampilan aktor Tatsuya Fuji yang ikut berperan dalam Radiance dan penayangan spesial film The Wolves of the East yang diproduksi oleh Kawase sebagai bagian dari program NARAtive Project di festival yang digawangi Kawase di kota kelahirannya, Nara International Film Festival di mana ia sekaligus menjadi mentor untuk sineas-sineas muda terpilih dari seluruh dunia.

©2017 TIFF

The Wolves of the East yang juga mengadakan Photo Exhibition di TIFF tahun ini merupakan karya salah seorang protege-nya, sutradara asal Kuba Carlos M. Quintela. Menjabat sebagai produser eksekutif, Kawase dan Fuji mengisi Special Talk Event menceritakan seluk-beluk pembuatan The Wolves of the East, sebuah film yang mengisahkan kejadian nyata dari seorang pemburu mantan pelaut di desa hutan pegunungan Higashi Yoshino, Akira Nimura (diperankan Fuji) yang harus berhadapan dengan masalah keseimbangan ekosistem rusa dan srigala di balik mitos yang harus dibuktikan olehnya.

Dalam percakapan bersama Fuji, Kawase mengatakan bahwa Fuji sudah tertarik dengan konsep skrip awal yang ditawarkan padanya di sebuah kedai kopi di Yokohama. Tawaran ini bukan tawaran yang mudah karena Fuji harus tinggal di Nara selama sebulan masa syuting. Namun ini, bagi Fuji merupakan eksplorasi menarik karena ia berada jauh dari keramaian kota menyusuri arsitektur bersejarah dari Kyoto dan Nara, juga hutan alami dengan semua isi berikut rusa yang mulai keluar di malam hari. Fuji lantas menambahkan bahwa The Wolves of the East bukanlah film Jepang melainkan film Kuba yang ber-setting di Nara, dan ini juga punya filosofi berbeda dari pandangan budaya mereka masing-masing. Ada sebuah line yang menuangkan filosofi itu, yang disebut Kawase datang dari Fuji sendiri, bahwa simbolisasi srigala (the spirit of the wolf) sebenarnya mengarah ke penduduk Higashi Yoshino sendiri.

©2017 TIFF

Special Talk Event itu lantas berlanjut ke Masterclass dari Kawase yang menjelaskan cara uniknya membesut film-film yang ia sutradarai. Sebagai awal, Kawase menayangkan film pendek berdurasi 15 menit yang digunakannya sebagai plot penceritaan dalam Radiance. “Film dalam film” ini mengisahkan seorang sutradara (diperankan Fuji) dengan istri yang menderita amnesia. Film pendek inilah yang menjadi fokus proyek pengerjaan skrip audio oleh karakter utama Radiance, Misako – untuk pemirsa dengan gangguan penglihatan di filmnya.
Mengerjakan Radiance, Kawase mengatakan bahwa ia menggunakan metode berbeda dengan film-film biasanya. Ia mencoba membangun fokus berbeda dengan mengharuskan semua cast hadir di set walaupun tidak kala sedang mengerjakan adegan masing-masing. Semua aspek pembuatannya didasari diskusi dalam lingkungan yang diusahakannya se-senyap mungkin, bahkan tanpa teriakan ‘Action!’ tapi membiarkan kamera terus bergulir mereka adegan-adegan yang diinginkan hanya melalui isyarat antara Kawase dan DoP-nya, Arata Dodo. Ini sedikit banyak membuat aktornya merasa terintimidasi tapi untunglah semua gembira dengan hasilnya. Menurut Kawase, ia mencoba melakukan pendekatan berbeda untuk memaksimalkan komitmen semua cast dan crew yang bekerja di dalam filmnya.

Kawase lantas menayangkan film pertamanya, sebuah film dalam format 8mm yang direkam di awal karirnya sebagai filmmaker lebih dari 30 tahun silam di Osaka. Ia tetap menyimpan film yang dianggapnya memulai kecintaannya terhadap film making. Film pendek itu berisi rekaman-rekaman mentah yang kebanyakan merekam ekspresi orang-orang yang menjadi subjeknya, dan ini juga yang menjadi dasar dalam banyak filmnya, bahwa Kawase selalu memilih fokus lebih terhadap pengejawantahan emosi dari karakter-karakternya secara mendetil.
Ia juga mengakui bahwa ia menginginkan dari situ, audiensnya bisa berkomunikasi tanpa batasan bahasa untuk sebuah penyampaian multikultural.

©2017 TIFF

Menjawab pertanyaan penulis soal titik berat scoring piano di film-filmnya; The Mourning Forest dengan komposer Masamichi Shigeno dan yang lebih unik – scoring indah dalam Radiance yang dikerjakan oleh trumpeter jazz asal Lebanon Ibrahim Maalouf, namun menggunakan piano bukannya trompet, Kawase mengatakan bahwa ia menyukai bunyi piano sebagai elemen penting dalam scoring film-filmnya, namun tak harus secara khusus, selain kebanyakan scoring itu ia bebaskan ke komposernya, ia juga kerap menggunakan cello secara dominan di film-filmnya.

Kawase mengakhiri masterclass-nya dengan sebuah statement bahwa film memberinya jawaban atas banyak hal selama kurang lebih 30 tahun karirnya dan ia merasa ada proses pendewasaan secara objektif setiap kali ia melihat hasil kerjanya. Baginya, film-film yang dikerjakan secara personal selalu bisa menciptakan keunikan tersendiri. (dan)