Home » Dan at The Movies » LOVE FOR SALE (2018)

LOVE FOR SALE (2018)

LOVE FOR SALE: AN UNUSUAL TALE OF LOVE AND LONELINESS

Sutradara: Andibachtiar Yusuf

Produksi: Visinema Pictures, Stay Connected Media, 13 Entertainment, 2018

@2018 Visinema Pictures

Lebih dikenal sebagai seorang sineas yang punya signature di ranah sports movie atas antusiasmenya terhadap sepak bola; dari dokumenter The Jak (2007), The Conductors (2008) yang juga punya elemennya, lantas fiksi Romeo-Juliet (2009), Hari Ini Pasti Menang (2013) dan Garuda 19 (2014), Andibachtiar Yusuf mungkin sesekali ingin keluar dari zona nyamannya. Love for Sale merupakan ide yang sudah digagasnya sejak 8 tahun lalu namun urung dibuat hingga akhirnya bertemu tim produksi yang tepat. Bukan lewat PH-nya Bogalakon, tapi di tangan Angga Dwimas Sasongko dan Chicco Jerikho sebagai co-producer Visinema Pictures, PH yang sampai sekarang masih sangat menjamin kualitas produksi film-film mereka.

Dari premis dan deretan cast-nya, sejak awal Love for Sale memang lebih terasa sebagai film dengan presentasi low key walau tetap bukan sebuah arthouse. Bukan juga dengan premis yang benar-benar baru, sebagian penggemar film-film HK ‘90an mungkin masih ingat film Chingmy Yau tahun 1995 yang di sini dibandrol judul Sex for Sale dan Love for Sale di beberapa daerah (aslinya berjudul I’m Your Birthday Cake), atau yang lebih jadul lagi, Sex for Sale-nya Shaw Brothers tahun 1974 yang terinspirasi Midnight Cowboy. Elemen soal seputar birojasa penyedia layanan escort atau bentuk-bentuk sejenis juga sebelumnya sudah banyak hadir hingga yang paling berkelas, nominee Oscar 2013, Her karya Spike Jonze, serta di ranah film kita, Kapan Kawin?-nya Ody C. Harahap dari produser Robert Ronny.

Namun tampilan posternya yang bernuansa neon lights itu memang menarik dengan promo sedikit nyeleneh soal kebiasaan ‘galer’ yang juga muncul tanpa malu-malu oleh Gading Marten di trailer-nya. Ini mungkin juga sekaligus menjadi ujian buat Gading yang sebelumnya di film lebih sering dijadikan bumper buat lucu-lucuan sesuai profesinya yang lebih dikenal di acara-acara TV di balik nama besar ayahnya, atau popularitas putrinya di salah satu platform medsos. Sementara female lead-nya adalah seorang debutan layar lebar, Della Dartyan, perwakilan Banten untuk Putri Indonesia 2013 dan host program dokumenter wisata TV, My Trip My Adventure. Jelas, tiga resiko pembuktian yang diemban Love for Sale bukan kecil, baik Andibachtiar yang keluar dari zona nyamannya, Gading dalam status pertamanya sebagai lead dan penampilan debut Della.

Richard Ahmad Daniel Widjaya, nama lucu yang disemat buat karakter Gading adalah seorang bujang lapuk, jomblo kronis yang terpaksa mencari pasangan karena malu dengan teman-teman dan lingkungan sekitarnya di percetakan yang dikelola Richard sehari-hari. Tak lagi punya jalan, secara tak sengaja Richard menemukan iklan Love, Inc., sebuah birojasa kencan yang akhirnya membawa Arini (Della Dartyan) ke dalam kehidupannya. Arini seketika merubah hidup Richard bahkan lingkungan sekitarnya hingga Richard tak lagi menyadari kontrak selama 45 hari itu bisa berakhir sewaktu-waktu.

Hal mendasar dalam Love for Sale adalah bentukan atmosfer penceritaan yang boleh jadi sekilas terlihat biasa namun dirancang dengan desain produksi luar biasa cermat oleh Andibachtiar dan timnya terutama tata kamera Ferry Rusli, cahaya (Didin Solehudin, Fikri Putratama, Parto) dan artistik dari Adam Fauzan Sudrajat. Bersama skrip yang ditulis Andibachtiar dan M. Irfan Ramli dari film-film Visinema; Cahaya dari Timur: Beta Maluku, Surat dari Praha dan Filosofi Kopi 2, juga dialog-dialog efektif yang menyenggol banyak hal yang menyentil situasi sekarang termasuk tentu saja – bola, dan penempatan lagu klasik vintage The Mercys, Hidupku Sunyi yang pas, Love for Sale menempatkan penontonnya di atas sebuah kedekatan komunikatif sebagai kacamata karakter Richard memandang dunia dan kehidupan sempitnya dengan detil-detil cemerlang termasuk soal kura-kura. Seolah menjadi perwakilan dari banyak orang sekarang yang bertahan dengan kesepian, kesendirian dan keterkungkungan hubungan sosial di balik kesibukan dan pergaulan semu-nya di dunia maya, relevansinya sangat terasa sebagai sesuatu yang sangat personal bak sebuah karya labor of love dari pembuatnya.

Di atas bentukan itu, Gading Marten membuktikan bahwa potensinya sama sekali tak bisa dianggap main-main. Begitu santainya ia membawakan karakter Richard yang absurd dan cenderung menyedihkan namun tetap terhubung ke pemirsanya. Gesturnya tak pernah malu-malu di balik makeup dan kostum yang menempatkannya sebagai sosok miserable, ugly duckling namun beralih perlahan dengan tahapan dan kewajaran akting menerjemahkan turnover karakter sekaligus membuat canda-candaan soal galer di balik kostum singlet dan kolor konvensional itu terasa relevan dan tak jatuh menjadi sempalan toilet jokes yang bikin mual.

Itu juga yang membawa sparks yang tepat kala skrip dan pengarahan Andibachtiar, kadang bahkan terasa lebih sangat bukan gayanya serta lebih dekat ke intimacy dalam gaya penceritaan Angga Dwimas Sasongko, kecuali Anda lebih lekat memperhatikan pendekatannya dalam Hari Ini Pasti Menang, menghadirkan karakter Arini, yang diperankan Della Dartyan dengan aura luar biasa dalam statusnya sebagai aktris debutan. Sexy, wild sekaligus seducing, bahkan dalam sex and intimate scenes yang secara total bisa menghindar dari romantisasi artifisial, dibantu tata kostum Dame Sitorus dan riasan Neneng Aneli yang benar-benar cermat memanfaatkan lekuk postur lebih dari sekedar paras seiring body language-nya yang solid, kita bisa percaya apa yang bisa dilakukan Arini sebagai katarsis terhadap Richard berikut lingkungannya. Chemistry itu terus mengalir dengan sempurna selama dua karakter ini hadir ke dalam setiap frame mereka. Sementara masih ada dukungan akting yang bagus dari Rukman Rosadi, Albert Halim, Adriano Qalbi, Verdi Solaiman plus sejumlah cameo seperti Torro Margens, Dayu Wijanto dan banyak lagi di sepanjang durasi efektifnya.

Sedikit disayangkan Love for Sale lantas membawa penyelesaian yang terasa agak melenceng dari setup dan semua bentukan kisah serta karakternya. Pilihan filosofis soal keberanian atau keikhlasan itu, walau tak lantas merusak semua fondasi yang sudah dimulai dengan baik dari awal, cenderung terasa sebagai celah buat bermain aman ketimbang menghindari konklusi klise atau terlalu pop. Namun lagi, pilihan terhadap sebuah ending tentu menjadi privilege penuh bagi pembuatnya.

Begitupun, Love for Sale tetaplah bisa digolongkan sebagai sebuah fresh effort dalam racikan genre-nya. Digarap dengan style dan sensitivitas berbeda yang mungkin belum pernah kita lihat dari karya-karya Andibachtiar, ia tak lantas menjadi kisah sama di atas premis familiar sekaligus mampu menggambarkan kesepian dan cinta di atas kedekatan representasi yang sangat komunikatif. Bagi banyak orang dengan konflik-konflik personal yang sama, Richard mungkin jadi cerminan yang sangat mewakili, sementara bagi yang kehidupan sosial dan hubungan asmaranya baik-baik saja, Love for Sale tetap sangat asyik dinikmati sebagai sebuah escapism fantasy soal seksual yang, oh well, sangat menggoda. (dan)