#TEMANTAPIMENIKAH: A CUTE, ADORABLE AND RARELY JAZZIN’ INDONESIAN ROMCOM
Sutradara: Rako Prijanto
Produksi: Falcon Pictures, 2018
Genre romance yang berkisah soal friendzone, unrequited love antara dua karakter utamanya – bukanlah lagi hal yang baru. Ada yang menggerakkannya ke drama-drama serius, ada juga yang komedi sebagai romcom dengan segala resep baku masing-masing subgenre. Selagi trademark terbesar pencapaiannya ada di When Harry Met Sally yang dianggap mewakili genre romcom bertema itu, di film Indonesia sejak dulu juga sebenarnya sudah bertabur kisah-kisah sejenis.
Teman tapi Menikah, yang judul official-nya ditulis secara stylish ke trend hashtag zaman now, #TemanTapiMenikah, menjadi unik, sama seperti source novel bestseller yang juga menghiasi kisah instagram dua figur publik penggagasnya, karena ia memang menuangkan akun nyata Ayudia Bing Slamet, aktris film dan sinetron yang masih mewarisi nama besar sang kakek, dan sahabat yang berakhir menjadi pasangannya, Muhammad Pradana Budiarto yang lebih populer dengan nama Ditto Percussion, additional percussion player sejumlah musisi papan atas Indonesia. Dengan cast Vanesha Prescilla pasca sukses Dilan 1990, trailer-nya yang di-bundling dengan Dilan termasuk dengan penampilan singkat Iqbaal Ramadhan, ini awalnya mungkin terlihat sebagai effort aji mumpung dari Falcon yang juga berada di balik Dilan bersama Max Pictures.
Jauh sebelum bertemu sebagai teman sekolah, Ditto (Adipati Dolken) sebenarnya sudah menjadi fans Ayu (Vanesha Prescilla) yang berprofesi sebagai aktris sinetron. Namun perasaan Ditto tak pernah benar-benar tersampaikan karena hubungan keduanya yang menempatkan Ditto dalam sebuah friendzone. Bergonta-ganti pasangan, Ayu tetap menganggap Ditto sebagai sahabat dan sasaran curhat, sementara Ditto yang terus mencoba membina hubungan dengan wanita lain tak pernah berhasil karena rasa cintanya terhadap Ayu. Ia terus terombang-ambing selama 11 tahun hingga akhirnya di satu titik menyadari bahwa ia harus memilih, menyatakan perasaannya terhadap Ayu apapun resikonya – atau kehilangan Ayu selama-lamanya.
Saat jelas tak ada yang spesial dari premis itu, plot yang sudah hampir saban hari kita lihat dari sinetron ke layar lebar, dari film Indonesia ke film luar, pengalaman nyata Ayudia dan Ditto yang mereka tuangkan bersama penulis skrip Johanna Wattimena di bawah supervisi Upi, secara mengejutkan ternyata bisa begitu mengalir dengan koneksi yang mungkin juga relatable bagi banyak orang. Bukan berarti tak punya konflik, hanya saja memang generik dan bisa jadi klise setengah mati, skrip itu bersama storytelling Rako Prijanto – tak seperti biasanya – kini sukses membentuk satu kesatuan kuat sebagai fondasi untuk mengantarkannya ke pencapaian berbeda di film kita.
Selain dialog-dialog lepas yang tak pernah mendramatisir keadaan dengan berlebay-lebay, elemen terkuatnya ada pada percikan chemistry Adipati Dolken dan Vanesha Prescilla yang memerankan Ditto dan Ayu. Tampil begitu menggemaskan, daya magnet yang muncul di antara Adipati dan Vanesha yang bermain santai, natural dan serba lepas, bahkan menjadi salah satu dari segelintir chemistry terbaik di film-film teen romcom Indonesia. Membuat kita bisa terhubung sekaligus percaya tanpa harus jatuh ke titik-titik melodrama berlebihan, bahwa memang soal friendzone terkadang bisa sekejam itu dan terseret begitu jauh melewati hubungan satu dasawarsa.
Proses-proses yang terhantarkan dengan wajar lewat skrip, penyutradaraan dan chemistry penuh sparks tadi juga sangat dihidupkan oleh ambience yang dipilih Rako mungkin berdasarkan ranah profesi Ditto sebagai percussionist yang merambah genre jazz. Membuat tampilan band sekolah yang biasa di film kita tak jauh dari rock atau sebagian lagi, hiphop, menjadi beda dengan subgenre smooth jazz yang berpadu bersama scoring garapan Andhika Triyadi, juga pilihan lagu-lagu soundtrack-nya, ambience atau atmosfer ini membuat #TemanTapiMenikah terlihat semakin cantik dan elegan dalam tiap sisi penyampaiannya. Seperti musik jazz dan beat perkusi yang ditampilkan dengan baik serta believable oleh pendalaman gestur Adipati (percayalah, faktor ini jarang sekali tampil dengan baik di banyak film kita), ia bergerak tenang – tak pernah meledak-ledak, tapi terus menjaga improvisasi membuat sesuatu yang dasarnya serba generik menjadi melodius dan tak lagi berasa klise.
Di departemen cast, #TemanTapiMenikah juga masih punya daya tarik lain dari deretan supporting cast-nya dari Cut Beby Tsabina, Diandra Agatha, Denira Wiraguna, Rendi John Pratama, Refal Hady (yang lagi-lagi terjebak di peran sejenis namun bisa dibawakan dengan cukup baik) dan penampilan khusus Sarah Sechan berdasar kisah nyatanya. Serta tentu saja Iqbaal yang diberi sematan homage buat penonton yang belum benar-benar bisa move on dari Dilan. Biar mungkin tetap berupa mix and match cast yang sangat aji mumpung, tapi #TemanTapiMenikah bisa tak berakhir dalam persepsi negatif dalam effort-nya.
Begitu pula di tata teknisnya, balutan ambience dan chemistry juara tadi juga berhasil membentuk blend yang bagus dengan tata kamera Hani Pradigya, artistik dari Ary Juwono dan penyuntingan Aline Jusria yang dinamis. Tak pernah jadi terlalu detil, memang, but look closer, penggarapan teknisnya mampu membentuk sinergi yang baik bersama penyutradaraan Rako Prijanto yang benar-benar terasa flawless tak seperti biasanya, termasuk ke guliran ending, one that contains a wedding ring and a kiss – yang hadir begitu natural tapi manisnya luar biasa. Ini, rasanya, merupakan ketepatan pitch dan momentum yang tak mudah dicapai semua romcom bahkan yang sudah terlihat pede dengan unsur-unsur filmis serta cast & crew-nya.
Thus, #TemanTapiMenikah memang berhasil memenuhi tiga syarat utama untuk membentuk sebuah romcom yang sukses. Konsisten di rom, begitu pula di com, ia juga punya super-cute chemistry yang benar-benar sulit ditampik antara dua subjeknya. A cute, adorable and rarely jazzin’ Indonesian romcom. Cantik sekali. (dan)