Home » Dan at The Movies » TERBANG: MENEMBUS LANGIT (2018)

TERBANG: MENEMBUS LANGIT (2018)

TERBANG: MENEMBUS LANGIT: THE FRESH PUNCH JOKES IN AN INSPIRING – FROM RAGS TO RICHES BIOPIC

Sutradara: Fajar Nugros

Produksi: Demi Istri Production, 2018

Mau digagas oleh si filmmaker atau memang atas permintaan subjek ataupun keluarganya sendiri, dengan tujuan tertentu yang biasanya memang baik, tak ada sebenarnya yang salah dari sebuah biopic. Hanya saja, yang biasanya membuat persepsinya jadi berbeda kala biopic tadi bukan membahas subjek yang secara universal dikenal – contohnya pahlawan nasional, tokoh pemerintahan ataupun artis, sebagian orang suka menyebutnya film pesanan. Lagi-lagi, sepanjang tujuannya baik dan bisa menginsiprasi, tak harus juga menyemat bandrol negatif buat film-film yang ada di kelas itu.

Terbang, film terbaru Fajar Nugros yang diberi subjudul bombastis Menembus Langit ini mungkin masih sedikit banyak menyenggol persepsi-persepsi tadi. Menceritakan kisah perjuangan Onggy (Dion Wiyoko) yang diilhami sosok nyata Onggy Hianata, motivator penggagas komunitas kemanusiaan FFG (Freedom Faithnet Global) yang juga mengembangkan bootcamp hingga ke 5 benua. Lahir di Tarakan sebagai anak dari keluarga sederhana, Onggy sejak muda sudah punya niat membangun bisnisnya sendiri tanpa menyerah pada warisan toko keluarga ayahnya (Chew Kin Wah).

Dari berjualan jagung bakar hingga kerupuk, motivasi perjuangan itu bertambah lagi dengan kehadiran Candra (Laura Basuki), pekerja salon lokal yang menarik hati Onggy sejak pandangan pertama. Bersama Candra, kondisi jatuh bangun itu mereka hadapi hingga impian Onggy benar-benar terwujud jauh dari yang dibayangkannya semula.

Selagi tak ada yang terlalu spesial dalam soal plot untuk tema-tema inspiratif seperti ini, Terbang mungkin punya beberapa aspek berbeda dalam penyampaiannya. Bukan semata soal jarangnya film kita membahas soal keluarga keturunan yang miskin walau nyatanya bukan tak ada seperti persepsi-persepsi yang masih suka keliru, namun Nugros dan timnya memang menggarap Terbang dengan aspek teknis yang menonjol.

Tampil bagus dalam tata artistik, rias dan kostum yang saling mendukung untuk bisa memberikan akurasi cukup detil mengiringi rentang zaman penceritaannya, tata artistiknya diisi oleh Oscart Firdaus sementara tata rias dan kostum masing-masing oleh Achin R. Lamba dan Vannie Astecat. Sinematografi dari Padri Nadeak juga cukup membantu menghadirkan nuansa dalam proses penceritaannya, begitu juga musik dari Aria Prayogi dan Andreas Arianto bersama theme song yang dinyanyikan oleh Once Mekel.

Di departemen akting selain Dion dan Laura di atas chemistry bagusnya – keduanya bisa menjaga keseimbangan agar motivasi karakternya tak jatuh menjadi sesuatu yang unlovable; meski ada di batas-batas tipis soal ambisi dan pengorbanan, ada Baim Wong, Delon Thamrin, Dinda Hauw, Chew Kinwah, Aline Adita dan Melissa Karim, yang ternyata tak berakhir macam casting FTV yang suka dipaksakan. Mengisi karakter masing-masing, mereka justru bisa tampil meyakinkan sebagai bagian dari keluarga sederhana (kalau tak mau menyebutnya miskin). Ini juga salah satu tantangan yang berhasil ditaklukkan Nugros buat menghindari eksploitasi kemiskinan di tema sejenis yang salah sedikit jatuhnya bisa mengarah ke persepsi-persepsi humble bragging. Terbang, untungnya terbebas dari film macam itu.

Meski masih ada tantangan besar dalam mengaburkan karir panjang Onggy di dunia multi level marketing yang sebenarnya masih sangat relevan namun suka dipandang skeptis, Nugros memilih penceritaan yang tak lazim dalam film-film sejenis, dan ini sebenarnya yang benar-benar membuat Terbang jadi kelihatan berbeda. Tahu bahwa latar soal MLM itu tak bisa sepenuhnya dihilangkan, juga dramatisasinya sewaktu-waktu bisa terjebak jadi over sentimentil, Nugros menggempurnya dengan komedi yang kadang malah melabrak jalur dengan support bagus dari nama-nama Erick Estrada, Indra Jegel, Cak Kartolo, Dayu Wijanto di antaranya.

Sentuhan komedi nyeleneh ini, yang belakangan seolah memperkuat signature Nugros di beberapa film terakhirnya, meski punya resiko kanibalisme ke dramatisasi apalagi ditambah soal-soal nasionalisme yang sebenarnya bisa diredam, justru bisa bekerja di tengah adegan-adegan pahit yang digelar dalam usaha-usaha menghindari pakem penuh ratapan tadi. Ini membuat Terbang, meski tak sempurna dalam arti bermain aman di keseluruhan durasi lantas seolah take off menembus langit seperti judulnya, mengorbankan proses penting sebagai bagian krusial third act-nya untuk menutup narasi hanya dengan epilog, tetap bisa hadir dengan segar di genre serba klise tanpa harus mengorbankan keseluruhan tatanan drama yang masih muncul baik serta menyentuh di pilihan-pilihan aman membidik skup terkecil soal hubungan antara suami istri. Pada akhirnya, ia paling tidak bisa cukup menginspirasi di tengah sempalan tawa yang ada untuk tampil beda dengan film-film lain di genre-nya. (dan)