ANT-MAN AND THE WASP: FOR MOMS, FOR WIVES, FOR DAUGHTERS
Sutradara: Peyton Reed
Produksi: Marvel Studios, Walt Disney Studios Motion Picture, 2018

Image: impawards.com
Mungkin tak lagi perlu mengulang mengapa Kevin Feige bisa begitu sukses membangun MCU (Marvel Cinematic Universe) jadi sebesar sekarang sekaligus peletak standar teratas genre-nya. Pengaturan subgenre dalam solo installments dan fusi/assemble films-nya masih sangat tertata dengan baik hingga Avengers: Infinity War yang menjadi bagian pertama dari finale assemble di phase 3 MCU. Fase itu masih menyisakan 2 lagi instalmen solo sebelum puncaknya nanti di Avengers 4 yang belum lagi secara resmi dibandrol subjudul di balik banyaknya spekulasi fans; Ant-Man and the Wasp dan Captain Marvel.
Ant-Man and the Wasp, film ke-20 MCU sekaligus sekuel Ant-Man ini ternyata tetap ada di pakem film pertamanya sebagai instalmen solo yang paling low profile dari keseluruhannya. Di-set dengan tone atau subgenre yang tetap mengarah ke film-film fantasi keluarga ala Disney seperti franchise Honey, I Shrunk the Kids ataupun banyak lagi yang lebih klasik seperti The Incredible Shrinking Man ke serial TV Land of the Giants, sekuel ini ditulis oleh Chris McKenna, penulis The Girl Next Door (2004) plus bagian-bagian jokes di Captain America: The Winter Soldier yang lantas menulis The Lego Batman Movie, Spider-Man: Homecoming, Jumanji: Welcome to the Jungle (2017) bersama partnernya, Erik Sommers berikut Paul Rudd sendiri (plus Andrew Barrer & Gabriel Ferrari). Begitupun, blend antara family oriented sci-fi/fantasy dan komedi awkward yang disemat ke tone komedik di film-film (komedi) yang dibintangi Rudd – satu lagi kecermatan Feige meng-handle lead pilihannya, bukan berarti sepi dari unsur aksi walaupun jelas lebih low-key.
Di luar itu, tentu cara mereka menyemat konsep star factors ke dalam MCU merupakan satu lagi hal menonjol. Selagi DC sebagai saingannya seringkali memublikasikan aktor-aktor yang kurang dikenal, Marvel kerap bermain di bintang-bintang A-list sebagai cast-nya. Sudah punya Michael Douglas di film pertama, mereka kini menambahkan lagi Laurence Fishburne dan highlight terbesarnya, Michelle Pfeiffer yang kembali ke film superhero lama setelah Batman Returns. Apapun itu, amunisinya mempertahankan tone tadi memang selain menginjeksikan style humor Paul Rudd, ada di tangan sutradara Peyton Reed yang kembali menangani sekuel ini.
Menarik balik plot-nya ke nasib Janet van Dyne/Wasp (Michelle Pfeiffer – tetap terlihat stunning di usianya yang sudah menginjak kepala 6) yang terjebak di quantum realm, ia bergerak ke aftermath Civil War yang membuat Scott Lang (Paul Rudd) dikenakan tahanan rumah berikut menanggalkan identitasnya sebagai Ant-Man karena melanggar hukum Sokovia. Ini sekaligus merusak hubungannya dengan Hank Pym (Michael Douglas) dan Hope (Evangeline Lilly) yang juga ikut terseret menjadi buronan atas teknologi mikroskopik Pym Technologies. Diawasi agen FBI Jimmy Woo (Randall Park), Scott masih menjalankan perusahaan sekuriti kecilnya dibantu ketiga rekannya (Michael Peña, Tip “T.I.” Harris, David Dastmalchian) sambil bergantian mengasuh Cassie (Abby Ryder Fortson), putri kecilnya bersama mantan istri, Maggie (Judy Greer) dan suami barunya (Bobby Cannavale).
Menjelang 2 tahun masa tahanannya, ternyata Hank dan Hope yang terus mengembangkan Pym Technologies secara sembunyi-sembunyi, termasuk Hope yang kini didapuk menjadi Wasp (menyambung after credits scene di film pertama) terpaksa kembali mengajak Scott karena melihat kesempatan untuk membawa Janet kembali. Tentu ini bukan hal mudah karena selain harus menghindari pengawasan FBI dan memperbaiki hubungan mereka, muncul pula Sonny Burch (Walton Goggins), tech dealer black market manipulatif dan sosok misterius Ava Starr/Ghost (Hannah John-Kamen) yang bisa menembus objek dan ingin mencuri teknologi itu di balik sebuah tujuan. Saat lab mikroskopik itu berhasil dicuri Ghost, satu-satunya yang bisa membantu adalah Bill Foster (Laurence Fishburne), mantan kolega yang menyimpan rahasia masa lalu Hank di balik perseteruan mereka.
Masuk memberikan sentuhan mereka lewat pengembangan skripnya, McKenna dkk. membentuk sinergi yang pas dengan tone fantasi keluarga yang sudah kita lihat dalam Ant-Man. Kesederhanaan itu yang justru membuat Ant-Man terasa sangat grounded di tengah kisah panjang penyatuan dan pertikaian para superhero Marvel ini. Menggandakan lagi dosisnya dalam interaksi dan motivasi-motivasi keluarga yang kini juga membawa keluarga Hank Pym, mereka bersama Reed agaknya benar-benar mengarahkan Ant-Man and the Wasp lebih kental ke aspek itu ketimbang bermain di pakem tipikal superhero vs. supervillain meskipun porsinya tetap ada di tangan Goggins dan John-Kamen.
Selagi Goggins mungkin merupakan penjahat biasa bersama para algojonya yang terasa kelewat ringan dibanding villain sekelas MCU, Hannah John-Kamen yang belum lama ini kita lihat memerankan algojo wanita tangguh F’nale Zandor di Ready Player One muncul cukup proporsional di kepentingan setup aksinya. Latarnya sebagai penari handal membuat koreografi aksi ini paling tidak masih sangat bisa ditandingkan dengan sepak terjang Ant-Man dan Wasp di atas dominasi permainan CGI dan elemen love story mereka yang kian meningkat.
Mengisi perpaduan konsep-konsep itu, kehadiran Michael Peña yang tetap ber-trio dengan Tip “T.I.” Harris dan David Dastmalchian menjadi comic relief meriah bersama gaya komedik Rudd serta lontaran joke-joke receh namun luar biasa menghibur dari McKenna – Sommers – Rudd yang tak lupa mengulang penggalan cara tutur Edgar Wright dkk dari Peña di skrip film pertama. Ini memang boleh jadi sangat ringan – bahkan dengan konflik lebih tipis lagi dibanding film pertama yang punya tambahan elemen heist comedy sementara di sini porsinya diturunkan hanya sekedar kucing-kucingan Scott Lang vs FBI, namun Ant-Man and the Wasp bermain jauh lebih eksploratif di sisi imajinasi dan paparan soal quantum realm yang kabarnya jadi elemen penting untuk mengakhiri fase ketiga MCU. Silahkan tunggu after credits scene yang bergerak secara paralel ke titik mana universe-nya meninggalkan kita terakhir sebelum ini. Jangan lupakan juga sinematografi DoP veteran Dante Spinotti yang menyeimbangkan latar realis San Francisco suburbs bersama setup penuh fantasinya, termasuk mengeksplor tiap ruang di rumah Scott Lang dengan efektif.
Ditambah subplot backstory generasi sebelumnya dari latar benang merah operatif S.H.I.E.L.D. yang digagas dengan CGI canggih – membuat kita dengan mudah percaya suatu waktu Marvel bisa saja membuat semua karakter seniornya kembali ke tampilan mereka di beberapa dekade sebelumnya dalam konsep prekuel, juga eksplorasi Reed dkk. menyemat kultur pop penuh referensi dari Hello Kitty dan Pez candy yang sudah kita lihat di trailer – bahkan Hotwheels, Ant-Man and the Wasp justru bisa secara solid, fresh, bergerak konsisten di ide terkuatnya soal motif berbeda dalam kisah-kisah superhero. Boleh jadi sederhana namun punya konsep tak tak kalah kaya, if saving the world lies on another level, they did it for moms. For wives. For daughters. And overall, love. So why everything always has to be about villains? (dan)