Home » Dan at The Movies » BUFFALO BOYS (2018)

BUFFALO BOYS (2018)

BUFFALO BOYS: BUMPY RIDE, ADMIRABLE EFFORTS

Sutradara: Mike Wiluan

Produksi: Screenplay Infinite Films, Zhao Wei Films, Bert Pictures, 2018

Di tengah stagnansi genre film Indonesia, termasuk kekhawatiran sebagian orang terhadap kesamaan premis sejumlah film horor yang bakal tayang, sesekali ada yang mencoba menggebrak tapi seringkali, seperti sebelumnya, tak sampai berlanjut menjadi trend. Buffalo Boys yang merupakan produksi Screenplay Infinite, fusi Screenplay Productions dan Infinite Frameworks yang kemarin menelurkan Headshot, agaknya juga begitu. Selagi Screenplay lebih dikenal lewat drama-drama remaja setelah melangkah dari FTV ke layar lebar, Infinite milik Mike Wiluan, yang juga memiliki studio film berskala internasional di Batam memang sudah berkiprah dan sering berkolaborasi antara lain dengan HBO (Dead Mine, serial Halfworlds).

Melangkah lebih dari Headshot, Buffalo Boys yang hadir dengan megabudget berskala internasional dan membawa genre yang sangat jarang bahkan belum pernah ada di luar parodi/komedi; western atau koboi, memang sejak awal terlihat jauh dari standar tampilan biasa film Indonesia. Selain punya kolaborasi kru, aktor luar, ia juga menggandeng Bert Pictures asal Singapura, PH yang memproduksi antara lain film-film arthouse karya sineas Eric Khoo (ikut menjadi salah satu executive producer di sini). Premis yang membenturkan budaya koboi Amerika ke latar kolonial Belanda di atas sebuah kisah balas dendam dalam wujud koboi Jawa pun terdengar menarik sejak awal.

Mengasingkan diri bersama sang paman, Arana (Tio Pakusadewo, mudanya diperankan Donny Alamsyah), ke dunia wild west California, 1860, setelah keluarga dan ayah mereka, Sultan Hamza (Mike Lucock) dibantai oleh Kapten Van Trach (Reinout Bussemaker, mudanya diperankan Alexander Winters), dua putra Hamza; Jamar (Ario Bayu) dan Suwo (Yoshi Sudarso) akhirnya memutuskan kembali untuk membalas dendam. Namun Van Trach yang kini sudah menjadi gubernur di sebuah kota kecil dan memperbudak seisi kampung termasuk dua anak gadis Sakar (Donny Damara), petinggi desa; Kiona (Pevita Pearce) dan Sri (Mikha Tambayong; yang punya porsi lumayan namun anehnya tak dipromosikan sebanding dengan yang lain) sudah menyiapkan algojo-algojonya. Jamar dan Suwo pun bertarung menghadapi mereka di antara dendam masa lalu dan alasan baru untuk memperjuangkan keadilan.

Dipenuhi sederet cast terkenal dengan desain karakter menarik selain nama-nama di atas; di porsi begal-begal Van Trach ada Alex Abbad, Hannah Al Rashid, Zack Lee, aktor Singapura Sunny Pang dan Wiluan sendiri, plus pendatang baru Daniel Adnan yang paling mencuri perhatian tak kalah dari Yoshi Sudarso, aktor asal Indonesia yang berkiprah di AS lewat serial Power Rangers: Dino Charge dan langsung diserahi porsi utama, lantas nama-nama senior Happy Salma bahkan El Manik (keduanya bermain baik dalam porsi masing-masing) dan mantan pegulat Australia Conan Stevens dari Game of Thrones dan The Hobbit, sayangnya karakter-karakter sampingan ini tak dikembangkan sama menarik lewat naskahnya. Selagi dialek Indonesia Yoshi kebanyakan masih terasa ganjil di balik tampilan yang terlalu oriental untuk disandingkan dengan Ario Bayu sebagai kakak-adik, setup Pevita sebagai cewek pemanah tangguh juga tak diberi justifikasi cukup dalam bagian-bagian aksinya.

Ditulis Wiluan, Raymond Lee dan Rayya Makarim, skrip yang terasa sekali ditulis dalam bahasa Inggris, dengan persepsi sangat barat – untuk kemudian diterjemahkan ini, selain dipenuhi nama dan dialog-dialog baku yang terdengar janggal, interaksi aneh dialog Inggris dari karakter kolonial Belanda yang dibalas dengan bahasa Indonesia baku, juga gagal membentuk pengisahan yang menarik untuk membangun koneksi bagi pemirsanya. Begitu banyak karakter potensial yang lewat begitu saja tanpa kepentingan cukup, dramatisasinya juga kurang beremosi selagi selipan-selipan komikalnya kerap terasa tak bisa mulus membaur dengan violent tone yang dihadirkan.

Sementara adegan-adegan aksi sebagai salah satu jualan utamanya pun tak tergarap maksimal. Tak ada yang salah sebenarnya dalam tatanan koreografi aksi besutan Kazu Patrick Tang, aktor laga dan stuntman – coordinator Thailand yang sudah berkiprah dalam film-film lokal negaranya (Bangkok Adrenaline), action Bollywood (Baaghi dan remake The Man from NowhereRocky Handsome) hingga Hollywood (Mechanic: Resurrection dan upcoming The Meg), yang masih bisa terlihat jelas, namun sayangnya tak dibarengi framing yang baik lewat debut penyutradaraan Wiluan yang padahal sudah didukung sineas sekelas Andy Howard2nd unit director di film-film aksi-fantasi Hollywood seperti Wanted atau Hellboy, tata kamera John Radel (The Philosophers, Dead Mine) dan editing Sean Albertson (Rambo). Ini membuat adegan-adegan laganya, yang sudah punya staging yang lumayan memadai kebanyakan menjadi low impact dan kekurangan urgensi, juga secara keseluruhan tak bisa benar-benar total dalam memancing pacuan adrenalin.

Namun begitu, dari kelas produksi mega budget tadi, Buffalo Boys memang berhasil menghadirkan inovasi dalam desain produksi Pawas Sawatchaiyamet (Halfworlds), set dan artistik serta tata rias dan kostum dalam fusi lintas genre-nya. Bujet raksasa yang kabarnya hampir mencapai angka 40M itu benar-benar sangat terlihat dari keseluruhan look yang menyamai produksi luar dan sama sekali tak seperti produksi lokal maupun joint venture dengan Singapura secara rata-rata, sehingga mau tak mau membuat effort-nya sangat layak dihargai lebih demi semangat baru mengeksplor genre dalam film kita. Terutama dalam konsep orisinal yang walau menggabungkan berbagai elemen genre western Barat hingga Spaghetti dengan epik historikal Indonesia, tapi secara mendasar meletakkan istilah ‘cowboy’ sebagai pengendara kerbau yang lebih dekat ketimbang kuda seperti genre western biasanya.

Rasanya, sebagai tontonan yang utuh secara keseluruhan, Buffalo Boys memang akan lebih nyaman dinikmati penonton asing yang membaca subtitle Inggris ketimbang mendengarkan dialog aslinya, karena memang sejatinya naskahnya ditulis seperti itu. Sementara buat pemirsa kita, kejanggalan dialog terjemahan itu benar-benar terasa seperti kala kita menyaksikan film-film Indonesia sejenis yang juga diterjemahkan dari skrip berbahasa Inggris seperti trilogi Merah Putih.

Meski ini lagi-lagi merupakan pilihan-pilihan yang sulit dihindari dalam produksi-produksi joint venture, apa boleh buat, ia jadi kepayahan membangun komunikasi yang baik dengan penontonnya, dan ini jelas bukan masalah sepele dalam konteks menyaksikan sebuah film. A bumpy ride beyond such admirable efforts, bagaimanapun, mungkin semangat ini sangat perlu buat didorong agar usaha-usaha eksploratif tadi tak berhenti sampai di sini. (dan)