Home » Dan at The Movies » SI DOEL THE MOVIE (2018)

SI DOEL THE MOVIE (2018)

SI DOEL THE MOVIE: A WELL TACKLED, NOSTALGIC BIG SCREEN SEQUEL TO THE LEGENDARY SERIES

Sutradara: H. Rano Karno

Produksi: Falcon Pictures, Karnos Film, 2018

Dari adaptasi novel sastra Balai Pustaka Si Doel Anak Betawi karya Aman Datuk Majoindo yang dibesut Sjumandaja, berlanjut ke satu sekuel layar lebar Si Doel Anak Modern (1976) dan versi sinetron Si Doel Anak Sekolahan berjumlah 162 episode dalam 7 musim termasuk 1 musim lanjutan yang berjudul Si Doel Anak Gedongan dari 1994 – 2006, lantas FTV Si Doel Anak Pinggiran yang ditayangkan menyambut Lebaran 2011, sebagai sinetron Indonesia terlama yang ditayangkan di televisi kita, ditayangkan ulang pula dari 2009 hingga sekarang, status Si Doel jelas layak mendapat predikat legendaris. Status itu tentu tak bisa dicapai tanpa fanbase yang besar, terutama generasi ’90an, di sepanjang sejarahnya.

Itu mungkin yang jadi kalkulasi tepat bagi Falcon Pictures di balik akuisisi Karnos Film untuk melanjutkan langkahnya kembali setelah keputusan stasiun televisi atas FTV Si Doel Anak Pinggiran urung membawanya ke layar lebar. Selagi kita sebagai pengamat atau penonton boleh-boleh saja memprediksi di tengah trend produk-produk IP yang diangkat kembali bersama istilah “Reborn“, sasaran pasar Si Doel The Movie tak bisa dipungkiri, ada. Apalagi dengan kebiasaan Falcon menggelontorkan bujet promo raksasa melebihi pembuatan film mereka, kali ini dengan membawa 80 perwakilan media untuk grand premiere ke Belanda. Pertanyaannya adalah, ke mana lagi guliran kisah sepanjang itu mau mereka bawa?

Ketimbang membawa sebuah konflik baru, Si Doel The Movie pun memilih bergerak melanjutkan akhir sinetron plus sebagian plot yang ada di Si Doel Anak Pinggiran, namun menggerus ending soal anak dari Si Doel (H. Rano Karno) dengan Sarah (Cornelia Agatha) yang sempat ditemuinya di sebuah pesta ulang tahun di situ. Tetap membahas nasib hubungan segitiga Si Doel – Sarah dan Zaenab (Maudy Koesnaedi) yang selalu diombang-ambingkan keadaan sebagai konflik terdepannya, kini Si Doel yang sudah lama kembali ke kehidupannya di rumah Mak Nyak/Mpok Lela (Aminah Tjendrakasih) dan urung menjadi Insinyur sukses harus memenuhi permintaan Hans (Adam Jagwani) menyambangi Amsterdam bersama pamannya, Mandra (H. Mandra YS) untuk sebuah festival Indonesia di sana. Tentu saja, kekhawatiran terbesar Zaenab yang sudah dinikahi siri oleh Doel terbukti. Tapi bukan hanya Sarah seorang yang menunggunya di sana, melainkan juga putranya, yang juga diberi nama Dul (Rey Bong) oleh Sarah sejak ia meninggalkan Doel di Indonesia 14 tahun lalu.

Adalah sebuah pilihan tepat agaknya, untuk menyerahkan skrip dan penyutradaraannya tak lain dan tak bukan kepada Rano Karno sendiri setelah lama absen dengan kiprah politiknya. Sebagai kunci pemegang legendanya sejak awal, meski tak bisa dipungkiri ada kekuatan ansambel yang sama-sama menandai kesuksesan monumental franchise-nya, Rano tampak masih sangat peduli dan menyayangi produk ini. Percikan Si Doel sebagai labor of love-nya tersirat di sepanjang penulisan dan pengadeganannya, bahwa Rano memang tak tengah berusaha memperkenalkan ulang karakter legendaris ini bagi generasi sekarang tapi hampir sepenuhnya menggunakan semua benang merah yang ada dengan ketepatan amunisi dari seluruh kamerad-nya yang masih setia tampil di sini.

Menyemat sekuens pembuka lewat dialog-dialog Babe Sabeni (Benyamin Sueb) dan Mak Nyak dengan tepat ke fokusnya, juga theme song versi sinetron yang dibawakan Rano sendiri bersama ME Voices, detik-detik awalnya sudah sangat memercikkan rasa nostalgia. Selagi konten keseluruhan kisahnya masih bergerak di kontinuitas konflik asmara segitiga yang sama, cara Rano meramunya tak lantas membuat kita merasakannya sebagai pengembangan yang repetitif; namun bekerja seolah melihat karakter-karakter yang kita kenal jadi seperti apa sekarang.

Semua informasi tentang sebagian karakter yang sudah tak lagi ada pun tetap dengan setia diselipkan Rano dengan efektif, dan ia tak pernah lupa memberi detil-detil justifikasi secara humanis ke karakterisasi Doel-Sarah-Zaenab di tengah konflik mereka, baik yang kembali diulang untuk mengingatkan atau ke kontinuitasnya. Tanpa lagi perlu flashback ini itu menggunakan excerpts-excerpts sinetronnya, ini memang mutlak diperlukan buat membangun empati ke karakter-karakter intinya, bahwa masing-masing punya motivasi manusiawi yang tak membuat kita, sebagai penontonnya harus memihak ke salah satu sambil mengerinyitkan kening seperti apa yang sering terjadi di banyak film kita. Titik akhirnya tentu sangat berpengaruh ke bangunan emosi sebagai salah satu yang membuat sekuel layar lebar yang lama ditunggu ini berpijak pada kekuatan seharusnya.

Selain itu, selipan komedik yang digelar Rano pun sama efektifnya. Ia tetap dengan cermat menyusun kepingan-kepingan elemen itu persis seperti kekuatan sinetronnya, yang membuat kenapa fans-nya bisa masuk ke dalam semua karakter yang ada sambil tak lupa menambahkan joke-joke self-mocking untuk perubahan fisik mereka masing-masing tanpa harus terkesan salah kaprah atau kurangajar dalam tatanan persepsi banyak orang sekarang. Selagi Mandra yang tetap selucu dulu sebagai juaranya dalam sisi hiburan, dan Adam Jagwani menjadi comic relief untuk mengimbangi karakter Si Doel yang tak bisa disalahkan memang terbentuk seperti itu, stiff and stressful seakan tak pernah bisa tegas dengan masalah-masalah hubungan asmara yang menimpanya, masih ada Atun (Suty Karno), Ahong (Salman Alfarizi) plus Kartuni, anak Atun yang diperankan Ahmad Zulhoir Mardia. Sementara penampilan Aminah Tjendrakasih sebagai Mak Nyak yang terus terbaring sudah sejak lama sesuai kondisi fisik aslinya, sedikit banyak juga membuat kita trenyuh bahwa betapa ansambel ini memang luar biasa solidnya.

Sebagai Dul, putra si Doel, pemilihan Rey Bongstage name untuk bintang cilik.remaja Fahreyza Anugrah juga tepat. Sedikit disayangkan memang skrip dan mungkin, kepentingan durasi, membuat karakternya tak dikembangkan dengan maksimal di tengah konklusi akhir yang cenderung terasa mau cepat saja, namun paling tidak, Rey punya kharisma dan akting cukup untuk disandingkan bersama Rano dan Cornelia, bahkan bila instalmen layar lebarnya masih berlanjut nanti dengan pergantian estafet ke karakter-karakter mudanya.

Di sisi penggarapan teknis, Si Doel The Movie juga tak terlihat mesti punya ambisi muluk-muluk selain mengedepankan jualan syuting di Belanda yang dikemas dalam porsi tak berlebihan. Cukup dengan beberapa landmark dan atmosfer yang efektif, set Amsterdam itu sudah cukup menjadi latar yang baik bersama suasana rumah dan kampung si Doel yang sudah akrab dengan pemirsanya lewat tata kamera Iqra Sembiring yang sebelumnya sudah berkolaborasi dengan Karnos di The Last Barongsai, walau lagi-lagi mungkin belum cukup mengeksplorasi benturan budaya betawi dan modern seperti film dan sinetron yang sudah-sudah. Tata kostum dan rias dari Helma Novyanti Siregar dan Yulistiowati Widyakusuma juga cukup baik, dan tentunya, dalam membangun benang merah kedekatan itu, Purwacaraka kembali dihadirkan untuk penggarapan scoring-nya yang terdengar megah dan penuh nostalgia.

Di formasi terdepannya, tentulah trio RanoCornelia dan Maudy – yang terakhir ini luar biasa awetnya, yang memang tetap bisa membentuk interaksi terkuat tanpa harus bertemu bertiga dalam satu frame. Walau berjarak cukup panjang dengan instalmen akhir franchise-nya, semua emosi yang dibutuhkan pengisahan Si Doel The Movie lewat skrip Rano bisa mereka terjemahkan dengan pas di tengah konsistensi luar biasa. Bahwa di lapisan terdasarnya, mereka tetap DoelSarah dan Zaenab yang selama ini kita kenal, dan dengan mudah membuat semua elemen emosi itu bisa bekerja melebihi ekspektasi yang ada hingga benar-benar pecah di climax highlights-nya.

Sekarang, silahkan tanya kembali; seperti apa reaksi kita sebagai pemirsa-pemirsa yang sudah mengenal Si Doel melihat title cardInsyaallah ada lanjutannya” di layar penutup bersama rendisi baru theme song -nya yang diaransemen begitu ciamik oleh band Armada ? Though still spinning around the same conflicts, Si Doel The Movie works in all the jokes and emotional hit. Obviously a thirst-quenching treat for the fans, dan untuk produk-produk seperti ini, itu artinya jelas bagus. Sebuah nostalgia yang sangat berhasil. (dan)