WIRO SABLENG – PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212: AN ELEGANT, FUN-HITTING LEGENDARY CHARACTER’S ADAPTATION AND REVIVAL OF INDONESIAN MARTIAL ARTS GENRE DONE RIGHT
Sutradara: Angga Dwimas Sasongko
Produksi: Lifelike Pictures, 20th Century Fox, 2018
Genre martial arts atau lebih dikenal orang sini dengan istilah film silat klasik, sekali waktu dulu pernah merajai scene film nasional. Terhenti sejak film Indonesia mati suri menyisakan segelintir yang tak lagi layak dimasukkan ke dalam list-nya, juga sebagian film-film martial arts modern yang masih muncul sekali dua kali, kesempatan itu sempat kembali datang di tahun 2014 dengan Pendekar Tongkat Emas. Terlihat bagus dari segala sisi sampai memakai koreografer aksi/action director impor Xin Xin-xiong (Once Upon a Time in China), sayangnya hasilnya jauh dari ekspektasi dan membuat genre-nya kembali tenggelam dan tak berlanjut.
Untunglah tanpa perlu terlalu berlama-lama, Wiro Sableng yang digagas Lifelike Pictures dan produser Sheila/Lala Timothy membuka kembali jalannya. Tak tanggung-tanggung dan berskala high budget, mereka menggamit 20th Century Fox dengan divisi Fox International Productions untuk bergabung di produksinya. Menjadi versi ketiga adaptasinya setelah 7 judul instalmen layar lebar yang dibintangi Tony Hidayat dan 1 oleh Atin Martino di akhir ‘80an – yang sayangnya bukan ada di kelas produksi big studios, dan versi sinetron yang mempopulerkan Ken Ken Soekendro dan jauh lebih dikenal – belakangan digantikan Abhie Cancer, karakter legendaris dari hampir 200 serial novel karya alm. Bastian Tito ini kini membawa pewaris utamanya sendiri di balik sosok Vino G. Bastian. Jelas rasanya, tak ada yang lebih baik lagi dari itu, di mana revival-nya kini membawa effort seorang anak mengemban warisan karya legendaris ayahnya sendiri, dan memang kita tahu, dari segala sisi, bahkan sebelum Lifelike merilis tampilan Vino sebagai Wiro, sangat layak.
Kehilangan dua orang tuanya dari amukan gerombolan penjahat yang dikepalai Mahesa Birawa (Yayan Ruhian) sejak kecil, Wiro (dewasanya diperankan oleh Vino G. Bastian) diselamatkan pendekar misterius Sinto Gendeng (Ruth Marini) yang kemudian mengangkatnya sebagai murid. Turun gunung belasan tahun kemudian sebagai pendekar bernama Wiro Sableng untuk mencari Mahesa yang awalnya belum diketahui Wiro sebagai pembunuh orangtuanya, ia bergabung dengan dua pendekar lain; Anggini (Sherina Munaf) dan Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarazi), serta terlibat dalam sebuah konspirasi tahta kerajaan di mana mereka harus membantu Putri Rara Murni (Aghniny Haque) menyelamatkan Pangeran (Yusuf Mahardika) dari korban penculikan gerombolan Mahesa.
Skrip yang ditulis Lala – ikut turun di departemen scriptwriting bersama Tumpal Tampubolon dan Seno Gumira Ajidarma cukup cermat memuat bagian-bagian dari beberapa novelnya – sebagian besar dari judul-judul yang sangat dikenal oleh fans-nya, untuk membangun plot adaptasi inisial layar lebar ini berikut bentukan karakter-karakternya. Namun sisi terbaiknya adalah bagaimana mereka bisa mengadopsi hal paling esensial dalam ciri keseluruhan novel series Wiro Sableng – yang memang dituangkan oleh alm. Bastian Tito secara berlawanan dengan set period-nya, yaitu dalam susunan dialog kekinian di masanya. Ini sungguh tak sama dengan sejumlah komik atau novel silat lain yang biasanya berbahasa lebih kaku di zaman itu, dan mereka bahkan meng-update-nya ke masa kini dengan selipan dialog komedi lintas zaman untuk menekankan ambience ‘sableng’ Wiro dan karakter-karakter lainnya, juga soal Kapak Maut Naga Geni yang tergambar bak Mjolnir-nya Thor. Tak sekalipun membuat kita jengah seperti banyak film ber-setting periodik lain yang terganjal masalah bahasa, dialog-dialog dan sisi komedinya, dari yang serius hingga nyeleneh, bisa berpadu bersama racikan penceritaan yang dibesut Angga Dwimas Sasongko – masih satu sineas kita dengan kekuatan storytelling paling kuat, .sebagai helmer-nya.
Lantas, kemenangan kedua Wiro Sableng ada pada tata teknisnya yang tergolong sangat baik sesuai kelasnya, dengan kredit yang masih jarang-jarang ada dalam film kita yang lebih terbiasa menggunakan sebutan tata artistik; production design atau perancang produksi secara keseluruhan oleh Adrianto Sinaga. Dibuka dengan bumper 20th Century Fox sebagai film Indonesia pertama yang punya presentasi itu, dari tata rias Jerry Octavianus, tata kostum Nadia Adharina dan Tex Saverio (kostum Bidadari Angin Timur yang diperankan Marsha Timothy) hingga tata kamera Ipung Rachmat Syaiful semuanya layak mendapat kredit lebih. Tapi pemenangnya adalah tata musik dari Aria Prayogi yang memuat komposisi anthemic, menghentak namun tak sekalipun pernah melupakan pentingnya main theme melodik sekaligus ikonik dalam film adaptasi karakter, juga berikut tata suara besutannya dalam memberi impact di adegan-adegan aksi. Ditambah sematan homage ke musik tema sinetronnya nya saat cameo pemerannya muncul di layar sebagai fan service, departemen suara dan scoring ini muncul memberi kekuatan yang sangat menggelegar di sepanjang guliran pengisahannya, sementara masih ada feel modern lain yang disematkan lewat lagu lawas bernuansa industrial Aku Lupa Aku Luka dari Koil di kredit pengujungnya.
Begitu pula, dalam eksistensinya sebagai film ber-genre martial arts, Lala dan timnya sungguh tak main-main dalam menggarap adegan aksi sebagai bagian dari trope terbesar genre-nya. Tata koreografi yang datang dari Yayan Ruhian dan timnya, kali ini menggamit action director HK Chan Man-ching yang merupakan stunt coordinator dan penata laga dari tim Jackie Chan di sebagian besar film-filmnya sejak era ‘90an. Lihat salah satu signature fun-hitting terbaiknya di adegan warung di atas homage ke banyak film-film silat HK tempo doeloe, sama sekali tak seperti Pendekar Tongkat Emas yang menyia-nyiakan kerja action director luar sekelas Xin Xin-xiong, adegan-adegan laga di Wiro Sableng, meski beberapa masih terlihat di-tackle dengan shot-shot padat, keseluruhan framing, ritme dan impact-nya berhasil dimunculkan lebih dari sekadar baik termasuk dalam polesan CGI dan penggunaan sling yang mulus, memberi ruang cukup pula bagi seabrek karakternya untuk di-lawan tandingkan secara berlapis, sekaligus memupus kekhawatiran banyak orang kala menyaksikan teaser atau trailer-nya. Terlebih, di bagian rousing finale yang bergulir cukup panjang sebagai pemuncak eskalasi yang mengundang aplaus.
Berdiri di atas semua tata produksi berskala mewah itu, adalah ansambel menarik yang melapisi tiap fondasinya dengan kuat. Di sentralnya, tentu Vino G. Bastian yang benar-benar berhasil menghidupkan kembali Wiro dengan segala acting dan physical spectacle-nya. At full hearts like a labor of love terhadap warisan karya sang ayah, dalam tingkat kesulitan tak main-main meng-handle porsi aksi yang masih harus diisi dengan bentukan stempel sableng karakternya, Vino menundukkan pemeran-pemeran Wiro sebelumnya dengan telak. Se-sableng-sablengnya Wiro, inilah Wiro Sableng yang sudah sangat lama kita tunggu.
Lantas sebut semua pendampingnya. Kredit terbesarnya ada pada Ruth Marini sebagai Sinto Gendeng yang membuat kita menginginkan porsinya muncul lebih lagi, Marsha Timothy yang meski sangat singkat tapi mengisi peran Bidadari Angin Timur dengan elegansi gestur laga – salah satu yang terbaik di sini, Yayan Ruhian sebagai Mahesa Birawa dan Fariz Alfarizi dalam penampilan debut-nya. Sherina Munaf juga terlihat cukup luwes untuk diserahi porsi laga pendamping bersama pendatang baru Aghniny Haque, lalu selain nama-nama besar Lukman Sardi, T. Rifnu Wikana, Marcella Zalianty, Happy Salma, Marcell Siahaan, Yayu A.W. Unru plus Andy/Rif sebagai Dewa Tuak dan Dwi Sasono yang kali ini berhasil melepas typecast-nya, masih ada sederet pengisi porsi villain tangguhnya seperti Cecep Arif Rahman, Dian Sidik, Hanata Rue yang dipilih atas kemampuan laga mereka dan dimanfaatkan secara cukup cermat. Jangan lupa juga menunggu mid-credit scene dengan hint ke sekuel kalau masih penasaran dengan salah satu nama yang di-kredit di posternya.
Semua kerapian tata dan desain produksi inilah pada akhirnya yang membuat Wiro Sableng mampu muncul mengundang decak kagum kita sebagai pemirsanya terhadap genre period martial arts lokal. Selain berhasil membawa genre yang cukup lama hilang dan beberapa kali gagal hidup kembali, Lala dan timnya juga berhasil membawa ia keluar dari pakem salah-kaprah yang sering diidentikkan sebagai pelengkap wajib genre-nya. Wiro Sableng menunjukkan bahwa film silat lokal sungguh tak perlu mengeksploitasi dada-paha wanita atau kostum-kostum kurang bahan sebagai elemen yang dulu sempat melekat, bahkan tanpa harus berdarah-darah di rating remaja yang aman disaksikan bersama seluruh keluarga, meletakkannya di atas sebuah landasan kuat ke semesta fantasi yang sangat elegan serta menggelegar. Finally, both a legendary character’s adaptation and revival of Indonesian martial arts genre done right, I’ll bet, di atas sana, alm. Bastian Tito sebagai sang kreator legenda ini tersenyum bangga pada seluruh tim dan tentu – (yes I’m looking at you, Vino G. Bastian) – Wiro-nya. (dan)