
©2018 TIFF
Merupakan seorang komposer kenamaan tak hanya bagi Jepang tapi buat sinema Asia, dari Red Cliff-nya John Woo, Memories of Murder karya Bong Joon-ho hingga remake Jepang Unforgiven dari Lee Sang-il, Taro Iwashiro hadir di Tokyo International Film Festival (TIFF) ke-31 untuk sesi Master Class; salah satu event penting di luar penayangan film-film festivalnya.
Berada dalam kondisi demam tak menyurutkan minat Taro untuk tetap memberikan kuliah umum yang dihadiri komposer dan sineas muda, jurnalis hingga fans, sesi penting di TIFF ini tetap berlangsung dengan sangat menarik. “Sebagian komposer mengatakan bahwa talenta musik bagi mereka datang lewat pengalaman-pengalaman spiritual”, tutur Taro. Namun bagi Taro pribadi, hal-hal seperti justru jarang dirasakannya. “Buat saya, seringkali membuat musik untuk film tetaplah sebuah profesi yang harus saya kerjakan di tengah kejaran deadline”, ujarnya sambil tertawa.
Bekerja Sebagai Komposer Musik Film

©2018 TIFF
Paruh pertama sesinya diisi Taro untuk menjelaskan keterlibatannya sebagai komposer di industri film. Hal terpenting bagi Taro dalam mengerjakan musik film adalah tema dan timing, namun di atas semua, elemen paling signifikan pada akhirnya adalah keunikan yang memiliki sinergi dengan skrip filmnya. Ini yang membuat ia tak hanya menerima tawaran hanya dengan membaca skrip, tapi juga harus terlebih dulu berdialog dengan pembuatnya. Berada dalam pemahaman berbeda terhadap skrip dengan filmmaker-nya akan membuat proses pengerjaan komposisi musik film menjadi sulit sekali. Begitupun, seorang komposer, tambahnya, juga memerlukan batasan visi sendiri yang membebaskannya dari visi sang filmmaker. “Kalau kita hanya menurut, fokusnya justru akan menjadi ambigu”, tambahnya.
Trik yang selalu dianutnya kala menciptakan komposisi musik film ada di dua titik klimaks. “Musik tema yang datang pada momen klimaks di film adalah klimaks pertama, sementara musik yang bergulir seiring kredit akhir adalah klimaks kedua, karena ini akan membuat audiens merasakan kembali apa yang barusan mereka saksikan, menghidupkan kembali setiap emosi itu dan membawa mereka dalam perjalanan pulang”.
Tak hanya berdialog, sebagai komposer dalam sebuah Master Class, Taro juga melakukan demo langsung dengan piano yang mendampinginya selama sesi tersebut. Ia memberi contoh komposisi terbarunya untuk Spring Snow, film terbaru karya sutradara Isao Yukisada; salah satu sutradara di proyek TIFF dan Japan Foundation pertama, Asian Three-Fold Mirror: Reflections (2016). Bersama komposisi itu, ia memutar klip dengan musik berbeda sebelum kembali menggabungkannya sebagai iringan. Taro menunjukkan bahwa lewat visual yang ada, sebuah rasa akan dengan mudah bergeser memberikan emosi berbeda.
Lebih lanjut, Taro menuturkan bahwa dalam pembuatan musik atau scoring film, harus ada kepercayaan secara timbal balik antara sutradara dengan komposer. Ia kembali mencontohkan komposisinya untuk Children of the Dark, film karya Junji Sakamoto yang menurutnya membuat para produsernya menangis karena mereka memang menginginkan emosi-emosi melodrama, sementara dalam Unforgiven karya Lee Sang-il, sutradara ini memberi garis batas komposisi bagi Taro untuk kedengaran kontemplatif seperti karma, bukan yang emosional secara bombastis. Kolaborasinya dengan Bong Joon-ho di Memories of Murder, menurut Taro, merupakan salah satu proses yang dirasanya sangat unik karena Joon-ho tak meminta demo sama sekali, melainkan menantang Taro untuk langsung menciptakannya di salah satu studio di Korea bersama Joon-ho. “Ia (Joon-ho) selalu memberi reaksi terhadap setiap bar nada yang saya mainkan di piano dalam proses penciptaan komposisinya”, tambah Taro.
Salah satu tantangan terbaru yang ia rasakan datang dari proyek film Wilderness karya sutradara Yoshiyuki Kishi. Pasalnya, Kishi meminta Taro untuk memasukkan janggu Korea untuk sebuah adegan karakter Jepang yang dimainkan oleh aktor Korea. Seperti alat musik dawai Jepang shamisen dan drum janggu Korea dibuat dari kulit hewan yang berbeda. Ini, menurutnya akan memberikan ambience suara yang berbeda, dan menekankan kaitannya pada kehidupan.
Walau masing-masing pendekatan yang pernah ia lakukan dalam mengkomposisi musik terkadang harus dilakukan dengan trik-trik tertentu, sebenarnya tak ada formula pasti bagaimana Taro harus mengkomposisi musik tanpa meninggalkan signature-nya. Di sinilah, menurutnya, penyatuan ide-ide dan metode kerja filmmaker-nya sangat diperlukan. Ini pernah terjadi dalam Unforgiven, di mana Sang-il menginginkan musik yang lebih subtil dan perlahan, sementara produser dan investornya, termasuk pihak Warner Bros. Jepang menginginkan scoring yang lebih emosional. Begitu pula, dalam film Manhunt karya John Woo barusan, saat produser meminta komposisi yang lebih mengarah ke blockbuster Hollywood, Woo justru meminta Taro untuk memberikan sentuhan jazz. Taro mengumpamakan keinginan-keinginan berbeda yang harus menemukan jalan tengah buat kesepakatan akhirnya seperti pil berwarna biru dan merah – bila digabungkan akan membentuk warna ungu.

©2018 TIFF
Menuju paruh kedua Master Class itu, Taro mengundang komposer Kenji Kawai (Ip Man, Ghost in the Shell) yang juga punya karir internasional naik ke panggung. Menanggapi beda-beda kemauan produser dan sutradara seperti yang dikisahkan Taro, Kenji mengatakan memang sering sekali hal seperti ini terjadi; satu mau ‘bing’ dan satu maunya ‘bam’. Dalam kiprahnya sebagai komposer, Kenji mengatakan bahwa ia selalu tertarik untuk mengeksplorasi kemampuannya namun pada akhirnya selalu ada yang membuatnya lebih nyaman. Dalam hal ini, Kenji mengaku bahwa action dan score fighting tak dirasakannya menyatu dengan seleranya, dan ia lebih memilih genre seperti Ghost in the Shell yang disebutnya comic music.
Tantangan Perkembangan Industri

©2018 TIFF
Memasuki paruh keduanya, Taro memainkan pianonya untuk performa singkat dan mengajak audiens berimajinasi ke pengalaman-pengalaman personal mereka tentang cinta pertama atau menunggu tindakan bedah hidup dan mati atas teman terdekat mereka. Taro ingin menunjukkan bahwa ia bukan tengah membaca pikiran audiens ketika mengkomposisi musik film, namun musik film sebagai pengiring adegan memang bisa punya banyak interpretasi berbeda dari audiens berdasar pengalaman emosional masing-masing. “Tantangan terbesarnya adalah selalu mencoba mengekspresikan emosi yang universal”, tambahnya.
Menuju akhir sesinya, Taro membawa audiensnya berdiskusi tentang skup industri film yang tak terbatas secara alamiah dan bagaimana ia selalu mencoba menggali sumber-sumber inspirasi baru bagi karyanya. Terutama bagi industri film Jepang, ia mengatakan bahwa yang mereka hadapi adalah di luar anime, konten industri hiburan Jepang seringkali hanya tertarik ke pasar domestik. Sementara pasar Korea dirasanya masih terlalu kecil dengan kecenderungan industri yang masih terus mencari pengembangan. Ini, baginya merupakan sesuatu yang harus ditiru oleh industri Jepang agar bisa semakin berkembang.
Begitupun, bukan berarti tak ada sama sekali orang-orang dalam industrinya yang punya visi lebih baik. Sineas-sineas muda dan independen Jepang menurut Taro punya harapan ini, bahwa mereka cenderung berusaha menaklukkan batasan-batasan ini, bahkan terkadang berinovasi membuat film tanpa elemen scoring musik, walau ini sedikit banyak membuatnya bersedih, ujar Taro sambil tertawa. Bagaimanapun, hal ini menurutnya tetap harus dianggap sebagai sebuah dinamika dalam perkembangan industrinya.
Mengekspresikan hasratnya untuk tetap berkarya hingga 20 tahun ke depan sebagai fase berikut dalam karirnya, Taro menekankan tantangan untuk bekerja dengan sutradara-sutradara baru dengan visi-visi non konvensional ini. “Untuk bertahan, kita perlu terus berkembang”, ujarnya. “Kita harus bisa menerima semua aspek dan unsur modern tanpa harus sama sekali mengorbankan pakem-pakem klasik yang masih sangat universal. Ini adalah keseimbangan yang terus saya coba raih di setiap karya-karya saya seiring dengan industri yang terus berkembang”, tambah Taro.
Namun yang terpenting, “Saya selalu berusaha menciptakan musik yang bisa melintas batas-batas domestik dan internasional antar negara atau benua di cakupan dunia. Adalah sebuah mimpi untuk bisa mengkomposisi scoring film yang sepenuhnya menggunakan musik sebagai bahasa untuk menggantikan dialog, dan bisa dipahami secara universal untuk semua audiens”, pungkas Taro mengakhiri Master Class-nya di TIFF ke-31 tahun ini.