
©2018 TIFF
Seperti biasanya, di setiap tahun perhelatan Tokyo International Film Festival (TIFF), dua programmer-nya, Yoshi Yatabe dan Kenji Ishizaka, berikut festival director selaku jabatan tertinggi TIFF menyempatkan untuk berbincang-bincang mengenai visi mereka dengan semua jurnalis undangan yang hadir. Ini memang sesuatu yang sangat dirasa perlu oleh mereka sebagai pemuka penyelenggara TIFF karena selalu ada visi-visi baru setiap tahun dalam mempertahankan posisi TIFF sebagai salah satu festival film internasional terdepan di Asia.
Memasuki tahun keduanya sebagai festival director TIFF menggantikan Yasushi Shiina yang kini mengurus pasar film pendampingya, TIFFCOM, Takeo Hisamatsu yang sempat berkarir di Shochiku dan Warner Bros. Jepang juga menyampaikan visi dan misinya menuju titik penting TIFF menyambut Olimpiade Tokyo 2020 nanti. Berikut adalah kutipan bincang-bincang dengan mereka:
YOSHI YATABE, Programmer untuk Segmen Kompetisi (Utama/Internasional, Japanese Cinema Splash)

©2018 TIFF
Saya dengar jumlah submisi tahun ini jauh lebih dibanding tahun-tahun sebelumnya. Bagaimana cara Anda menyaring dan menyeleksi film-film kompetisi?
Saya mencoba sejauh mungkin menggamit film dari berbagai negara dan regional. Untuk itu saya memang membagi peserta secara regional sebelum menyeleksi. Saya juga tahu ada dari Anda yang akan menanyakan mengapa tahun ini tidak ada film dari negara tertentu di segmen kompetisi, saya tahu tapi memang ada banyak sekali submisi yang masuk untuk diseleksi dan percayalah, saya berharap bisa lebih baik lagi melakukan seleksi di tahun-tahun berikutnya (tertawa). Bagaimanapun, walaupun tidak ada film dari satu negara yang masuk untuk tahun ini, saya selalu berusaha menjaga koneksi dengan orang-orang dari industri film negaranya. Misalnya walaupun tahun ini tidak ada film Iran atau Filipina di sesi kompetisi, namun ada nama sineas Filipina Brillante Ma Mendoza dan aktris Iran Taraneh Alidoosti di dewan juri internasional TIFF. Saya selalu ingin tahu sinema negara lain seperti misalnya pergi ke berbagai festival-festival internasional sepanjang tahun.
Apakah ada trend tertentu yang Anda lakukan dalam seleksi itu?
Dalam memilih film-film kompetisi standarnya sebenarnya sama dengan tahun-tahun terdahulu. Dari sana sebenarnya kita bisa melihat polanya. Untuk tahun ini saya kira line up film-film kompetisi ada di tengah-tengah, bukan kebanyakan karya-karya pertama sutradara baru dan bukan juga sutradara senior yang sudah lebih established atau berstatus masters. Film-film kompetisi ini menunjukkan bahwa semua nama-nama yang ada di baliknya adalah talenta-talenta yang sangat layak lebih lagi dikenal penonton dari seluruh dunia, dan secara garis besar saya lihat film-film tahun ini didominasi tema bagaimana seorang individu yang spesial dalam bertahan menghadapi arus modernisasi di dunia sekarang. Dari sisi tema sendiri saya juga mencoba mempertahankan diversifikasi tema. Ada human drama, komedi, bahkan horor yang tetap menjadi trend sinema sekarang. Seperti yang saya katakan, goal-nya adalah bagaimana audiens bisa mengenal dunia lewat film-film kompetisi di TIFF dan mungkin secara khusus – cara pandang kami.
Bagaimana dengan faktor status – World premiere, Japan/Tokyo premiere, Asian premiere dan sejenisnya?
World premiere tetap menjadi salah satu, jika tidak satu-satunya titik berat dalam proses seleksi. Bagi audiens bahkan kalangan jurnalis seperti Anda, tentu ada daya tarik lebih untuk datang ke festival film internasional dengan film-film yang belum pernah atau masih sangat terbatas ditayangkan di festival-festival sebelumnya. Tapi tentu bukan melulu hal itu yang menjadi pertimbangan. Saya pribadi sebagai audiens tidak peduli status film tertentu asalkan film itu bisa menarik perhatian saya. Interesting, fun, tetap menjadi faktor utama dalam tema-tema dan penceritaan yang mereka ketengahkan. Saya bisa juga katakan bahwa status-status premiere dunia atau regional itu sebenarnya lebih menarik lagi buat nama-nama sineas yanga ada di baliknya; bagaimana kita begitu antusias menyaksikan terlebih dahulu film dari sutradara ternama, misalnya. Tapi pada dasarnya, sejauh-jauhnya saya berusaha untuk mendapatkan sebanyak mungkin status premiere di film-film kompetisi, tingkat kualitas tetap merupakan pertimbangan utama dalam keseluruhan proses seleksi. Tahun ini, di segmen kompetisi ada 8 film dengan status World premiere, 2 International premiere, 6 Asian premiere.
Dalam industri film banyak isu-isu genre dan sutradara wanita sekarang. Sejauh mana ini menjadi faktor pertimbangan dalam seleksi?
Ya, itu adalah isu-isu yang sangat penting untuk dibicarakan, tapi lagi, tetap yang diutamakan adalah kualitas filmnya. Saya sendiri biasanya tidak melihat dulu berdasarkan gender pembuatnya sebelum menyaksikan film-film submisi itu. Setelah menyaksikannya barulah seringnya kita menyadari misalnya “Oh, memang ada cara pandang berbeda dalam penyajiannya karena sutradaranya pria atau wanita”, kecuali mungkin memang ada yang menarik perhatian kita sebelumnya soal tantangan dari tema yang diangkat dari sudut pandang gender, kira-kira seperti itu. Balik lagi, walau terkadang kita harus juga menyediakan ruang untuk mendorong lebih banyak sineas wanita, kita harus bisa lebih fair menilai sebuah film berdasarkan kualitasnya, bukan gender dari pembuatnya.
Karena Anda juga merupakan programmer kompetisi Japanese Cinema Splash, segmen yang membidik serta mengenali sineas-sineas muda independen Jepang, bisa berikan pandangan Anda tentang pergerakan film independen di Jepang sekarang?
Kami punya banyak sekali karya-karya independen yang layak mendapat buzz dan dukungan lebih besar lagi. Saya bisa katakan bahwa Japanese Cinema Splash adalah platform yang memang dibuat untuk mendukung pergerakannya. Bahwa film-film yang masuk ke dalam seleksi dan kompetisinya biasanya mendapat spotlight untuk lebih dikenal dan kesempatan rilis lebih luas di bioskop. Tapi tak hanya di segmen itu, tahun ini kami punya One Cut of the Dead yang baru saja menjadi pencetak rekor baru di sinema independen Jepang. Dengan bujet sangat murah, ia mencetak BO sebesar 33 juta dolar AS, ini bahkan lebih dari The Blairwitch Project. Ini membuat audiens dari lokal hingga internasional (One Cut of the Dead juga akan dirilis akhir bulan ini di Indonesia setelah ditayangkan dalam Japan Film Festival yang digagas The Japan Foundation Asia Center – Indonesia) tahu ada karya sineas independen, sutradara muda dengan bujet kecil yang bisa mendobrak sinema komersial dengan kualitas tidak main-main. Jadi memang pergerakan sinema independen Jepang ini menurut saya semakin baik sekarang.
Karena Jepang merupakan pusat industri animasi, apakah ada rencana ke depan untuk membuatnya menjadi segmen kompetisi ketimbang hanya showcase spesial?
Membuat segmen kompetisi anime/animasi sebenarnya sudah bertahun-tahun ada dalam benak saya, namun ada tantangan-tantangan tertentu mungkin untuk patokan-patokan standarnya dengan animasi internasional atau dari negara lain di luar Jepang. Mudah-mudahan di edisi-edisi TIFF selanjutnya hal ini bisa segera terwujud.
KENJI ISHIZAKA, Programmer untuk Segmen Crosscut Asian Future

©2018 TIFF
Apa saja kriteria yang Anda berikan sebagai programmer di tahun ini? Apakah ada tema-tema tertentu yang dibidik untuk tahun ini?
Tidak ada sebenarnya tema tertentu yang menjadi standar, tapi dari film-film yang masuk ke seleksi final tahun ini saya melihat ada kesamaan tema tentang statement yang sangat kuat dari kalangan minoritas dalam keseluruhan masyarakat mereka; baik dari gender seperti diskriminasi ataupun keadaan-keadaan lain yang menyangkut sosial, ekonomi dan politik dari masing-masing negara sebagai satu bagian besar dari Asia seperti eksploitasi anak ataupun manusia. Menurut saya, ini juga muncul sebagai ekses dari kemudahan-kemudahan digital dalam pembuatan film sekarang, bahwa sebuah film berkualitas juga bisa dibuat dengan bujet sangat kecil. Ini sedikit banyak saya kira membuat suara-suara minoritas mulai bermunculan dan memberi kita pandangan yang belum pernah kita dapatkan sebelum ini.
Anda memilih tema musik untuk Crosscut Asia tahun ini. Bisa jelaskan latar belakangnya?
Crosscut Asia memang digagas dengan pendekatan tema berbeda setiap tahun untuk seleksi film-filmnya, yang merupakan showcase dari film-film Asia Tenggara. Kami tahu terkadang cukup sulit juga memposisikan satu negara sebagai tema seperti yang pernah kami lakukan di tahun-tahun pertama dan sebelumnya, jadi tahun ini secara taktis kami kembali memilih konsep kompilasi berdasarkan satu tema yang sama untuk memperkenalkan sinema Asia terutama Asia Tenggara khususnya ke audiens Jepang, dan yang terpilih adalah tema musikal yang sangat beragam di antara negara-negara yang ada. Begitupun, musik di sini, apapun genre-nya, dari pop, rock hingga musik yang lebih modern seperti hip-hop, bukan hanya menjadi elemen, tapi salah satu aspek terpenting dalam menyajikan ciri kultur bahkan membentuk sejarah negara asalnya.
Khusus untuk segmen kompetisi Asian Future, apa saja kriterianya?
Saya bisa jawab secara singkat, selain persyaratan karya pertama dan kedua untuk mendorong pengenalan, memberikan dukungan pada talenta-talenta muda dengan potensi karir sedang berkembang, kriteria utamanya adalah kualitas tinggi dari film-film yang mereka hasilkan, karena ini memang merupakan segmen kompetisi di mana karya-karya terbaik yang masuk ke dalam seleksi final akan berkompetisi memenangkan beberapa kategori terbaik. Namun begitu, sesuai namanya, segmen ini tetap bertujuan untuk mengetengahkan showcase soal industri film di Asia sekarang sekaligus talenta-talenta yang punya potensi untuk masa depan industrinya.
Karena Anda merupakan programmer dari dua segmen soal pengenalan sinema Asia di festival internasional sekelas TIFF, dengan audiens internasional, saya ingin mendengar pendapat Anda soal posisi sinema Asia dan pengaruh-pengaruhnya dalam industri film dunia secara keseluruhan sekarang.
Ada banyak filmmaker Jepang dan Asia lain yang sangat dikenal di kancah festival-festival internasional terutama Eropa lewat film-film mereka yang berhasil ditayangkan di sana, sebagai salah satu pionir festival film berskala internasional. Tentu, dalam posisinya, mereka juga merupakan kontender bagi sineas-sineas di ajang yang sama. Sejak Akira Kurosawa atau Shohei Imamura memenangkan sejumlah kategori di Cannes, ini pastinya akan terus mendorong sineas-sineas Asia untuk memberikan pengaruhnya ke industri film luar dalam sebuah usaha globalisasi ke dunia internasional. Membawa dan memperkenalkan rasa, budaya dan bahasa sinema masing-masing, apalagi saat mereka berkarya di industri film luar – yang semakin banyak kita saksikan sekarang, tak hanya dari Jepang tapi juga dari negara Asia lainnya, ini saya kira merupakan nilai penting dalam festival-festival internasional.
TAKEO HISAMATSU, Festival Director

©2018 TIFF
Bagaimana visi dan cara-cara Anda untuk mempertahankan TIFF sebagai salah satu festival film internasional terbesar di Asia?
Seperti yang kalian tahu, Busan, Shanghai dan sejumlah festival film internasional lain di Asia juga merupakan festival yang sangat dikenal secara luas. TIFF dalam hal ini tidak menempatkan posisinya sebagai kompetitor, tapi selalu mencoba berkolaborasi dengan festival-festival film lain di Asia. Jepang, China, Korea dan negara lain menjadi pasar sinema yang sangat luas di Asia, dan sangat perlu berkolaborasi untuk kepentingan-kepentingan yang ada. Jadi salah satu visi terpenting dalam mempertahankan TIFF bagi saya adalah kolaborasi, yang saya harapkan bisa semakin berkembang lagi dengan festival-festival film internasional di Asia lainnya.
Tahun ini adalah tahun kedua Anda sebagai festival director. Apakah ada hal-hal yang belum membuat Anda puas dengan pencapaian hasilnya?
Begini. Di tahun pertama, sasaran saya ada pada konsep pemberdayaan dan pencerahan. Di tahun kedua saya sebagai festival director TIFF, saya sementara memilih untuk tidak berkutat pada konsep-konsep pembaharuan, tetapi lebih untuk memperkuat dan mempererat komunikasi dengan seluruh stakeholder TIFF termasuk jurnalis hingga audiens, terutama generasi muda dalam keterlibatan mereka di berbagai aspek festival yang ada. Kata kuncinya adalah memperkuat apa yang sudah saya lakukan di tahun sebelumnya dan sejauh ini saya cukup puas namun tentu harus terus berusaha untuk lebih baik lagi. Soal yang paling membuat saya senang atau puas, saya mendapat banyak teman baru selama bekerja untuk TIFF (tertawa).
Tema-tema persamaan gender banyak dibawa festival film internasional tahun ini. Apakah ada juga visi yang sama dari TIFF berkenaan dengan isunya?
Saya sangat menyadari isu serta kepentingannya, karena itu juga di TIFF lebih banyak wanita yang bekerja dibandingkan pria (tertawa). Namun begitu, dalam proses-proses seleksi dan kolaborasi internal lainnya, kami selalu berusaha untuk tidak memandang gender, ras/etnis bahkan agama untuk menjalin kerjasama. Khusus untuk film, saya rasa yang menjadi pertimbangan utama harus ada pada kualitas film ketimbang gender dari filmmakernya.
Sebagai festival director, Anda juga pastinya menjadi tamu kehormatan di banyak festival film internasional lainnya. Apakah ada pengaruh-pengaruh dari festival film tertentu yang menginspirasi Anda atau ingin Anda bawa ke TIFF selama menjadi festival director?
Setiap festival film internasional tentu punya value yang berbeda. Saya selalu berusaha agar TIFF tidak mencoba mengimitasi program-program festival lain. Seperti Tokyo yang punya keunikan tersendiri secara karakteristik, walau ada percampuran di dalamnya, TIFF juga berupaya mengacu dan merefleksikan keunikan-keunikan itu dengan pendekatan dan program-program yang mengedepankan orisinalitas.
Seperti apa usaha yang akan Anda lakukan untuk ekspansi TIFF ke depannya?
Selain kolaborasi tadi, kami selalu mencoba untuk menayangkan film dengan rentang variasi yang sangat luas dari berbagai negara, juga ragam genre dan jenisnya dari arthouse hingga mainstream, dengan tujuan agar berbagai kalangan audiens dengan pilihan masing-masing bisa menikmati festival filmnya secara menyeluruh sesuai dengan pilihan selera dan preferensi mereka. Bahkan di segmen kompetisi pun, saya ingin programmer saya menyaksikan lebih banyak lagi film dengan citarasa beragam. Menarik sekali melihat proses bagaimana komposisi juri seperti Brillante Ma Mendoza yang kita tahu punya citarasa sangat nyeni berdampingan dengan produser Bryan Burk yang ada di belakang film-film blockbuster dari Star Wars hingga Mission: Impossible. Selain itu yang tak kalah penting adalah meningkatkan komunikasi antara audiens dan filmmaker, juga filmmaker dan filmmaker dari berbagai negara dunia yang selalu harus menjadi poin penting dalam eksistensi perhelatannya sebagai festival berskala internasional. Sesi-sesi Q&A, masterclass, party, pendeknya semua acara yang bisa memungkinkan komunikasi lebih dekat di antara semua stakeholder-nya. Lebih lanjut, dalam konsep-konsep pemberdayaan TIFF juga tetap mengundang filmmaker-filmmaker muda yang masih berada di usia sekolah untuk berkunjung. Tahun ini kami juga mengundang sejumlah murid-murid sekolah dari Hong Kong untuk berkomunikasi dengan sineas-sineas Jepang dan internasional lainnya dalam sesi-sesi khusus. Dan jangan lupa juga, sebagai festival yang bisa dinikmati seluruh kalangan usia sesuai ragam film yang ada, tahun ini juga ada segmen Tribute to Comedy yang menayangkan film-film seperti Some Like it Hot – Billy Wilder, The Hangover – Todd Phillips, The Gold Rush – Charlie Chaplin hingga judul-judul seperti Home Alone – Chris Columbus dan Spaceballs – Mel Brooks untuk memungkinkan audiens menikmati festival bersama seluruh keluarga mereka. Lantas sejumlah film-film klasik di Midnight Film Festival – Friday Night ‘80s Movies dan A Night of Divas. Tujuan akhirnya adalah membuat audiens kembali merasakan pentingnya menyaksikan film di bioskop, dan saya rasa ini adalah hal yang sangat penting.
Anda juga melanjutkan pembuatan film hasil kolaborasi TIFF dengan The Japan Foundation, proyek omnibus Asian Three-Fold Mirror Project yang kedua berjudul Journey. Apakah ini juga akan menjadi salah satu signature TIFF sebagai festival film internasional yang juga membuat filmnya sendiri?
Gagasan Asian Three-Fold Mirror memang datang dari kolaborasi TIFF bersama The Japan Foundation Asia Center sejak 2016 untuk memperkenalkan budaya Jepang dan Asia ke mata dunia. Konsep kerjasama ini, official film dalam festival film termasuk salah satu sisi menarik yang sangat ingin kami lanjutkan dalam usaha kolaborasi, dan kami berharap kami selalu bisa mendapatkan bujet yang cukup untuk melanjutkan proyeknya.
Saya melihat ada nafas musikal yang kuat dalam line up TIFF tahun ini – dari film pembuka A Star is Born dan selebrasi film pembuka dalam Midnight Film Festival – A Night of Divas yang menayangkan Streets of Fire – Walter Hill, Dreamgirls – Bill Condon, The Bodyguard – Mick Jackson, juga Crosscut Asia yang membawa tema sinema musikal Asia Tenggara dan beberapa film lain. Selain itu ada juga tema feminisme yang kuat di deretan film-film kompetisi internasional, Asian Future dan segmen World Focus. Apakah ini memang pilihan Anda untuk menggarisbawahi tema-tema itu di TIFF tahun ini?
Seleksi film di TIFF dilakukan oleh Yoshi (Yatabe) dan Kenji (Ishizaka), begitupun, mereka selalu berdiskusi dengan saya soal pilihan finalnya. Mungkin ini hanya proses pilihan yang saling berkaitan tanpa sepenuhnya intensional, namun memang di segmen Crosscut Asia Kenji sebagai programmernya menemukan variasi yang sangat luas dari film-film musikal Asia Tenggara sehingga ia tertarik untuk mengangkatnya sebagai tema tahun ini. Begitu juga untuk tema feminisme, saya kira memang film dari waktu ke waktu selalu merefleksikan kultur sosial dan global dari situasi dan kondisi dunia pada saatnya, dan ini mungkin menjadi pemikiran banyak sineas yang ingin menyampaikan suara dan pandangan mereka soal itu.
Dalam industri film, profesi Anda adalah produser. Apa perbedaan yang Anda rasakan dalam memproduksi film dengan memproduksi festival berskala internasional seperti TIFF?
Keduanya, film ataupun festival adalah hasil kerja dari banyak orang dalam sebuah lingkup kolaborasi. Bedanya saat memproduksi film langkah-langkahnya sedikit berbeda. Mengumpulkan bujet, membuat film kemudian mendistribusikan untuk mendapatkan kembali bujet yang dikeluarkan dalam tanggung jawab produksi juga menyangkut memikirkan siapa saja orang yang kita ajak bekerja dalam pandangan-pandangan profesional. Ini terkadang memerlukan proses keseluruhan sepanjang tahun dan bisa lebih. Di dalam festival film, durasi kerjanya mungkin lebih singkat, ada divisi yang bekerja sejak 6 bulan sebelumnya, 3 bulan bahkan 1 bulan termasuk para volunteer yang belum tentu semua punya basis profesionalisme di bidangnya. Namun, bukan berarti satu tak lebih sulit dari yang lain. Ada kesulitan berbeda dengan proses-proses kolaborasi saling bersinggungan dan sama-sama bertujuan untuk menghasilkan karya yang baik walaupun film perlu mendapatkan keuntungan komersil sementara festival film lebih pada rasa personal orang-orang yang bekerja di dalamnya, berupa kepuasan dan kesenangan dari para pekerja dan sasaran audiensnya.
Sejauh mana kolaborasi TIFF dengan Tokyo Olympics yang akan menjadi event akbar di 2020 nanti?
TIFF sejak awal, sebagai bagian penting dari Jepang, selalu punya niat untuk ikut mengembangkan dan mendorong turisme menuju Olimpiade Tokyo 2020. Banyak konsep kolaborasi yang sudah dikembangkan dan semakin kuat menuju 2020. Di tahun ini salah satu segmen audiens publiknya adalah penayangan film-film klasik hingga baru bertema olahraga di Cinema Athletic 31 (menayangkan film-film seperti Invictus – Clint Eastwood, Jerry Maguire – Cameron Crowe, Dangal – Nitesh Tiwari, The Wrestler – Darren Aronofsky, Big Wednesday – John Milius dan banyak lagi), juga segmen khusus film-film sepakbola di Goal! Goal! Goal! (menayangkan Kick karya Kazuhiko Nakamura, dokumenter Spanyol Take the Ball, Pass the Ball karya Duncan McMath dan Johor Bahru 1997 karya Asahi Ueda). Selain itu, shared concepts tadi juga akan membawa sineas ternama kami Naomi Kawase untuk membuat film dokumenter Tokyo Olympics 2020.