Home » Dan at The Movies » KELUARGA CEMARA (2018)

KELUARGA CEMARA (2018)

KELUARGA CEMARA: AN ULTIMATE REMINDER OF EVERYONE’S GREATEST TREASURE

Sutradara: Yandy Laurens

Produksi: Visinema Pictures, Ideosource, Kaskus, 2018

© 2018 Visinema Pictures

Tak terlalu banyak mungkin IP asli Indonesia yang punya status melegenda dan masih diingat melintasi generasi. Coba tanya kembali, kenapa Keluarga Cemara, serial TV yang diangkat dari novel terbitan tahun 1981 karya Arswendo Atmowiloto – yang ditayangkan dari tahun 1996 hingga 2005 adalah salah satunya yang masih sangat melekat dalam ingatan? Dalam kisah-kisah drama keluarga, ini mungkin karya lokal yang paling mendekati serial-serial bergenre sama dari luar seperti The Little House on the Prairie.

Jawabannya tentu beragam, tapi yang jelas, ada unsur kedekatan di sana, bahwa banyak pemirsa yang merasa direpresentasikan dengan baik oleh kisahnya. Di luar akting Adi Kurdi, Novia Kolopaking dan bentukan kisah itu, bahwa Abah, Emak dan anak-anaknya, juga karakter lain – bukan lagi karakter dalam sebuah cerita, tapi sudah menjadi gambaran dari banyak orang dalam naik turun bahtera kehidupan bernama keluarga. Ketika banyak film serta sinetron soal keluarga mengemas konfliknya ke sebuah eksploitasi dramatis, sama seperti nafas karya Arswendo yang lain – kalau Anda mengikuti sejak dulu, Keluarga Cemara tak seperti itu. Ia memang tak menggelar kemewahan, tapi bukan pula mengeksploitasi konflik-konflik kemiskinan hanya untuk menguatkan arti kebersamaan dalam hubungan-hubungan keluarga. Ketika yang lain mengidentikkan drama keluarga sederhana ke bentuk-bentuk eksploitatif dan kecenderungan mengarah ke sebuah poverty atau suffering porn, Keluarga Cemara – lagi-lagi tak begitu. Yang paling mencuat darinya, bukan kesedihan – tapi kehangatan yang dalam tiap detak nafasnya, sederhana namun mengena.

Meski tak lagi berlanjut, banyak yang masih mengingatnya dan untung saja, bersama buku-bukunya yang masih terus dicetak ulang, seorang Ernest Prakasa melekatkan lagi rentang cukup panjang itu ke ingatan orang-orang lewat elemen komedik yang dibawakan Asri Welas di Cek Toko Sebelah. Tak lama, kita mendengar bahwa Keluarga Cemara akan dihidupkan kembali ke layar lebar oleh Visinema Pictures dan pentolannya, Angga Dwimas Sasongko. Walau tak memilih turun langsung untuk menyutradarai dan menyerahkan nakhodanya pada Yandy Laurens, sutradara muda yang sebelumnya sudah dikenal lewat film pendek berjudul Wan An yang meraih 3 penghargaan di XXI Short Film Festival, kredibilitas Visinema sebagai penghasil karya-karya baik di industri film Indonesia cukup membuat lega. Apa yang muncul kemudian dari gelaran publisitasnya adalah ekspektasi, dan untunglah trailer-nya terasa cukup mewakili. Tapi tentu, buat yang tahu betul sumbernya – ada satu titik konklusi yang tak boleh salah dalam bangunan keseluruhannya. Apa itu?

Tak asyik memang kalau sebuah remake hanya sekadar mengadaptasi sumbernya menjadi sesuatu yang lebih kekinian. Mengikuti trend kreatif yang ada, skrip yang dibesut Gina S. Noer dan Yandy, sementara Arswendo pun masih ikut turun tangan lebih dari sekadar memberi restu, menarik kembali kisah Keluarga Cemara ke awal yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Kehilangan rumah, pekerjaan dan semua hartanya akibat ulah kakak iparnya (Ariyo Wahab), Abah (Ringgo Agus Rahman) terpaksa membawa Emak (Nirina Zubir) dan anak-anaknya; Euis (Zara JKT48), Cemara/Ara (Widuri Puteri) ke desa terpencil di Jawa Barat sambil menunggu hasil perkara kasusnya. Menempati rumah warisan ayah Abah, tentu muncul berbagai konflik selagi Abah bersedia melakukan kerja apapun sambil dibantu oleh Emak yang menjual opak. Tapi yang lebih serius adalah kekalahan kasusnya membuat mereka semua terancam hidup miskin selamanya di desa, sementara perseteruan antara Euis yang tengah beranjak remaja dengan Abah semakin meruncing di tengah cobaan demi cobaan yang mereka hadapi.

Titik-titik terpenting soal bagaimana Keluarga Cemara menyemat konflik yang sedikit saja terpeleset bisa menjadi eksploitasi ala poverty porn dan porn-porn lainnya inilah yang menjadi kekuatan utama dalam skrip Gina dan Yandy. Gambaran keluarga terhimpit masalah ekonomi yang tak kunjung selesai dan malah bertambah lagi dan lagi itu, sudah jatuh tertimpa tangga dan lain-lain dalam skrip tadi – tak lantas mengeksploitasi sisi dramatiknya. Ada distraksi-distraksi kehidupan dan interaksi-interaksi sosial yang diletakkan dengan pas untuk bisa mencuri sisi komedik lewat karakter-karakter comic relief yang dibawakan dengan baik antara lain oleh Abdurrahman Arif dan – oh well, Asri Welas – sebagai pilihan paling pas dari kiprahnya menyenggol Keluarga Cemara di Cek Toko Sebelah, juga sematan-sematan dialog punchline yang begitu menohok.

Ada satu dialog yang hadir secara cermat menyemat keseluruhan konklusinya di gelaran puncak konfliknya, dan seketika bisa menyesakkan dada pemirsanya, sementara keputusan-keputusan untuk mempertahankan elemen-elemen ikoniknya; becak dan opak, bisa menangkap esensi asli dari sumber adaptasinya dengan baik bersama pola terpenting dalam penulisan keseluruhan untuk tak menyeret jauh konflik-konflik episodiknya. Mengadopsi benar-benar sisi kehangatan yang ada di serial TV-nya, setiap gulir episodik itu selalu ditutup dengan percikan harap yang terasa sangat melebur, juga konsisten sampai ke akhir.

Angga dan timnya pun cermat dalam memilih cast. Resiko meletakkan Ringgo Agus Rahman ke dalam lompatan-lompatan dramatik serta emosional mengisi peran legendaris Abah yang dulu dibawakan Adi Kurdi begitu mengena pun ternyata bisa menepis anggapan banyak orang, bahwa belokan-belokan yang mereka eksekusi memang terkalibrasi dengan bagus. Ada memang saat di mana kita bisa merasa titik emosional Ringgo masih sedikit terdistraksi oleh ekspresi tipikalnya, namun menuju puncaknya, tanpa dapat disangkal, ini adalah kiprah non-komedik Ringgo yang terbaik selama karirnya setelah beberapa kali tak mendapat peran yang tepat seperti di awal-awal kemunculannya dulu. Begitu pula Nirina Zubir sebagai Emak, juga Widuri Puteri (putri Dwi Sasono & Widi Mulia) yang dalam konsep reborn ini mesti mengalah sedikit dengan porsi konflik utama Abah dan Euis. Tapi bukan berarti mereka tak bermain bagus mengisi bagian ansambel utamanya. Skrip Gina dan Yandy tetap memberi ruang untuk eksistensi mereka lewat beberapa adegan juara masing-masing.

Selagi kita tahu Nirina jelas bisa membentuk interaksi erat dengan Ringgo dari kolaborasi-kolaborasi mereka sebelumnya, yang tampil paling mengejutkan memerankan Euis adalah Adhisty Zara – lebih dikenal sebagai Zara JKT48. Interaksi ayah dan anak perempuannya sebagai konflik sentral rendisi baru Keluarga Cemara ini ia mainkan dengan ikatan yang sangat melekat bersama Ringgo dengan eskalasi tepat ke bagian-bagian terpenting pengisahannya. Zara terlihat bermain lepas bahkan seperti tanpa beban, bisa menghindar dari potensi guliran skrip di bagian-bagian solonya untuk tak menjadi terseret-seret, dengan persona aktris utama muda yang sungguh bersinar.

Pendukung-pendukung lainnya pun tak kalah bagus. Sebut semua dari Ariyo Wahab, Arswendi Nasution, Gading Marten, Abdurahman Arif hingga Maudy Koesnaedi yang muncul memberi kesan sementara Asri Welas jadi MVP-nya, juara di deretan pendukungnya ada di aktor-aktor belia seperti Yasamin Jasem, Kafin Sulthan dan aktor cilik pemeran Andi yang jenaka dan bisa meledakkan suasana.

Namun satu unsur teknis yang benar-benar tampil menonjol bersama rendisi lagu tema asli yang kini dibawakan dengan bagus oleh Bunga Citra Lestari adalah komposisi scoring milik Ifa Fachir, mantan pianis MALIQ & d’ Essentials dalam debut layar lebarnya setelah ikut mengaransir lagu-lagu OST seperti Firasat – Raisa (Recto Verso) dan Pemeran Pengganti – Bisma Karisma (Juara). Memilih nuansa berbeda dari kebanyakan scoring film kita biasanya, lebih mendekati film-film Asia luar Indonesia, alunan komposisi itu terasa berada di tengah-tengah komposisi low key – lighthearted seorang Hans Zimmer dan bila pernah menonton film drama legendaris Jepang Ima, Ai Ni Yukimasu (Be With You), scoring karya Suguru Matsutani di film itu termasuk musik temanya, Toki Wo Koete. Ia tak pernah meledak-ledak menyetir emosi, tapi mengalun dengan manis mengiringi semua proses penceritaannya dengan pas.

Adalah catatan penting kemudian bahwa seperti produk aslinya, ia bisa menghindar dari belokan-belokan eksploitatif dalam transformasi kekinian secara hangat, membumi dan tetap berdiri di atas nafas kesederhanaan yang solid. Ini mungkin adalah satu dari segelintir film keluarga yang benar-benar bersih dari kecenderungan film kita membangun konflik klise dan edgy termasuk kecelakaan dan penyakit ini itu untuk bisa sepenuhnya aman disaksikan bersama seluruh keluarga. Tapi di atas segalanya, bersama arahan Arswendo, skrip Gina dan penyutradaraan Yandy yang membaur penuh hati, ia bergulir begitu rapi membidik konklusi terpenting yang tak bisa salah tadi. Bahwa Keluarga Cemara memang dihadirkan sejak awal sebagai sebuah pengingat lewat esensi terdalam tentang apa arti keluarga sebenarnya. Jawabannya ada di puncak eskalasi emosi saat kita, sebagai pemirsanya, mungkin tak lagi bisa menahan tumpahan airmata di pengujung yang meledakkan semua saat lagu tema legendaris itu mengalun di depan layar. Membuat kita ingin segera pulang, memeluk atau menjaga orang-orang terdekat kita di mana pun mereka berada. Harta yang paling berharga, adalah KELUARGA. (dan)