PSP: GAYA MAHASISWA: CAMPUS JOKES AND MUSICAL RENDITION THAT’S STILL WORTH SEEING
Sutradara: Hilman Mutasi
Produksi: Max Pictures, 2019
Lagi-lagi, di zaman IP lama tengah getol-getolnya dihidupkan kembali di film kita, pertanyaan pertama adalah siapa subjeknya. Dalam konteks grup komedian sebagai salah satu harta karun terbesarnya, seperti Warkop DKI yang datang dari latar sama juga mahasiswa, PSP yang sedikit lebih spesial tentu saja merupakan subjek yang layak. Bukan hanya piawai melucu, tergabung dalam sebuah paket beda bernama O.M. (Orkes Moral) PSP (singkatan dari Pancaran Sinar Petromaks – ini benar-benar merujuk ke kehidupan mahasiswa di zamannya) yang juga merilis album, mereka adalah grup musik yang teruji di eranya. Salah satu personilnya, Omen, bahkan dikenal sebagai personil grup jazz terkenal, Chaseiro – bersama Candra Darusman, yang masih manggung hingga sekarang. Sempat pula, mereka merilis sejumlah film seperti Aduhai Manisnya (ini hanya memasang James dan Monos), Manis-Manis Sombong, Rayuan Gombal ’81 (1980), Orang-Orang Sinting dan Koboi Sutra Ungu (1981) berlanjut ke solo karir sebagian personilnya di beberapa film meskipun tak berlanjut.
Masalahnya, sama seperti Lagi-Lagi Ateng kemarin, problem paling krusial dalam usaha-usaha menghidupkan IP lama ini memang terpulang lagi ke koneksinya terhadap generasi sekarang. PSP, sayangnya tak sepopuler itu dibandingkan Warkop atau Benyamin yang film-film lama dan album komedi/musiknya jauh lebih mudah untuk diakses serta masih ditayangkan di TV. Belum lagi, tak banyak generasi sekarang yang mengingat siapa sebenarnya personilnya yang paling menonjol buat dijual dulunya. James dan Monos adalah primadonanya, diikuti Rojali, Ade, Omen, Dindin sementara Andra dan Adit mungkin tak pernah dapat porsi peran terlalu besar di film mereka.
Mungkin mestinya ada trik marketing yang memungkinkan para penggagasnya punya waktu lebih panjang untuk memperkenalkan kembali talenta-talenta zamannya ke publik sekarang untuk menyambung benang merah koneksi itu, walau kadang menjual produk lama seperti baru bisa jadi satu celah tepat untuk publikasinya. Untungnya di sini, bersama personil-personil aslinya yang tampil kembali (tentu sebagai supporting), deretan cast barunya cukup dikenal sebagai selebritas. Ada duet Imam Darto dan Dimas Danang, serta sejumlah komika seperti Abdur Arsyad, Uus, Adjis Doaibu dan Boris Bokir, juga presenter David John Schaap di antaranya. Seberapa jauh ia bisa mendobrak segmentasi nostalgia itulah yang jadi titik jual tertingginya.
Diawali sedikit introduksi, PSP: Gaya Mahasiswa, salah satu judul lagu mereka yang dipilih menjadi judul pun mengantarkan kita ke tingkah-polah rendisi baru personilnya; Monos (Imam Darto), James (Dimas Danang), Rojali (Boris Bokir), Ade (Abdur Arsyad), Omen (Adjis Doaibu), Dindin (Uus), Adit (Wira Nagara) dan Andra (David Schaap) membajak pidato rektor (diperankan oleh Rojali) di kampusnya. Gaya Mahasiswa kemudian mengisahkan PSP menempuh usaha buat manggung, membawa musik dangdut ala mahasiswa di tengah trend sekarang sambil menyelipkan banyak subplot seperti ibu kos seksi bernama Fatimah (Aura Kasih – merujuk ke lagu Fatime), si gadis kembar yang diperankan Veronica dan Valerie Krasnadewi dari ASNTM 5 hingga pesan moral dari karakter satpam (Iyang Darmawan) dan putrinya yang menjadi korban begal.
Mengambil template kebanyakan dari Manis-Manis Sombong yang jadi debut layar lebar PSP sebagai satu kelompok namun sedikit sulit terbaca kecuali di bagian-bagian introduksi grup orkes mahasiswa yang tengah berjuang mencari panggungnya, skrip dari Hilman Mutasi, Yanto Prawoto dan Baskoro Adi sayangnya tak pernah terlalu terfokus pada plot yang padu. Lebih mengutamakan titik-titik rendisi nostalgianya, yang muncul ke depan akhirnya adalah komedi-komedi berupa sketsa sambil didistraksi subplot tadi di sana-sini. Bukan gagal, sebenarnya, secara pijakan komedi aslinya juga tak jauh dari pola itu, apalagi gaya kumpul-kumpul ngalor-ngidul ala mahasiswa yang sepertinya sangat dinikmati oleh deretan cast-nya sudah cukup lama tak kita lihat di film Indonesia yang lebih suka merambah dunia SMU ketimbang kuliahan. Masalahnya adalah Hilman dkk mungkin tak cukup memberi pengaturan karakter pada keseimbangan durasi tampil personil PSP barunya yang sebagian terasa miscast pula.
Sementara personil aslinya yang tampil juga tersegmentasi oleh koneksi nostalgia tadi hingga hanya bisa benar-benar dinikmati penonton yang masih punya ingatan lekat terhadap film-film dan kiprah mereka, sebagian komedian ini juga tak sepenuhnya berpegang ke signature karakter aslinya. Ade Rani sebagai penata rias pun terlihat tak berusaha lebih untuk menonjolkan secuil kemiripan kecuali pada tampilan James. Bukan masalah bila ingin diberi kebebasan penerjemahan baru, namun kecuali Dimas Danang, Boris Bokir dan Adjis Doaibu, semua usaha menghidupkan karakter asli itu untuk kembali rasanya masih terlalu tipis. Uus walaupun masih bisa mengundang tawa di banyak bagian terasa berlebihan dan lepas dari koneksi mereka sebagai satu kesatuan, sementara Abdur Arsyad terlalu jauh dari tampilan Ade muda, begitu pula David Schaap yang beda sendirian. Deretan pendukung untuk mengisi subplot-nya pun tak semuanya benar-benar dimanfaatkan seperti Dodit Mulyanto sebagai asisten rektor. Hanya Iyang dan pemeran putrinya yang benar-benar bisa menarik perhatian di subplot mereka.
Namun untunglah, selain gaya komedi kumpul-kumpul dan campus jokes serba recehnya, termasuk lawakan-lawakan jadul soal kaki terinjak atau tangan terjepit masih sukses memancing tawa. Ini paling tidak tetap membuat rasa komedi yang diusung PSP: Gaya Mahasiswa terasa cukup segar ketimbang kebanyakan film berisi kolaborasi komika/komedian yang ada sekarang. Di atas semua, rendisi musikal PSP-lah yang tetap bisa jadi jagoan yang bukan saja lebih dikenali, tapi juga menyambung koherensi tema utama dan jembatan nostalgianya dengan cukup asyik, serta bukan tak mungkin membuat sebagian pemirsanya mulai mengulik kembali informasi soal orkes dangdut humor mahasiswa yang cukup legendaris ini. PSP: Gaya Mahasiswa sama sekali bukan introduksi yang gagal, namun bisa jadi jauh lebih baik dengan kecermatan lebih. Mudah-mudahan, bila nanti filmnya terus bisa berlanjut. (dan)