ALITA: BATTLE ANGEL: A GRAVITY-DEFYING, BEYOND NEXT LEVEL MO-CAP AND VISUAL SPECTACLE
Produksi: Robert Rodriguez
Produksi: 20th Century Fox, Lightstorm Entertainment, Troublemaker studios, TSG Entertainment, 2018

Image: impawards.com
Tentu bukan tak ada alasannya mengapa sampai saat ini Avatar dan Titanic masih kuat bertengger di deretan rekor teratas box office dunia. Tak akan ada yang membantah kalau faktor utamanya datang dari seorang filmmaker bernama James Cameron. Karirnya yang langsung menanjak setelah The Terminator (1984) setelah sebelumnya mencatat sekuel kelas B Piranha II: The Spawning (1982) memang menunjukkan konsistensi luar biasa sebagai seorang kreator. Ia tak perlu buru-buru menelurkan sebuah karya baik sebagai sutradara atau produser (bahkan pernah meraih Best Editing di Titanic) dari rumah produksinya, Lightstorm, yang didirikannya pasca The Abyss (1989), sebelum visi utama soal teknologi sinematis benar-benar memberinya keleluasaan teknikal penuh. Film demi film yang dihasilkannya, rata-rata meletakkan titik berat pada standar baru dalam urusan ini; mungkin itu juga yang membuat kita masih harus menunggu kelanjutan Avatar.
Begitu pula, proyek Alita: Battle Angel, adaptasi dari manga terkenal Jepang karya Yukito Kishiro berjudul Gunnm (Battle Angel Alita; judul internasionalnya), yang sebenarnya sudah mulai digagasnya bersama Guillermo del Toro hampir 2 dekade lalu terpaksa diundurkan berkali-kali, terakhir demi Avatar yang juga berada di balik alasan pesan lingkungan atas eksistensinya sebagai seorang filantropis. Entah apa yang dilihatnya dalam celah teknologi sinematis ini hingga akhirnya Cameron memilih berfokus ke sekuel Avatar dan menyerahkan tampuk penyutradaraan Alita ke Robert Rodriguez (Desperado, Spy Kids, Machete). Begitupun, ia tetap berada di balik layar sebagai produser dengan pengurangan bujet dari Fox dan penipisan skrip yang awalnya membutuhkan durasi jauh lebih panjang. Jelasnya, yang kita lihat dari publisitas yang mulai bermunculan setahun lalu, Alita tetap punya segudang signature Cameron dalam sisi teknis termasuk soal ukuran mata besar karakter Alita (diperankan Rosa Salazar lewat teknik motion capture) yang diakui Rodriguez dalam proses pembuatannya.
Mengambil sumber dari 4 edisi pertama manga-nya, Alita: Battle Angel berlatar jauh di masa depan distopia seusai perang global teknologi yang dinamai ‘The Fall’ – yang menyisakan hanya secuil bagian bumi, Iron City dengan Zalem, kota melayang yang menjadi impian para penduduknya. Di situlah kemudian Dr. Dyson Ido (Christoph Waltz) menemukan bagian atas tubuh cyborg wanita yang kemudian dibawanya pulang untuk diperbaiki di balik sebuah rahasia masa lalu. Dibangun ulang dan diberinya nama Alita, gadis cyborg yang kehilangan memori ini kemudian mulai menapak takdirnya. Bergabung di kompetisi motorball, olahraga maut yang menjadi pertunjukan akbar dengan kontrol sesosok penguasa bernama Vector (Mahershala Ali) bersama mantan istri Ido, Dr. Chiren (Jennifer Connelly), hingga menjalin hubungan dengan Hugo (Keean Johnson), anak muda yang ternyata juga menyimpan sesuatu dari Alita yang membuatnya mesti berurusan dengan para bounty hunter di Iron City, perlahan Alita mulai menyadari jati diri dan tujuannya yang sudah tertinggal 3 abad lalu.
Seperti film-film Cameron lainnya; apalagi ini merupakan sebuah adaptasi yang terinspirasi trend cyberpunk awal ‘80an (Blade Runner) dan karakter bernama sama dari film scifi buatan Soviet tahun 1928; Aelita: Queen of Mars lantas dibuat ulang oleh Hollywood tahun 1951; Flight of Mars dengan karakter utama bernama Alita, Alita: Battle Angel pun bukan menawarkan plot yang benar-benar baru di lapisan terdasarnya. Seperti True Lies yang ber-plot soal agen tidur lawan teroris namun punya pesan feminis serta hubungan suami-istri, Titanic yang sejatinya hanya menyelipkan kisah cinta beda lapis sosial di tengah rekonstruksi sejarah kapal tenggelam, atau Avatar yang mengadopsi plot romansa beda ras ala Pocahontas ditambah pesan lingkungan, kisah cyborg wanita diadopsi sosok yang kemudian jadi ayahnya dalam suatu misi rahasia dan takdir seorang heroine di sini – a warrior rises, bukanlah hal baru.
Katakanlah Pinocchio bertemu La Femme Nikita atau film-film sejenis dalam template romansa seorang heroine dengan lelaki tak setangguh dirinya yang kemudian harus dilindungi mati-matian, plus Rollerball (1975, Norman Jewison) yang jadi inspirasi terbesar plot aksi sport mematikan bernama Motorball-nya, semua berada di trope yang sudah sering kita lihat. Ditambah referensi-referensi tambahan dari film-film senada juga karya-karya Rodriguez sebelumnya; dari Spy Kids 3 sampai Desperado ke Machete, paling tidak penelusuran plotnya yang terasa baru ada di soal teori-teori muscle memory – walaupun istilah ini secara medis tidak sepenuhnya benar, tapi menggambarkan konsolidasi memori lewat motor learning yang jauh lebih scientific untuk membangunkan subconscious memory secara mendetil bila benar-benar mau memberi atensi lebih. Selagi di film-film sejenis penelusuran sains ini bisa menjadi plothole, skrip Cameron dan Laeta Kalogridis (Night Watch, Shutter Island) bersama pilihan Rodriguez menjadikannya fokus visual yang asyik untuk dibahas lebih dalam proses abilitas Alita.
Selain itu, sama seperti film-film Cameron sebelumnya, selalu ada selipan hati yang disisipkan di tengah mish-mash dan campur aduk plot serta referensi itu. Ia mungkin tak seromantis Titanic, tak sekontroversial True Lies ataupun sevokal Avatar, tapi ada di ranah permainan emosi ala Terminator baik dalam relasi ayah-anak, ibu-anak dan juga romansa Alita-Hugo, yang bisa jadi sangat tipis, tapi tetap terasa sebagai motivasi sama kuat dalam penelusuran plotnya secara keseluruhan.
Namun memang, jagoan terbesar Alita: Battle Angel memang ada di ranah Cameron biasanya. Pameran dan persembahan visualnya, bahkan kala ia tak ikut turun sebagai sutradara, tetap meletakkan standar baru untuk urusan CGI dan performa motion capture (mo-cap) yang luar biasa realistis. Saat sineas atau filmmaker lain berlomba menggunakan teknologinya untuk karakter-karakter monster atau non-human lain, Cameron dan timnya menggagas tingkatan baru dari apa yang mereka lakukan di Avatar hingga memakan waktu 10 bulan untuk memperlihatkan betapa polesan CGI dan mo-cap yang seharusnya diperankan cukup berat oleh Rosa Salazar (Bird Box) itu justru bisa begitu efektif buat menerjemahkan ekspresi-ekspresi hingga sorot mata manusia lewat sosok Alita sebagai cyborg dalam membangkitkan emosi penontonnya. Dalam batasan yang tipis sekali, saat film lain menggunakan aktor asli untuk memerankan seorang cyborg, Cameron membuat Alita benar-benar bertampilan cyborg namun kerap sulit sekali kita bedakan kala berinteraksi dengan karakter-karakter mo-cap ataupun asli.
Sudah begitu, jangan tanya pula kerapian teknologi ini dalam bangunan adegan-adegan aksinya. Muncul luar biasa seru, teknologinya juga memungkinkan koreografi yang mungkin sulit dicapai stunt asli ataupun CGI di film-film lain. Mendobrak gravitasi dan berkali-kali membuat penontonnya takjub hingga menganga, lihat cara Alita bergelayutan menghindari serangan musuh-musuhnya, meluncur dan beraksi mengalahkan satu-persatu, semua titik penggunaannya di sini benar-benar melewati level yang bisa kita bayangkan. Truly beyond next level, termasuk dengan tampilan 3D yang sungguh tak percuma – ini sebanding dengan pencapaian Avatar, di atas semuanya, mereka seakan menonjok dan menyadarkan banyak orang mengapa teknologi sinematis memang memerlukan sinema sebagai platform paling layak untuk menikmati segala sisinya.
Mendampingi Salazar di departemen akting, Alita juga punya aktor-aktor bagus. Lupakan Mahershala Ali, sang langganan nominasi Oscar dan sepertinya menang lagi lewat Green Book tahun ini, yang agaknya tak pernah teruji baik di produk-produk blockbuster komersil. Tampil berlebihan dan serba lebay, ia tak pernah bisa terlihat meyakinkan sebagai Vector dan mungkin satu-satunya jadi titik yang harus lebih dikritisi. Tapi untunglah, bersama aktor-aktor yang sudah terbiasa menempati peran-peran jagoan baik protagonis atau antagonis; Jackie Earle Haley, Ed Skrein, Marko Zaror, Michelle Rodriguez dan Eiza Gonzáles dari Baby Driver – yang sebagiannya dipenuhi polesan CGI, nama-nama seperti Christoph Waltz dan Jennifer Connelly bisa memberi sentuhan drama yang kuat selagi beberapa cameo berseliweran membutuhkan perhatian lebih seperti Casper Van Dien (uncredited), Jeff Fahey dan sebuah kejutan di pengujung yang membuka pintu lebar ke sekuel atau malah prekuelnya.
Begitu juga aktor-aktor mudanya. Dari serial Spooksville, serial HBO yang mungkin tak terlalu dikenal meluas di sini, Keean Johnson tampil paling menonjol sebagai Hugo dan rasanya akan punya kesempatan buat sangat bersinar setelah ini lewat lead persona kuat yang mengingatkan ke gabungan tampilan Ryan Gosling – Liam Hemsworth ataupun Colin Farrell muda. Lantas aktris berdarah Asia Lana Condor yang barusan mendapat perhatian besar dari film Netflix To All The Boys I’ve Loved Before dan Jorge Lendeborg Jr. yang baru saja kita saksikan lewat Bumblebee – meski porsi mereka tak terlalu besar.
Selebihnya, masih ada performa teknikal lain yang tak kalah bagus untuk mengiringi kedigdayaan Cameron dan Rodriguez menghidupkan Alita hingga jadi seperti ini; dan banyak dianggap sebagai film adaptasi manga milik Hollywood pertama yang berhasil. Sinematografi dari Bill Pope – pionir virtual cinematography dari The Matrix Trilogy, editing Stephen E. Rivkin (Avatar, Pirates of the Caribbean), keseluruhan desain produksi dan juga scoring Tom Holkenborg plus lagu tema Swan Song dari Dua Lipa, semua turut membentuk Alita: Battle Angel menjadi sebuah karya yang sangat mumpuni.
Jadi mengapa Alita: Battle Angel banyak mendapat kritikan dari banyak kritikus luar hingga membahayakan prediksi box office-nya oleh sejumlah media, mungkin kita tak akan pernah tahu kecuali kecenderungan pandangan mereka terhadap blockbuster yang tak menawarkan plot baru. Entah juga karena durasi final oleh Rodriguez banyak menipiskan skrip awal Cameron yang harusnya lebih dari ini termasuk ending yang terbuka ke sekuelnya, namun reaksi penonton terhadap intensitas adegan aksi dan digdaya visualnya semestinya sudah tertebak akan sangat berlawanan. Yang jelas, film-film Cameron memang bukan baru sekali ini dibantai kritikus untuk bisa tetap menjadi pemenang di Box Office. Apapun itu, Alita: Battle Angel adalah sebuah mahakarya yang sangat layak dan perlu dinikmati hanya dari tampilan visual dan aksinya yang menggelegar, sekaligus membawa kita sebagai penontonnya menjadi saksi pencapaian teknologi sinematis sebesar ini. A gravity-defying, beyond next level mo-cap and visual spectacle that’s both groundbreaking and breathtaking, also wrapped its heart unlike any other, yang tertinggal hanyalah sebuah pertanyaan tak kalah penting; Akan seperti apa lagi gebrakan teknologi James Cameron di Avatar 2 nanti? (dan)