ANTOLOGI RASA: A HE SAID, SHE SAID ROMANCE WITH TYPICAL GIMMICKS YET ALSO A LOADS OF CHARM
Sutradara: Rizal Mantovani
Produksi: Soraya Intercine Films, 2019
Ada banyak novel best seller. Yang bertema drama romantis di kotak Young Adult, apalagi. Banyak pula penulis novel dengan fanbase besar. Tapi seorang Ika Natassa, memang membangun dunianya secara berbeda lewat kekuatan media sosial. Saat kisah-kisah yang diangkatnya mungkin bukan lagi hal baru, fanatisme penggemarnya terbangun dengan karakter-karakter novel yang hidup di dunia maya dan punya fanbase masing-masing, membuat posisi tawarnya terhadap PH-PH yang ingin mengadaptasi berada di batasan beda dengan penulis-penulis lain, terutama dalam soal kontrol dan keikutsertaan dalam prosesnya. Ini, walau tetap punya resiko terutama dalam soal kedekatan lebih ke kelas millennial tertentu, tanpa bisa dipungkiri memang fenomenal, paling tidak di industri hiburan kita.
Beralih dari kesuksesan Critical Eleven, Antologi Rasa kini digawangi oleh Rizal Mantovani sebagai sutradara. Masih terkait dalam keseluruhan interkoneksinya, seperti penggalan kalimat pembuka di trailer dan filmnya lewat karakter Keara (diperankan dengan sangat menarik oleh pendatang baru Carissa Perusset) pada penonton; “Selamat datang di kehidupan cinta gue yang berantakan”, Antologi Rasa mengisahkan cinta segi banyak antara karakternya dalam tema yang sekarang populer disebut friendzone. Begitulah yang terjadi di antara Keara, Harris (Herjunot Ali), Ruly (Refal Hady) dan Denise (aktris Malaysia Atikah Suhaemi dari My Stupid Boss), 4 rekan sekantor yang bersahabat namun masing-masing memendam cinta tak berbalas di antara satu dengan yang lain. Harris sejak lama menaruh hati terhadap Keara, namun Keara mencintai Ruly, sementara Ruly lebih memilih Denise yang kemudian malah menikah dengan lelaki lain. Keempatnya terus terombang-ambing di antara rasa hingga di satu titik mereka menyadari, bahwa hati, ternyata memang tak bisa dibohongi.
Merangkum bagian-bagian POV dengan konsep antologi dalam novelnya, belum lagi memadatkannya dalam proses adaptasi ke film berdurasi 100-an menit menjadi sebuah kisah linear mungkin memang bukan masalah gampang. Keputusan penulis Ferry Lesmana dan Donny Dhirgantoro menyingkat prolog pengenalan karakternya dengan voice-over sebenarnya tak salah, hanya saja, selain memang punya resiko terhadap koneksi karakter ke audiens yang bukan pembaca novel, scene-scene yang dipilih Rizal tak efektif untuk mengiringi ‘rasa’ dalam penyampaian voice-over itu. Tak salah juga mungkin menghilangan karakter Kemal – suami Denise yang hanya disebut sebatas nama, namun masalah lebih serius ada pada porsi Denise sebagai bagian sentral 4 karakter ini yang dimunculkan tak lebih dari peran sambil lewat, tak pula cukup menarik di tangan Atikah Suhaemi.
Dan seperti sebagaimana biasanya Soraya Intercine dan pilihan-pilihan estetikanya, penceritaan Antologi Rasa memang menitikberatkan gimmick gambar cantik ber-set luar negeri plus gempuran soundtrack (di sini diisi oleh Geisha, D’Masiv dan Nidji – di antaranya) yang walau tak salah dalam konteks komersil, namun tak selalu bekerja bagus baik dalam menambah bobot emosi ataupun memperdalam interkoneksi di antara karakternya. Ini, mau tak mau membuat fondasi Antologi Rasa tak terbangun terlalu kuat dalam proses penceritaannya secara keseluruhan.
Begitupun, untungnya Ferry dan Donny benar-benar mengadopsi dialog-dialog dalam novelnya, yang memang menjadi salah satu kekuatan penyampaian Ika dalam karya-karyanya. Dialog-dialog ini paling tidak masih bisa memberi sentuhan terhadap pola sentral plot-nya soal perbedaan persepsi gender – he said, she said, dalam kisah-kisah tipikal yang bukan baru pertama kali kita lihat. Ratusan film dari film Indonesia sampai Asia bahkan Hollywood sudah datang dengan formula kisah cinta sejenis dalam kotak tema unrequited love ataupun friendzone yang akhirnya pelan-pelan menemukan jalan, lengkap dengan adegan-adegan tipikal dalam trope genre-nya. Yang membedakan hasil akhirnya tetaplah bagaimana skrip dan pengarahannya bisa membentuk kedekatan rasa lewat proses-proses beda terhadap audiensnya, dan yang terpenting – carut-marut serta resolusi dilema hatinya bisa dengan mudah kita percaya.
Menokohkan Harris – playboy kena batunya ini, Junot sedikit melangkah ke luar perannya yang biasa bermain cukup baik walaupun masih jauh dari sempurna. Beberapa ekspresinya juga muncul sedikit kelewat berlebih di beberapa adegan. Sementara Refal, yang entah mungkin karena keterusan mendapat porsi supporting, masih diliputi problem persona lead material yang belum benar-benar bisa maksimal setelah debut yang bagus di Galih dan Ratna. Tapi MVP dalam Antologi Rasa ada pada Carissa Perusset dalam debut aktingnya. Tampil se-ideal sebagaimana sosok Keara yang digambarkan oleh dialog-dialog dan tiap sisi penceritaannya, Carissa bermain natural dengan lead persona magnetis dan sangat kuat buat menguasai layar di setiap adegan yang melibatkannya.
Ditambah dukungan tata teknis baik dari kamera Muhammad Firdaus, tata artistik Rico Marpaung – ini sekilas boleh kelihatan simpel namun tak segampang itu dalam urusan tampilan kelas sosial dalam universe karakternya dari set ke apparels serta pilihan props-nya, tata rias Quartini Sari, plus scoring dari Stevesmith Music Production, Antologi Rasa tentu bukan sebuah adaptasi yang gagal. Ia mungkin masih terdistraksi dengan sebagian putusan eksekusi yang kurang tepat, tapi tak pernah sampai menggerus daya tarik kuat untuk sebuah drama romansa di kelasnya. (dan)