CAPTAIN MARVEL: COULD BE A STRONG LINK, BUT WEAKLY EXECUTED
Sutradara: Anna Boden & Ryan Fleck
Produksi: Marvel Studios, 2019

Image: impawards.com
Sebagai movie event terbesar tahun ini – mungkin juga salah satu yang terbesar abad ini, Avengers: Endgame tentu ditunggu semua orang. Tapi Marvel Cinematic Universe (MCU) masih menyisipkan satu lagi produk mereka di waktu yang sedikit agak terlalu dekat. Bernama sama dengan kotak besarnya – Ms. Marvel di awal sebelum akhirnya berevolusi dengan nama Captain Marvel, karakter bernama Carol Danvers ini agaknya cukup penting dalam keseluruhan universe-nya, seperti hint dan rumor-rumor yang kita dengar menuju Endgame nanti.
Berwujud origin story karakter terbaru sekaligus instalmen solo superhero wanita pertama Marvel menjelang pengujung fase franchise itu, Captain Marvel pun mengisahkan pencarian jati diri Danvers (diperankan Brie Larson), mantan pilot US Air Force setelah mendapati dirinya memiliki kekuatan super dalam satuan elit militer bangsa Kree, Starforce , di tengah perseteruan galaktik dua ras alien Kree dengan Skrull. Turun ke bumi tahun di paruh akhir ‘90an, bersama agen S.H.I.E.L.D. Nick Fury (Samuel L. Jackson) dan Phil Coulson (Clark Gregg), Danvers pelan-pelan menyadari asal-usulnya di balik sebuah konspirasi yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Selagi Brie Larson memang tampak seperti pilihan tepat untuk karakternya, entah apa alasan Kevin Feige memilih duo sineas Anna Boden – Ryan Fleck dari sejumlah film indie Half Nelson, It’s a Kind of a Funny Story – di antaranya, untuk membesut Captain Marvel di tengah nafas paduan buddy movie (antara Danvers dan Fury) dan spy thriller berbalut space adventure dengan referensi ‘90an. Tak seperti instalmen MCU yang biasanya rapi membidik referensi genre, kiprah mereka bersama Geneva Robertson-Dworet dari reboot Tomb Raider di skripnya kali ini tampak sedikit bingung menentukan pijakan di antara perpaduan template tadi sekaligus dengan kekuatan representasi yang sudah tergelar bagus sekali di Black Panther.
Di satu sisi, template genre buddy movie sudah pernah kita lihat di Iron Man 3 walaupun Captain Marvel punya potensi kuat mengikuti template sama dengan duo karakter beda gender, The Long Kiss Goodnight (1996) karya Renny Harlin yang juga dibintangi Jackson (bersama Geena Davis) bersama sentuhan thriller spionase – semi/pseudo superhero yang juga sudah pernah dipakai di The Winter Soldier – dan jelas di sisi lainnya, elemen space adventure dan nuansa vintage di Guardians of the Galaxy. Lantas, bangunan nuansa vintage-nya pun berkali-kali terlihat tak konsisten menggamit props 90an setelah dimulai dengan menarik di latar lapak Blockbuster Video, tapi kemudian terdistraksi banyak elemen ‘80an bahkan ‘70an kecuali pilihan lagu-lagu soundtrack-nya.
Keputusan skripnya untuk bergerak tak linear dalam plot-plot pencarian origin tentu tak salah, namun sayangnya Captain Marvel punya problem di pacing dengan ketidakrapian racikan tadi. Seringkali terasa tak sedikit mau bergegas bak pacing film-film indie, tak punya stakes dan urgensi cukup tinggi dalam sematan motivasi-motivasinya, juga lemah sekali di staging adegan-adegan aksi baik fighting sequence (padahal Larson sudah berlatih keras berbagai beladiri – termasuk yang punya potensi bagus antara ia dengan Minn-Erva yang diperankan Gemma Chan) dan aerial action-nya, chemistry dan interaksi karakter-karakternya – baik di antara Larson dengan Jackson atau dengan Jude Law yang berperan sebagai mentor Kree-nya pun dibangun seolah kelewat berhati-hati dan tak pernah terasa benar-benar lepas. Semua baru bereskalasi melewati paruh ke-2, dan sudah begitu, penampilan Anette Bening sebagai salah satu karakter kunci pun tak banyak bisa membantu.
Di sisi teknis pun, tak ada yang terlalu istimewa dengan sinematografi Ben Davis, editing Elliot Graham – Debbie Berman yang sedikit gagal mengangkat impact adegan aksinya, pun scoring komposer Turki-Amerika Pinar Toprak (additional score di Justice League) yang tak se-memorable instalmen-instalmen MCU lainnya. Hanya ada soundtrack-soundtrack ‘90an yang memang sangat menarik untuk sebuah playlist nostalgik bagi sejumlah adegannya, dari Salt N Pepa, TLC, Des’ree, Garbage, Hole, No Doubt sampai Nirvana.
Untunglah, kekurangan ini masih bisa disiasati dengan sematan-sematan elemen yang masih bisa bekerja dengan baik. Soal representasi berbalur hati yang terasa relevan dengan keadaan sekarang meski set-nya berkutat di era 90an, bukan hanya terhadap female empowerment tapi juga diversitas etnis/ras dari karakter Maria Rambeau yang diperankan Lashana Lynch sekaligus putrinya (diperankan Akira Akbar – ini punya hint penting ke penerus karakter Captain Marvel) ataupun Ben Mendelsohn yang tampil kuat sebagai Talos di balik makeup, sejumlah humor yang masih menyegarkan termasuk satu yang paling meledakkan momen-momennya, dari karakter kucing Goose (diperankan 4 kucing berbeda) yang mengambil referensi Top Gun – lagi-lagi produk ’80, bukan ‘90an.
Satu hal lagi, tentulah kepentingan menuju titik konklusinya, yang paling tidak bisa dibangun Boden dan Fleck secara tak mudah menjadi bridge sekaligus prekuel dari semua franchise The Avengers/MCU. At least, Captain Marvel sudah menjawab banyak pertanyaan penting dalam keberadaannya menjembatani instalmen-instalmen terutama dari Infinity War ke Endgame nanti
Apa boleh buat, meski tetap dibesut di atas standar teknikal film-film MCU yang tak pernah main-main, paling tidak di penggunaan CGI dan VFX yang sampai melibatkan lebih dari 15 company selain ILM, Weta Digital dan Digital Domain, Captain Marvel tetap terasa tak berimbang dengan gambaran kekuatan super karakter titular-nya yang sedemikian dahsyat. Ia tetap fun seperti produk-produk superhero old-fashioned beberapa dekade lalu, namun tak pernah benar-benar maksimal mengusung kata Marvel. Di tangan sineas yang tepat, Captain Marvel mungkin bisa jauh lebih menghentak melebihi mid-credit scene-nya – satu yang terbaik dalam keseluruhan MCU, namun lagi, mungkin ini memang maunya Feige, membiarkan Captain Marvel benar-benar jadi produk MCU paling low profile, hanya sebatas bridge atau bak sebuah komik prequel companion untuk tak mendistraksi atau mengganggu antusiasme fans terhadap Avengers: Endgame yang akan datang dalam waktu sangat dekat. Still a strong link, but weakly executed. (dan)