SHAZAM!: LOW KEY – HIGH FREQUENCY, FLIES UP THERE AMONG THE MOST FUN SUPERHERO FLICKS EVER
Sutradara: David F. Sandberg
Produksi: New Line Cinema, DC Films, The Safran Company, Seven Bucks Productions, Mad Ghost Productions, Warner Bros., 2019

Image: imdb.com
Impian panjang DC mengangkat Shazam!, superhero bernama asli Captain Marvel sebelum akhirnya di-reintroduksi di tahun 1972 karena bertabrakan dengan properti Marvel Comics bernama sama ke layar lebar akhirnya tercapai. Sebelumnya, ada serial TV tahun 1941 saat ia masih bernama Captain Marvel dan di ‘70an berikut serial animasi ‘80an. Walau tak sepopuler Superman atau Batman, Shazam! yang sekaligus salah satu superhero berkonsep satu keluarga pertama dalam genre-nya, adalah properti superhero tertua DC sejak tahun 1939.
Sudah dikembangkan oleh New Line sejak awal 2000-an dan sempat menggamit nama Dwayne Johnson sebelum akhirnya dipasang menjadi salah satu archenemy Shazam!, Black Adam, Shazam! memang mengusung satu kesulitan atas konsep origin superhero berupa anak-anak yang bertransformasi menjadi superhero dewasa dari sejumlah publikasi yang ada. Padahal, film kita sudah melakukan ini dalam Rama Superman Indonesia tahun 1978. Tapi tentu zaman sekarang, di saat genre superhero menjadi salah satu santapan terbesar industri sinemanya, tak ada lagi konsep yang tak mungkin diwujudkan.
Digawangi Henry Gayden (Earth to Echo) dan Darren Lemke (Shrek Forever After) di penulisan ide ceritanya, Shazam! pun diarahkan dengan tone komedik di atas inspirasi terbesarnya ke komedi legendaris Tom Hanks, Big (1988), karya sutradara Penny Marshall – paling tidak ini yang sangat terasa dari trailer-nya. Yatim piatu Billy Batson (Asher Angel) yang kerap melarikan diri demi mencari keberadaan ibunya tak bisa menolak kala ia diadopsi oleh pasutri Victor dan Rosa Vasquez (Cooper Andrews–Marta Milans) dan dikumpulkan bersama yatim piatu lainnya termasuk penyandang paraplegia Freddy Freeman (Jack Dylan Grazer) yang juga penggemar superhero. Billy lantas disambangi secara misterius oleh penyihir Shazam (Djimon Hounsou) yang berabad-abad mencari orang terpilih buat mewarisi kemampuan supernya; kebijaksanaan Solomon, kekuatan Hercules, stamina Atlas, petir Zeus, keberanian Achilles dan kecepatan Mercury (akronim SHAZAM), untuk melawan roh 7 dosa.
Sayangnya, roh-roh tadi sudah lebih dulu dikuasai oleh Thaddeus Sivana (dewasanya diperankan Mark Strong) yang dulu gagal dalam ujian Shazam dan menghabiskan umurnya untuk mendapatkan kekuatan itu melalui sebuah mata wasiat yang mewakili satu dari 7 dosa manusia tersebut. Alih-alih menggunakan kekuatan SHAZAM-nya sebagai Shazam! (diperankan Zachary Levy) yang diharapkan, Billy justru asyik mengeksplorasi superioritasnya bersama Freddy sampai viral hingga akhirnya benar-benar menyadari bahwa Sivana dan kuasa roh 7 dosa itu tak main-main mengejar dan membahayakan seluruh keluarga barunya. Kedua manusia super ini pun terpaksa berhadapan dari langit Philadelphia ke sebuah pasar malam yang porak-poranda mengancam nyawa seluruh pengunjungnya.
Setelah Wonder Woman dan Aquaman yang membalik peta permainan DCEU, sebutan tak resmi bagi semesta film milik DC, Shazam! memang lagi-lagi berhasil membuktikan visi baru mereka untuk tak lagi berkutat di orisinalitas semu, pendewasaan genre dan tone serba bergelap-gelap demi menyaingi MCU yang sudah terbang jauh melampaui mereka. Bersama sutradara David F. Sandberg, sineas yang sudah menghasilkan Lights Out dan Annabelle: Creation, keduanya adalah effort genre horor yang dibesut dengan pace kencang bak sebuah ride seru sehingga ia memang orang yang tepat buat sebuah film superhero, dan Gayden sebagai penulisnya, eksekutif DC Films agaknya semakin menyadari bahwa sebuah produk superhero – memang butuh referensi lebih dari visi-visi baru yang keliru.
Di atas sebuah fondasi kuat soal konsep keluarga, mereka dengan leluasa memainkan Shazam! ke template film-film liburan natal segala umur namun tak pernah sekalipun kehilangan hati sebagai inti terdalamnya. Anak-anak yatim piatu, pencarian orangtua, pengakuan akan kasih sayang, berbaur saling membenturkan elemen plot-nya ke sebuah pemaparan konyol serta jenaka yang seolah lahir dari POV/sudut pandang sangat kanak-kanak atas prinsip-prinsip mitologi kekuatan super para Dewa Yunani dan 7 Deadly Sins yang memang terdengar nyeleneh, sama seperti gambaran origin anak menjadi superhero dewasa yang diusung kisah aslinya sendiri. Motivasi dan turnover karakternya pun terasa kuat dalam gambaran-gambaran kontradiksi tadi.
Hasilnya, adalah sebuah film superhero berorientasi keluarga yang sangat fun dan masih lagi ditambah dengan berbagai referensi cerdas dari Big hingga Rocky yang tak dilupakan dalam landmark Philadelphia (bahkan theme song Eye of the Tiger dari band rock lawas Survivor juga ikut muncul), juga tak pula salah kalau mau menyebut Power Rangers – superhero ansambel Jepang lain atau The Incredibles dari sisi keluarga sebagai follower dari trope subgenre-nya. Shazam! memilih bermain di ranah low key – sama seperti apa yang dilakukan Marvel lewat Ant-Man namun ini sedikit lebih tebal di konsep underdogs dalam konsep zero to hero-nya. Jelasnya, ia tak sedikitpun enggan atau menahan mengikuti genre tropes untuk tampil jadi sesuatu yang baru dan luar biasa menyegarkan sebagai instalmen solo superhero mereka yang sebagian sudah berantakan, bahkan legowo menyemat final fight dalam cakupan regional hingga sekecil pasar malam, belum lagi soal storytelling ke luar kotak nyaman film-film superhero untuk selalu dimulai dari POV jagoan sebagai instamen origin.
So, meski adegan aksi-aksiannya jatuh lebih jenaka ketimbang seru luar biasa, juga agak sederhana dibanding boom bang film-film superhero lainnya, garapan efek spesial dan CGI-nya tetap terjaga untuk bisa tampil maksimal menuju sederet kejutan yang siap memancing reaksi ‘Whoa-whoa’ di pengujungnya. Tak ada yang spesial dari sinematografi Maxime Alexandre, pun editing Michel Aller kecuali di timing komedi yang pas, kecuali main theme jagoan dari Benjamin Wallfisch – salah satu yang terbaik di DCEU. Sementara, Zachary Levy dari serial Chuck tanpa disangka bisa memerankan Shazam! begitu sempurna dengan segala kejenakaan tanpa kehilangan aura superhero-nya, bersama pemain-pemain muda Asher Angel, Jack Dylan Grazer, Grace Fulton, Ian Chen, Faithe Herman plus aktor-aktor yang lebih punya nama; Meagan Good, D.J. Cotrona dan Adam Brody (tebak mereka bermain sebagai siapa).
Shazam!, pada akhirnya, memang lebih memilih kehangatan di tengah gelak tawa seru bagi audiens untuk kedekatan rasa bagi karakter-karakter superhero barunya. Durasi 132 menitnya pun benar-benar tak terasa, bagaikan lewat saja dengan kesenangan luar biasa yang kita rasakan sepanjang menitnya. Satu yang jelas, DC sudah benar-benar bisa keluar dari zona nyaman mereka yang (biasanya) sungguh tak nyaman, dan semakin mengancam Marvel/MCU dengan konsep-konsep sederhana yang tak perlu kompleks namun sangat terjaga. Low key, yet high frequency – so electrifying, Shazam! flies up there among the most fun superhero flicks ever. So welcome home, DC. Mari sambut gemerlap genre-nya yang bakal makin ramai ke depan nanti, dan mudah-mudahan kita bisa cepat kembali mendapat sosok Superman yang membela bumi manusia dengan senyuman ketimbang geraman penuh amarah. (dan)