Home » Dan at The Movies » GODZILLA II: KING OF THE MONSTERS (2019)

GODZILLA II: KING OF THE MONSTERS (2019)

GODZILLA II: KING OF THE MONSTERS: AN ULTIMATE MONSTER MAYHEM WITH FULL RESPECT TO THE ORIGINAL FRANCHISE

Sutradara: Michael Dougherty

Produksi: Legendary Pictures, Warner Bros., 2019

Image: impawards.com

Tak bisa dipungkiri memang, komoditas hiburan Jepang memang sejak lama menarik perhatian Hollywood, dan Godzilla adalah salah satunya. Sempat dibuat versi Amerika dengan konsep re-edit (1956), menambahkan aktor Raymond Burr ke dalamnya oleh Terry Morse bersama sutradara Ishiro Honda dari versi pertama Godzilla 1954, tetap diproduksi Toho, Hollywood baru benar-benar berani mengangkatnya kembali di tahun 1998 lewat Roland Emmerich namun dianggap gagal.

Di 2014, Gareth Edwards bersama Legendary Pictures kembali membuat versi AS-nya, tapi karya yang sebenarnya digagas mendekati versi aslinya ini pun memperoleh review beragam, terutama karena Godzilla baru muncul tak lebih dari 15 menit di klimaksnya, sehingga rencana penggabungan semesta MonsterVerse milik Legendary termasuk King Kong – dan bukan tak mungkin, Pacific Rim, baru terwujud tahun ini. Disutradarai oleh Michael Dougherty (Trick ‘r Treat, Krampus), sekuel ini menampilkan karakter-karakter monster legendaris Mothra, Rodan hingga (King) Ghidorah sekaligus.

Bergerak dari latar belakang keluarga ahli perilaku hewan Dr. Mark Russell (Kyle Chandler) dan istri – putrinya Emma (Vera Farmiga) dan Madison (Millie Bobby Brown), yang terpecah setelah kehilangan putra sulung dalam amukan Godzilla terdahulu, sebuah organisasi rahasia pimpinan Kol. Alan Jonah (Charles Dance) kemudian menculik Emma dan Madison yang meneruskan penemuan Mark, mesin deteksi sinyal bernama Orca yang memungkinkan komunikasi antara manusia dengan Titans, sebutan untuk para Monster. Untuk melacak Emma dan Madison sekaligus menghentikan niat Alan membangkitkan monster-monster ini, Dr. Serizawa (Ken Watanabe) dan Dr. Graham (Sally Hawkins) dari proyek Monarch pun membawa Mark kembali – untuk kemudian menemukan keberadaan monster naga berkepala tiga, Ghidorah, ternyata memanipulasi monster lainnya, termasuk Rodan. Maka Godzilla, dibantu oleh Mothra pun harus bertarung untuk menghentikan Ghidorah, sementara Mark dan rekan-rekannya bergabung dengan satuan militer khusus G-Team untuk menyelamatkan dunia dari amukan para Titans.

Sekarang pertanyaannya adalah apa yang sebenarnya ingin dilihat penonton dari film-film Godzilla? Tak peduli betapa kompleksitas plot seputar karakter-karakter manusianya mereka gagas; kali ini jauh lebih menyenangkan ketimbang Godzilla 2014 dengan penampilan para supporting actors-nya – sebagian mengulang peran mereka seperti Watanabe, Hawkins, David Straithairn plus Joe Morton dari Kong, yang tampil sekilas, dan sisanya yang baru; ada O’Shea Jackson Jr., Aisha Hinds, Thomas Middleditch, aktor senior langganan antagonis Charles Dance plus Zhang Ziyi yang berperan ganda sebagai mythologist Dr. Chen dan kembarannya Dr. Ling, fokus utama yang dicari tentulah pertarungan akbar para monster/kaiju legendaris ini. Sementara, Millie Bobby Brown dari serial Stranger Things jelas jadi human lead paling menarik perhatian bersama Farmiga meninggalkan Chandler yang memang tak pernah punya kharisma maksimal di film-film yang ia perankan sebagai lead.

Dalam hal ini, King of the Monsters memang harus diakui berhasil memuaskan dahaga para fans yang sejak dulu memimpikan polesan teknologi sinematik yang ada untuk mewujudkan itu. Walau porsi tampilnya tetap jadi dominasi Godzilla dan Ghidorah, bukan berarti Mothra dan Rodan (semua dimainkan dengan teknik hi-tech motion capture) sebagai monster-monster yang paling dikenal ini tertinggal tak penting. Pencapaian dalam level ‘monster mayhem’-nya tampil benar-benar masif dan menggelegar walau di atas visual CGI serba gelap ala Pacific Rim pertama yang mau tak mau membutuhkan perhatian ekstra, namun tetap membuat ekspektasi fansnya terbayar penuh bahkan lebih.

Lagi, Dougherty ternyata benar-benar membangun semuanya di atas respek penuh ke tone orisinal Jepangnya. Selagi digdaya teknik milik Hollywood benar-benar dimanfaatkan, ia tak pernah meninggalkan atmosfernya secara keseluruhan – paling mendekati source aslinya dari segala sisi dan detil-detil luar dalam karakter monster dari ketiga versi Hollywood yang ada. Gestur amukan hingga raungan para Titans ini benar-benar terasa nostalgik bahkan ke komposisi scoring Bear McCreary yang memasukkan main theme asli Akira Ikufube.

Kembali lagi, sejak dulu – kecuali mungkin versi Emmerich yang jauh lebih universal namun dianggap tak setia ke source orisinalnya, tak ubahnya film monster disaster biasa, film-film Godzilla memang tak pernah jadi santapan tepat untuk semua penonton kecuali fans yang paling tidak benar-benar menonton sebagian besar instalmen dan mengenal mitologi berikut tokoh-tokoh dalam semestanya. Apapun ceritanya, lewat King of the Monsters, Hollywood akhirnya benar-benar berhasil mengadaptasi Godzilla dengan racikan teknologi yang mereka miliki buat tampilan jauh lebih gigantis. Membayar semua adegan royal rumble para monster ini sebagai jawaban paling benar terhadap apa yang ingin dicari penonton dari film-film Godzilla, sekarang, boleh ditunggu pertarungan raksasa berikutnya lewat hint-hint yang bertaburan hingga ke mid-credits-nya, Godzilla vs. Kong di tahun depan. An ultimate monster mayhem with full respect to the original franchise! (dan)