Home » Dan at The Movies » MOVIE GUIDE: FILM LEBARAN 2019

MOVIE GUIDE: FILM LEBARAN 2019

MOVIE GUIDE: FILM LEBARAN 2019

Belum lama ini ada sejumlah akun film yang menanyakan ke saya, kapan sih ada istilah ‘Film Lebaran‘ di Indonesia? Kebanyakan menyangka baru paling tidak 10-12 tahun terakhir, tapi sebenarnya tidak begitu. Istilah film Lebaran di Indonesia sudah ada sejak dulu sekali, bahkan dari awal ‘80an di mana film-film Warkop atau drama musikal Rhoma Irama selalu dirilis di bioskop-bioskop kita di momen Hari Raya Idul Fitri. Bersama film-film mereka, importir film India di Indonesia juga selalu merilis 3-4 film-film Bollywood pilihan di waktu yang sama dengan iklan yang biasanya dipasang cukup besar di koran.

Yang membuat banyak orang-orang sekarang lupa, mungkin karena film Indonesia sempat mati suri di tahun ‘90an, begitu pula – film India juga sempat berhenti diimpor di awal ‘90an sampai akhirnya kembali tahun 1997 lewat Kuch Kuch Hota Hai. Sebutan blockbuster Indonesia Lebaran atau Film Lebaran, baru benar-benar mulai populer kembali di tahun 2007 dengan beberapa film yang dirilis bersamaan di momennya.

Tahun itu, ada Get Married – yang sampai sekarang masih jadi gold standard tontonan musimannya, bersama Pocong 3 dan Kuntilanak 2, diikuti Laskar Pelangi di tahun 2008 yang memecahkan rekor jumlah penonton saat itu, dirilis bersama Cinlok, Chika, Barbi3, Suami-Suami Takut Istri (sementara Kantata Takwa hanya dirilis terbatas). Dianggap menjadi slot favorit (sebelum akhirnya juga ke bulan Desember sebagai film-film penutup tahun) dengan jumlah film terus bertambah walaupun sebenarnya peringkat 1 tahunan hanya dihasilkan di tahun 2007, 2008, 2010 dan 2015 – 4 dari 11 tahun terakhir, untunglah setelah line up tahun lalu yang mengecewakan baik dari kualitas dan jumlah penonton; Jailangkung 2, Insyaallah Sah 2, Target, Kuntilanak dan Dimsum Martabak, tahun ini kelima film pilihan yang dirilis terlihat cukup menjanjikan. Begitu pula, sejak 2006 dengan Don versi Shah Rukh Khan, satu blockbuster lebaran dari Bollywood juga mulai kembali diimpor secara rutin hampir setiap tahunnya.

So, itu dia sekelumit tentang sejarah istilah ‘Film Lebaran’ di Indonesia, berikut adalah review singkat dari line up-nya di tahun ini. Masih didominasi sekuel dan berbagai bandrol unggulan masing-masing PH, ada Si Doel The Movie 2 dari Falcon Pictures, Kuntilanak 2 dari MVP, Single Part 2 dari Soraya, sementara Starvision melepas komedi debutan sutradara Bene Dion Rajagukguk, Ghost Writer yang diproduseri Ernest Prakasa dan dari Screenplay, mendobrak genre biasanya, ada action komedi Hit & Run yang memasang bintang aksi internasional Joe Taslim. Sedalam-dalamnya tinjauan kritik, seserius-seriusnya artikel ulasan, tetap saja, sebagian besar penonton memang mengakses tulisan-tulisan itu sebagai panduan. Panduan belanja, belanja tiket, tiket untuk menonton film. Namanya, movie guide.

SI DOEL THE MOVIE 2

Anggapan sebagian penonton atas perlu tidaknya franchise Si Doel-nya Rano Karno dihidupkan lagi ke layar lebar oleh Falcon Pictures sudah terjawab dengan perolehan Box Office lebih dari 1,6 juta penonton memasuki 20 hari masa rilisnya Agustus 2018 lalu. Sebagai brand dan subjek yang sangat dikenal penonton sinetron Indonesia berikut franchise bioskop jadul aslinya dulu, Si Doel terbukti masih sakti membawa penontonnya ke bioskop. Kisah cinta segitiga yang tak kunjung selesai antara Si Doel (Rano Karno), Sarah (Cornelia Agatha) dan Zaenab (Maudy Koesnaedi) itu kini berlanjut dengan hint pergantian generasi mulai disemat dalam Si Doel The Movie.

Sepulangnya Si Doel dan Mandra (Mandra) dari Belanda, masalahnya belum juga selesai apalagi ketika Sarah dan Dul (Rey Bong) memutuskan akan menetap di Jakarta, sementara Zaenab yang diam-diam mengetahui Doel bertemu dengan Sarah dan Dul di Belanda, tengah mengandung pula. Pertemuan kembali ketiganya tak terelakkan di tengah konflik yang kini semakin memuncak.

Ada alasannya mengapa soap opera-esque masih selalu bisa membawa perasaan penontonnya hingga terus diadopsi di manapun. Jelas tak ada salahnya menyemat subgenre trope seperti itu dalam pengembangan cerita yang memang belum mau diselesaikan oleh kreatornya selama caranya masih dilakukan dengan benar. Berpijak pada kekuatan nostalgia – kali ini melipatgandakan elemen film pertamanya lagi dengan memuat sejumlah excerpt sinetronnya, Rano Karno memang orang yang tepat untuk menghidupkan kembali sekaligus meneruskan dilema kisah Si Doel ini.

Tak peduli bagaimana konfliknya terus berputar di masalah serupa, akting Rano – Cornelia dan kali ini jagoannya adalah Maudy yang berakting cukup dalam sebagai Zaenab membuat kita sebagai penonton begitu peduli akan nasibnya, membuat Si Doel the Movie 2 mengalir dengan lancar dan terus membuat pemirsanya gregetan menanti pilihan hati para karakternya. Masih ada Mandra dan Suti Karno sebagai comic relief yang efektif, juga Aminah Cendrakasih sebagai Maknyak di salah satu adegan paling emosional di balik score orkestrasi Purwacaraka (kiprahnya di film kita termasuk jarang-jarang) yang mempertahankan kemegahan walau sekuel ini tak lagi perlu ke Belanda. Far from over, but also something we can’t say no to, dan harus diakui pula – memang tergarap dengan baik.

KUNTILANAK 2

Mitos baru remake Kuntilanak versi Jawa (bukan aslinya, Pontianak dari negara tetangga) ini kembali berlanjut dengan datangnya wanita misterius, Karmila (Karina Suwandi) yang mengaku sebagai ibu kandung Dinda (Sandrina Skornicki) yang baru saja lepas dari teror Kuntilanak. Walau dilarang induk semang Dinda dan yatim piatu rekan-rekannya, Tante Donna (Nena Rosier), Dinda nekat minta ditemani Julia (Susan Sameh; sepupu karakter yang diperankan Aurelie Moeremans di film pertama) dan Edwin (Maxime Bouttier) menyambangi rumah Karmila yang terletak di sebuah pondok di tengah hutan. And so, the new ride begins.

Bukanlah hal yang mudah mengeksekusi horor dengan elemen anak-anak sebagai lead-nya. Remake yang mungkin terinspirasi oleh It-nya Stephen King ini justru melangkah lebih jauh di atas kekuatan referensi sinematik untuk menciptakan horror ride dengan kids ensemble dari gambaran orphan pack di Shazam!, trope klise yang dikemas jadi full-homage di Cabin in the Woods bahkan sutradara Rizal Mantovani berani-beraninya menggelar homage scene ke Apocalypse Now-nya Francis Ford Coppola.

Bagusnya, selain skrip Alim Sudio yang menggunakan kekuatan referensi genre tadi, Rizal kali ini memang berhasil memanfaatkan set pieces dari tata artistik Timothy D. Setyanto dengan sangat baik dan menggunakannya sebagai fondasi kuat ke sebuah horror ride bak memasuki wahana rumah hantu yang seru, menyeramkan tapi juga sekaligus fun. Fast moving and never a dull moment, para lead ciliknya (Sandrina dan Andryan Bima – di antaranya), dengan akting mereka yang bagus juga berhasil mencuri perhatian lebih ketimbang pemeran remaja (Susan dan Maxime) yang biasanya lebih mendominasi demi kepentingan jualan.

Di atas semuanya, tentulah Karina Suwandi yang paling bersinar sebagai Karmila dan titular sinister villain-nya, satu yang paling iconic di khazanah film horor kita, dengan penampilan tak terduga walau sebelumnya sudah bermain tak jauh berbeda di Sebelum Iblis Menjemput. Ini film horor lokal yang bekerja sangat baik sebagai sebuah horror ride seru, seram sekaligus tak kehilangan unsur fun dari lead kanak-kanak ataupun tontonan keluarga secara simpel-simpel saja, dan itu jarang-jarang bisa berhasil bahkan di sejumlah film luar. Sekuel yang jauh melampaui pendahulunya, bahkan mungkin, buat sebagian fans genre-nya, source asli trilogi versi Julie Estelle dulu.

SINGLE PART 2

Stagnan dengan bahasan tipikal soal cinta dan jomblo, Raditya Dika sempat mencoba ranah baru untuk mencari kesegaran lewat Hangout dan Target dengan konsep referensi yang sekilas terdengar tebal namun sayangnya gagal. Single Part 2 membawa Dika kembali ke signature-nya melanjutkan filmnya yang sukses 4 tahun yang lalu. Ebi, karakternya yang kini menuju usia 30 tahun ternyata belum juga sukses pacaran dengan Angel (Annisa Rawles). Hubungan yang terkatung-katung itu masih bergerak ngalor-ngidul di tengah-tengah kelucuan dan persaingannya dengan Arya (Arif Muhammad, sosok di balik karakter Mak Beti yang terkenal di Youtube) dalam merebut hati Angel.

Tak ada yang terlalu spesial dari Single Part 2, semuanya adalah kelucuan khas Dika yang sudah pernah kita lihat sebelumnya. Hanya memang, ia terlihat lebih nyaman melakoni signaturenya di genre dan tema-tema sejenis ini. Paruh pertama yang terasa terseret-seret walaupun masih bisa meledakkan tawa semestinya bisa dipersingkat menuju paruh kedua yang memang jauh lebih mengalir lancar dan jauh lebih lucu, di mana karakter-karakter sampingannya juga lebih baik dalam tiap interaksi mereka, tanpa lagi tertinggal secara komunikatif di belakang Dika. Secuil momen dramatisnya pun tergelar dengan cukup baik.

Annisa Rawles adalah MVP sekuel ini, sosok yang mampu menahan kita menikmati guliran penceritaannya sekaligus meyakinkan kita kalau seharusnya ia ada di lebih banyak film Indonesia. However, ini tetap jauh lebih baik dibandingkan Hangout dan Target.

HIT & RUN

Mendobrak tipikalisme genre film lebaran yang biasanya melulu hanya diisi drama dan komedi – sebelum horor juga akhirnya ikut masuk, Hit & Run datang dengan genre action comedy. Bagusnya, penyegaran genre ini juga bukan film aksi atau komedi yang digarap sembarangan. Menggamit Joe Taslim yang sekarang sudah berstatus bintang aksi internasional bersama Jefri Nichol dalam peran yang sangat tak biasa, bukan hanya genrenya sebagai film lebaran yang jarang. Action comedy-pun, cukup bisa dicatat di Indonesia hanya beberapa kali saja dibuat produser, dan kenyataannya – tak seperti film-film Hollywood, Korea hingga ikon yang melekat ke film-film Jackie Chan dulu, rata-rata semuanya gagal.

Dikenal sebagai polisi seleb dari reality show ala Cops atau 86, Tegar Saputra (Joe Taslim) sebenarnya menyimpan motivasi untuk meringkus Coki (Yayan Ruhian), gembong narkoba yang kabur dari penjara. Mau tak mau, ia harus bekerja dengan seorang tukang tipu, Lio (Chandra Liow) yang lantas juga membawanya ke pemuda cemen, Jefri (Jefri Nichol) dan seorang diva dangdut Meisa (Tatjana Saphira).

Banyak yang tak menyadari bahwa genre action dan comedy merupakan dua genre yang paling susah untuk dibuat. Selagi action perlu effort lebih serta shooting days tak sebentar, juga soal koreografi, komedi pun memerlukan skrip yang lucu selain like/dislike terhadap gaya komedi dari sosok yang dijadikan subjeknya. Lewat skrip yang ditulis oleh Upi dan penyutradaraan Ody C. Harahap yang tampaknya sudah banyak belajar setelah kegagalannya menggarap gabungan dua genre ini di Skakmat, untungnya, Hit & Run berhasil memadukan aksi dan komedi sebagai sebuah buddy movie tanpa harus menggerus salah satunya. Karakterisasi yang tak biasa sudah menjadi fondasi kuat untuk mengantarkan pembagian blend-nya ke arah yang benar.

Ada Joe yang tak melulu mesti beraksi dalam adegan baku hantam, cukup baik bermain komedi meski mungkin lafal dialognya perlu sedikit lebih dibenahi, sementara bagian comic reliefnya juga cukup hidup lewat usaha fan service terhadap Chandra Liow dan transformasi Jefri Nichol ke luar dari zona nyaman film-film romansa remajanya secara cukup mengejutkan. Tatjana Saphira sebagai damsel in distress yang sah-sah saja diperlukan di film-film aksi komedi pun tampil dengan menarik di balik kemampuannya bernyanyi yang sudah kita lihat di Sweet 20, sementara Yayan Ruhian bersama saudara kandung Joe di luar film, Peter Taslim, tak mesti dipaksa melucu untuk porsi villain yang disiapkan bertarung mati-matian 2 lawan 1 dengan Joe di finale-nya, tapi bukan berarti menenggelamkan karakter penting lainnya. Sematan kultur Palembang, tempat asal Joe lewat sebuah adegan lucu yang melibatkan cameo Tanta Ginting pun luar biasa segarnya. Kalaupun ada satu kekurangan yang harus dikritik, semestinya sematan dramatik yang dihadirkan dan punya relevansi terhadap motivasi si tokoh utama, harusnya bisa jauh lebih menyentuh, begitu pula soal subplot Lio dan ibunya yang diperankan Dayu Wijanto.

Balik lagi, apa sebenarnya persyaratan utama masing-masing genre untuk bisa jadi final product yang bagus? Action jelas harus seru, komedi harus lucu, dan Hit & Run jelas sudah memenuhi kedua syarat itu. Ini salah satu entry film lebaran paling menyegarkan dalam beberapa tahun terakhir, dan mestinya ada paling tidak satu genre yang berbeda nantinya dalam line up film lebaran tahun-tahun berikutnya.

GHOST WRITER

Datang dari ide salah satu peserta di kelas skenario Ernest Prakasa (di sini menjabat produser sekaligus ikut main sebagai supporting cast), ini adalah film horor komedi yang unik. Bukan hanya karena premis di balik judul Ghost Writer yang literally Ghost Writer, namun yang paling membuatnya unik adalah bagaimana Bene Dion Rajagukguk, talenta komedi yang selama ini kita lihat ikut bermain dan jadi konsultan komedi di banyak film komedi, dalam debutnya ternyata bisa mengembangkan plot sekaligus menyutradarai fusi tiga genre. Yang kita lihat di trailer – hanyalah horor dan komedi, yang bukan lagi hal baru di film Indonesia. Tapi isinya, nanti dulu.

Pindah ke tempat baru bersama adiknya (Endy Arfian), penulis novel Naya (Tatjana Saphira) secara tak sengaja menemukan sebuah buku harian milik Galih (Ge Pamungkas) yang berisi sebuah kisah kelam dan kemudian dijadikannya materi novel setelah beberapa kali ditolak penerbit. Tak disangka, kemudian arwah Galih muncul ke hadapan Naya untuk menyatakan ketidaksetujuannya. Alih-alih membatalkan niatnya, Naya justru mengajak Galih bekerjasama. Seperti disebutkan di sinopsis resminya, sebuah kerjassama beda alam pun dimulai.

Debut penulisan dan penyutradaraan Bene mungkin belum lagi sebaik Ernest yang di sini dikredit sebagai produser dan seperti komedian-komedian luar, misalnya Adam Sandler, sistem saling dukung dan dorong di antara sesama profesi komedian ini memang terasa sangat kuat. Memiliki sedikit masalah di tampilan filmis keseluruhan serta sisi komedi yang masih dipenuhi hit & miss – kalau hit lucu sekali seeperti adegan dialog tulisan di dinding, sementara kalau miss ya lewat begitu saja, sementara horornya yang dipertahankan menyeramkan, tak sampai jatuh menjadi kelewat banyolan sebenarnya jadi elemen yang tergarap paling baik.

Yang membuatnya unik adalah sematan dramatisnya yang benar-benar tampil ke permukaan, membuat keseluruhan plotnya menjadi sangat relevan dan menyentuh di balik esensi permintaan maaf yang sangat masuk ke momen lebaran, dan ini bisa disatukan oleh Bene secara garis besar, kuat. Ini jelas bukan masalah gampang. Horor dengan komedi, biasa. Horor dengan sematan drama pun sekarang semakin banyak terutama setelah film Thailand, Laddaland. Tapi yang dilakukan Bene di sini secara lebih lagi adalah penggabungan tiga genre yang tersimpan baik hingga kita menyaksikan filmnya.

Dalam departemen akting, Tatjana Saphira yang tahun ini menggawangi dua film bersama Hit & Run bermain bagus namun sayang chemistry-nya baik dengan Ge (yang juga masih sering lemah sekali di momen-momen dramatik) dan Deva Mahenra terasa belum maksimal. Masih ada selipan duet komik yang lucu antara Muhadkly Acho (jadi konsultan komedi di sini) dan Arie Keriting, Endy Arfian bermain cukup baik, juga Dayu Wijanto hingga aktor senior Slamet Raharjo. Satu yang perlu dicatat adalah Asmara Abigail yang bermain pas sekali dengan karakternya, dan jadi salah satu faktor mengapa bangunan horor dalam Ghost Writer bisa tampil sangat baik.

Lagi-lagi, dalam masalah wrapping ending yang masih sering sekali jadi flaws-factor di film kita, Ghost Writer paling tidak tampil cukup solid membuat kita bisa melupakan sejumlah kekurangan yang ada. Artinya bagus, dan karya Bene selanjutnya, jelas sangat layak untuk ditunggu.

BHARAT

Berfokus ke remake dari film-film luar India setelah Tubelight (dari film AS Little Boy) dan The Notebook (dari film Thailand Teacher’s Diary), Salman Khan lewat PH yang didirikannya tahun 2014, SKF (Salman Khan Films), kini merilis Bharat yang merupakan remake dari film Korea tahun 2014, Ode to My Father. Sama seperti Ode, Bharat juga mengisahkan sejarah hidup titular characternya (diperankan Salman Khan) yang bergerak paralel bersama guliran sejarah negara masing-masing di balik esensi plot soal cinta, keluarga dan keteguhan janji.

Walaupun sebuah remake, keputusan sutradara-penulis Ali Abbas Zafar (Mere Brother Ki Dulhan, Gunday) mengadaptasi Ode memang sangat bisa dimengerti. Kisah yang digelar Ode secara senada dengan ide ala Forrest Gump terhadap sejarah Amerika itu memang sangat memungkinkan ia menyemat kultur historis India untuk membuat dua produk itu menjadi berbeda.

Bharat pun terentang dari sejarah India pasca kemerdekaannya, era 50an ke 2010, di mana Bharat kecil terpisah dengan ayah (Jackie Shroff) dan adik perempuan kecilnya, Guddiya di tengah pemisahan India tahun 1947. Pindah ke Delhi bersama ibu dan dua saudaranya, mereka mendirikan toko kelontong dan bersahabat dengan Vijayati Khan (Sunil Grover), yang juga terpisah dengan keluarganya. Kisah ini bergerak panjang di tengah sepak terjang Bharat mempertahankan pekerjaan, kehidupan sekaligus kisah cintanya dengan majikan wanitanya, Kumud Raina (Katrina Kaif), sekaligus usahanya yang tak pernah berhenti untuk menemukan kembali sang ayah dan Guddiya di balik keteguhan janji seorang anak terhadap ayahnya, meski zaman sudah tergerus dengan perubahan dan modernisasi.

Ide asal sourcenya yang memang tak mudah untuk direalisasikan sebagai sebuah produk hiburan itu, untungnya tak digarap dengan main-main. Benar, bahwa Bharat memerlukan sedikit pengetahuan dan pemahaman lebih dari sejarah India dari politik, ekonomi yang menyenggol sejarah dunia hingga kultur popnya – termasuk Amitabh Bachchan, tapi pengarahan Zafar bersama akting solid yang sangat tak biasa dari Salman Khan, Katrina Kaif plus Tabu yang tampil singkat namun luar biasa memikat dan yang paling mencuri perhatian, stand up comedian Sunil Grover sebagai Vijayati, tetap bisa menahannya untuk tetap menarik buat diikuti. Beberapa perubahan yang mereka lakukan terhadap guliran plot Ode di luar gambaran sejarah, salah satunya soal women’s empowerment lewat peran yang dibawakan Kaif, juga membuat Bharat mampu tampil sebagai remake yang fresh ketimbang sekadar mengikuti sama sekali tanpa kreativitas.

Tak heran kalau resepsinya di India bisa mengobati kekecewaan fans Salman Khan dalam Tubelight dan memecahkan rekor perolehan BO pembuka sebagai film yang dirilis saat Lebaran juga, sementara untuk pemirsa luar India, selain bangunan drama dan akting powerhouse dari para pendukungnya tadi, Bharat adalah sebuah sajian penting untuk mengenal lebih dalam kultur dan sejarah India tanpa harus kehilangan sentuhannya sebagai hiburan penuh isi dan makna. Bagi fans Salman Khan sendiri, Salman di film-film aksi sudah biasa, begitu pula di film-film romansa. Setelah keberhasilan Bajrangi Bhaijaan dan kegagalan Tubelight, Bharat akhirnya bisa benar-benar menunjukkan eskalasi akting Salman menjajal peran-peran dramatis yang jauh lebih serius. Bagus! (dan)

VERDICT:

Si Doel the Movie 2                (3,5/5)

Kuntilanak 2                           (3,5/5)

Single Part 2                            (3/5)

Hit & Run                               (3,5/5)

Ghost Writer                           (3,5/5)

Bharat                                     (4/5)