DUA GARIS BIRU: A TIMELY-RELEVANT REMINDER OF THE CONSEQUENCES OF UNINTENDED PREGNANCY AMONG ADOLESCENTS
Sutradara: Gina S. Noer
Produksi: Starvision Plus, Wahana Kreator, 2019

Kenapa masalah hamil di luar nikah sering muncul di film kita? Melintas zaman dan era, walau sekarang sudah jauh berkurang dibandingkan sinema Indonesia ’70 ke ‘80an, ia masih terus jadi masalah yang memang dianggap sangat dekat dengan masyarakat kita atas budaya-budaya tabu terhadap edukasi seksual dan sejenisnya. Salah? Mungkin tidak. Hanya saja, banyak yang memanfaatkannya ke ranah eksploitatif. Seringkali berlindung di balik alasan kompas moral, penggunaannya juga kerap ditujukan untuk dramatisasi berlebihan, menempatkan pelakunya lantas nekat melakukan aborsi, lalu dengan macam-macam alasan yang tak sepenuhnya punya akurasi medis pula, mati mengenaskan.
Terlebih ke isu usia muda, remaja dan SMA biasanya, ini memang seolah sudah jadi pakem di film-film kita. Sebagian bahkan menggunakannya di genre horor, atau ada pula yang terlepas jadi seperti iklan layanan masyarakat. Namun di antaranya, ada juga yang melakukannya dengan benar dan lantas jadi tonggak terhadap temanya. Ada Buah Terlarang dari sutradara Edward Pesta Sirait di tahun 1979, Akibat Buah Terlarang dari Frank Rorimpandey di tahun 1984 (keduanya dari Garuda Film), lalu Pernikahan Dini karya Yazman Yazid di tahun 1987, dan meski mungkin agak bercanda, MBA (2008) dari Winaldha E. Melalatoa. Formulanya kurang lebih sama, menjual pasangan bintang muda potensial yang tengah atau dipersiapkan naik daun, tapi judul-judul ini memuat isu-isu relevan sesuai zamannya. Bukan eksploitatif.
Kini, Dua Garis Biru datang dari penulis Ginatri/Gina S. Noer sebagai sebuah ‘labor of love’ yang langsung jadi pijakan debutnya sebagai sutradara. Disiapkan selama 9 tahun, Dua Garis Biru yang sempat memicu kontroversi menjelang perilisannya ini memasang aktris muda Zara JKT48 setelah debut cemerlangnya di Keluarga Cemara bersama Angga Yunanda yang sebelumnya bermain di sejumlah film horor dengan ansambel remaja. Di atas nama Gina dan kredibilitasnya, ini jelas bukan film soal hamil muda akibat ‘kecelakaan’ biasanya.
Pasangan kekasih SMU berusia 17 tahun; Dara (Zara JKT48) dan Bima (Angga Yunanda) tak sengaja melanggar batas dan melakukan hubungan seksual hingga Dara hamil. Tanpa menyadari konsekuensinya, pilihan dan tanggung jawab mereka diuji saat kedua keluarga, ayah-ibu Dara (Dwi Sasono – Lulu Tobing) dan ayah-ibu Bima (Arswendy Bening Swara – Cut Mini) mengetahui hal ini.
Premisnya boleh jadi biasa, tapi penelusuran Gina yang menulis sendiri skripnya dalam melirik kembali masalah ini, boleh dibilang sangat kaya. Membidik aspek-aspek sekitar konflik itu secara relevan, Gina bukan saja hanya bicara soal benturan konsekuensi, tapi juga kelas sosial yang sengaja digelarnya secara bertolak belakang. Selagi Dara datang dari keluarga kelas atas, Bima kebalikannya, dan Gina sudah menyiapkan elemen-elemen visual untuk menggambarkan jenjang sekaligus senjang antar kelas dari set yang ia pilih sebagai sutradara.
Di tengah-tengahnya, ikut pula menyembul informasi lain seputar kultur remaja saat ini hingga selipan edukasi medis yang untungnya sekali ini mengalir tanpa cacat akurasi seperti yang biasa terjadi di banyak film kita. Walau soal salah satu resiko terberat yang hadir menjelang pengujung film punya potensi generalisasi dan salah persepsi, tapi paling tidak punya relevansi di atas salah satu elemen terbaik pengisahannya yang tak melupakan hati di tengah hubungan dan interaksi keluarga.
Mengalun perlahan dan terasa sangat hati-hati – kadang seperti sinema Korsel, Dua Garis Biru punya cukup banyak adegan dramatis yang terjaga tanpa jatuh ke tampilan melodrama yang berlebih. Titik-titik ledak emosinya rata-rata tertata dengan sangat baik bahkan dengan berani menggelar long take di adegan jagoan yang berlokasi di UKS. Di bagian lain, lihat pula cara Gina menyelipkan mise n scene dengan desain bagus terhadap simbol-simbol, alegori dan metafora yang ia tampilkan termasuk ke judulnya sendiri, bersama sinematografi Padri Nadeak , tata artistik Oscart Firdaus dan editing Aline Jusria yang sangat baik. Bahkan ketika sebuah adegan dengan dialog yang sebenarnya berpotensi jatuh ke pola sangat sinetron, ia bisa mendorong dua aktornya, Cut Mini dan Angga memainkannya dengan gestur dan ekspresi sempurna untuk menggetarkan hati pemirsanya di balik esensi hubungan ibu dan anak. Pilihan soundtrack pengiringnya, berikut musik dari Andhika Triyadi pun sama cermatnya. Selain itu, masih ada juga protes-protes soal diskriminasi yang sering merugikan perempuan dalam banyak masalah sama, begitu juga isu pengasuhan yang lebih populer disebut parenting terkait ekses konflik-konfliknya, dan semuanya dikaitkan Gina secara cukup cermat.
Namun bukan berarti pilihan-pilihan ini lantas tak punya resiko, terutama terhadap konsistensi dari keseluruhan bangunan karakter dan pengembangan ceritanya. Dengan desain sebagus itu, di tengah usahanya memanusiawikan motif-motif dan pilihan karakternya, Dua Garis Biru sayangnya masih cukup sering terbentur ke persepsi-persepsi stereotip antara si kaya dan si miskin berikut aspek-aspek yang sebenarnya tak selamanya juga terpatri dalam pola-pola serupa seperti si miskin punya hati, si kaya tidak. Si miskin masih ingat iman, si kaya tidak. Si miskin punya harga diri secara internal, si kaya lebih mempersoalkan kehormatan di mata orang lain. Pengamanan di rumah si kaya selalu longgar karena penghuninya sibuk dengan urusan masing-masing, dan banyak lagi persepsi-persepsi sejenis.
Ada realitas yang tergambar, memang, namun terkadang – entah karena usaha memadatkan durasi, penanaman informasi dalam latar belakang dan bangunan karakter itu jadi terasa kurang cukup sehingga menempatkan beberapa karakternya, terutama ibu Dara yang diperankan Lulu Tobing (setelah lama tak bermain film) – yang sepertinya hendak digambarkan punya benang merah kesalahan masa lalu sama atau paling tidak kesulitan membagi mimpinya dengan kelahiran Dara, jadi tak konsisten.
Begitu pula dengan kehadiran karakter Dewi, kakak Bima (diperankan Rachel Amanda) – walau yang satu ini masih diberi adegan cukup penting, Puput, adik Dara (diperankan Maisha Kanna) dan teman-teman Dara sebagai karakter-karakter sampingan pada akhirnya tak lebih dari sekadar tempelan subplot yang sebenarnya tak ada pun tak mengapa. Belum lagi putusan eksekusi meng-‘hitam’-kan tampilan Bima atas status sosial ekonominya, yang bukan saja terasa agak berlebih namun lagi-lagi membiarkannya cenderung jadi sangat stereotipikal.
Namun begitu, resiko-resiko inkonsistensi ini bukan lantas merusak keseluruhan bangunan Dua Garis Biru sebagai sebuah karya, apalagi sebuah debut penyutradaraan, yang jauh lebih dari sekadar baik. Akting ansambel pendukungnya pun rata-rata sangat layak diperhitungkan. Zara mungkin masih terlihat lemah berekspresi di beberapa adegan kunci buat benar-benar bisa meyakinkan kita antara dilema dan keinginannya mengejar mimpi, tapi Angga, di sini benar-benar bertransformasi menjadi aktor muda dengan potensi luar biasa. Dwi Sasono, Arswendy dan Lulu Tobing semua bermain bagus walau berhadapan dengan inkonsistensi bangunan karakter tadi. Lihat interaksi akting mereka semua di adegan UKS yang luar biasa dan mungkin jadi salah satu adegan terbaik dalam film Indonesia yang akan terus diingat, namun Cut Mini-lah yang benar-benar merupakan pentolan terbaik dalam ansambelnya.
Sama seperti mengapa segelintir judul-judul tadi jadi tonggak dalam tema yang tak pernah mati di film kita ketimbang hanya mau berkiprah di tengah pola-pola film berpotensi laku dan disambut pangsanya, Dua Garis Biru harus diakui berhasil menyentuh persyaratan utama kenapa ia masih layak dimunculkan dalam lintas generasi penontonnya. Bahwa Gina, sebagai kreatornya, memang berhasil menampilkan relevansi yang ada di tengah beda lapis pandangan masyarakat kita sekarang. Tak tepat mungkin menyebutnya sebagai sebuah usaha edukasi (seksual), bukan pula menakut-nakuti bak sebuah kompas moral, tapi jauh lebih dari itu, Dua Garis Biru adalah pengingat terhadap konsekuensi dari permasalahan kontroversial serta tak kunjung usai yang ia tampilkan. Nanti dulu soal potensi memantik diskusi dari pilihan Gina menutup ceritanya, namun kala sebuah karya bisa membuat kita melihat lebih dekat ke anak, adik, kakak, teman, keluarga atau kerabat lain di sekitar kita, bahkan mungkin berkaca ke diri sendiri demi keinginan baik untuk tak terjebak ke masalah serupa, itu artinya sudah lebih dari sekadar bagus. (dan)