
Dikenal lewat Tabula Rasa, full feature penyutradaraan pertamanya, Adriyanto Dewo memilih ranah karir yang mungkin sedikit berbeda dengan sutradara lainnya. Low profile, namun punya visi cukup jelas, Adri, panggilannya, lebih memilih kejujuran penyampaian sebagai seorang storyteller. Beberapa kali berbincang selama penyelenggaraan IFFAM (International Film Festival & Awards Macao) 2019, ia bisa jadi tak begitu tertarik terjun ke ranah mainstream, tapi juga secara personal tak menyukai karya-karya arthouse yang pretensius atau showy. Itu juga mungkin yang membuat Mudik, karya terbarunya, perlu waktu cukup lama setelah Tabula Rasa, dari mengumpulkan bujet yang jelas bukan masalah mudah, hingga akhirnya bisa terselesaikan sebagai film produksi perdana Relate Films, PH-nya sendiri yang dikelola oleh real life partnernya, sekaligus produser Mudik, Perlita Desiani dan kemudian bekerjasama dengan Lifelike Pictures yang juga dulunya memproduksi Tabula Rasa untuk distribusinya, baik ke festival maupun untuk penayangannya di layar lebar tanah air tahun depan.
Menjadi salah satu kontender untuk segmen kompetisi internasional di IFFAM tahun ini, Mudik yang mendapat slot world premiere mendapat sambutan sangat baik dari audiens, media, kritik serta dewan juri internasional yang salah satunya dijabat Dian Sastrowardoyo. Hadir bersama Perlita serta dua pemeran utamanya, Putri Ayudya dan Ibnu Jamil, plus Asmara Abigail yang hadir untuk menerima penghargaan khusus Asian Stars Up Next Award dari IFFAM dan Variety, Adri bersama timnya menyempatkan sesi wawancara dengan kami dan sejumlah media Indonesia lain yang hadir di Macau, yang berlangsung akrab dan mungkin lebih dekat ke bincang-bincang seru soal karir masing-masing, dan tentunya seputar proses pembuatan Mudik.
Mudik juga merupakan feature pertama Adri yang ditulisnya sendiri, dan ia mengaku selalu mengutamakan bentukan karakter terlebih dahulu saat menulis sebuah karya, baru dari sana backstory masing-masing tercipta sebagai sebuah plot yang utuh. Tapi di atas semuanya, Adri, lagi-lagi memang lebih mengutamakan kejujuran penyampaian yang ia harapkan akan selalu ada di setiap karyanya. “Tugas saya sebagai sutradara adalah menyampaikan cerita yang ingin saya sampaikan, tentang karakter-karakter yang ada di dalamnya”, akunya.
Berikut adalah kutipan bincang-bincang bersama tim Mudik di hari ke-4 festivalnya.

Selain segmen dalam omnibus Sanubari Jakarta dan Hi5teria, lalu juga di Lima, Mudik adalah full-feature kedua Anda yang mungkin lebih personal dari sisi ide cerita. Bisa ceritakan latar belakangnya?
Adriyanto Dewo: Ide soal Mudik sebenarnya sudah saya pikirkan sejak lama, bahkan sebelum Tabula Rasa walaupun ini masih sebatas ide saja. Setelah Tabula Rasa, saya ingin menulis sendiri film kedua saya. Idenya sendiri datang karena setiap lebaran, kalau kita menonton televisi, kita melihat banyak berita-berita soal mudik namun yang menarik adalah data-data soal kecelakaan selama mudik yang masih selalu terjadi tiap tahun, dan dalam 5 tahun terakhir kondisinya berubah sejak ada perbaikan infrastruktur. Setahun setelah Tabula Rasa, saya mulai mempelajari dan melakukan riset soal itu karena saya sendiri sebenarnya asli Jakarta, jadi tidak pernah mudik (tertawa), tapi saat kecil saya tinggal di daerah Kali Malang dan biasanya jalanan ini selalu dilalui pemudik yang melewati jalan raya Bogor di tengah kemacetan dengan berbagai karakter pemudik; ada yang naik motor membawa anak dan sebagainya. Jadi memang mungkin ada memori masa kecil yang menempel – bersama pertanyaan-pertanyaan seperti misalnya, kenapa ya orang-orang ini mau mempertaruhkan keselamatan mereka di tengah resiko-resiko kecelakaan setiap tahunnya untuk mudik.
Oke, menarik, jadi ide Mudik datangnya justru dari soal kecelakaan saat mudik. Soal plotnya, selama proses penulisan apakah dari awal memang Anda mau bercerita soal keluarga dengan karakter-karakter yang kita lihat di film?
Adriyanto Dewo: Begini. Karakter Putri dan Ibnu dari awal memang sudah ada dalam proses pemikiran plotnya. Tapi awalnya, saya sebenarnya mau membuat 3 jalur cerita yang saling bersinggungan seperti Amores Perros, hanya saja dalam proses penulisannya ada sejumlah perubahan dan seperti yang kita lihat, plotnya menyempit ke beberapa karakter ini. Tahun 2015 kita mengikuti Script Room, seperti sebuah workshop penulisan skrip setelah terpilih dari 10 submisi yang diadakan British Council, lantas terpilih lagi menjadi 3 besar untuk diberangkatkan ke BFI. Di sana kita bertemu dengan beberapa produser, sales agent dan berdialog tentang skripnya.
Bagaimana dengan proses submisi ke IFFAM?
Perlita Desiani: Rencana untuk submisinya muncul setelah kita bekerjasama dengan Lifelike Pictures sebagai distributor. Muncullah pertanyaan seperti “film ini mau kita kemanain ya?”, dan Mbak Lala (Timothy) lalu mencoba memasukkan Mudik ke beberapa festival, salah satunya termasuk IFFAM, kemudian di IFFAM Mudik terpilih ke dalam segmen kompetisi. Senang juga karena hanya ada satu film Indonesia di segmen ini.
Adriyanto Dewo: Benar, dalam rencana marketing dan promosinya kita memang merencanakan membawa Mudik ke festival dulu untuk mendapat buzz pada saat dipasarkan. Filmnya akan tayang tahun depan namun tanggalnya sampai saat ini masih tentatif.
Karena judul yang dipilih adalah Mudik dan memang berlatarbelakang Lebaran, apakah film ini ditujukan untuk momen tertentu (Lebaran)?
Adriyanto Dewo: Nggak, kita sebenarnya tidak merencanakan Mudik sebagai film liburan buat Lebaran, tetapi Mudik di sini hanyalah tema soal budaya yang kita angkat sebagai latar belakang ceritanya.

Putri (Ayudya) menurut saya adalah lebih ke seorang character actor, aktor yang selalu mementingkan karakter dan biasanya membawakannya dengan kedekatan dan lebih membumi dalam substansinya, dan tak keberatan juga dipasang sebagai aktor pendukung. Apakah passion-nya memang ada di sana tanpa membedakan itu, dan faktor yang paling penting buat mengambil sebuah peran?
Putri Ayudya: Aku selalu merasa bahwa aku berangkat dari peran supporting, dan menurutku tidak semua orang bisa memerankan karakter pendukung. Supporting jauh lebih sulit dari lead karena supporting tugasnya adalah memberi support, dalam arti bahwa ada batasan yang mesti dijaga tanpa overshadowing peran lainnya. Sebagai supporting kita mesti tahu tempat dan tahu waktu, juga tahu porsi. Ini justru punya tantangan tersendiri. Aku juga berangkat dari teater dan sebelum berakting mengerjakan semua departemen. Makeup, lighting, kostum, set, bahkan menyapu gedung, bikin kopi, kecuali musik. Dalam film, bedanya ada ruang di mana kita harus lebih fokus terhadap tugas kita. Lama-lama aku sadar di mana pun mediumnya, dari teater, film sampai presenting ataupun iklan, adalah seni peran yang paling aku senangi. Jadi yang paling penting rasanya adalah karakternya seperti apa, tanpa masalah jadi lead atau supporting, hal terpenting adalah penonton bisa ingat ke karakter kita ketimbang siapa pemerannya. Karakter boleh saja sama, seperti misalnya saya berperan sebagai ibu di Kafir, ibu di Love for Sale 2…
…Dan sebagai ibu juga di Ratu Ilmu Hitam…
Putri Ayudya: (tertawa) Nah iya. Karakter boleh saja sama, sama-sama ibu, tapi cara kita mendalaminya yang berbeda. Dan mungkin juga siapa yang manggil (tertawa). Walaupun begitu, sebagai kerja paling kolektif, kita kadang tidak bisa juga mencegah bila penonton menangkap karakter kita secara beda dengan apa yang kita harapkan. Buatku, sekarang ini akting sudah menjadi seperti jalan hidup, living is for acting and acting is for living, dan sebaik-baiknya orang adalah yang bisa menjadi right man on the right time and the right place.
Kembali ke Adriyanto Dewo. Anda memilih lokasi syuting di Gumuk Pasir Parangkusumo Jogja. Seperti apa tantangannya, apalagi katanya di set asli ketika masyarakat setempat memang sedang melakukan Solat Ied?
Perlita Desiani: Banyak banget, karena kita memang mau memakai lokasi set yang real untuk feel dan mood-nya, sampai benar-benar bikin merinding.
Adriyanto Dewo: Dan kita hanya punya satu kesempatan, hanya satu take dalam beberapa menit karena momennya tidak mungkin diulang.
Ibnu Jamil: Saat itu juga kita baru tahu kalau ada tradisi Solat Ied di Gumuk Pasir.
Putri Ayudya: Iya, tempat yang awalnya kosong seketika dipenuhi ribuan orang, begitu kelar juga langsung bubar.
Adriyanto Dewo: Saat pertama kali kita riset, tempatnya masih lengang, kemudian saat mau syuting, saat melakukan recce, sudah cukup banyak peringatan hati-hati karena ada tower yang sudah dihias untuk kepentingan foto…
Apakah Gumuk Pasir memang pilihan pertama lokasinya?
Adriyanto Dewo: Sewaktu riset termasuk dari internet, dan pertama kali ke sana, ngobrol-ngobrol juga dengan orang setempat, kita sudah tertarik karena mereka memang bilang saat Lebaran, titik ini adalah titik orang-orang di sekitarnya berkumpul untuk melaksanakan Solat. Ini juga yang membuat kita tertarik meskipun tantangannya banyak karena event-nya jelas tidak bisa diulang dan semua berganti begitu cepat.

Ibnu (Jamil) sering disebut sebagai aktor potensial yang sayangnya belum tereksplorasi untuk peran-peran yang lebih menantang ataupun sebagai lead. Apakah ada passion atau rencana buat mengejar peran-peran lebih atau memang sebagai aktor yang menyenangi akting, cukup puas seperti yang tadi dikatakan Putri; sebagai supporting yang punya tantangan berbeda?
Ibnu Jamil: Jujur, ini kesempatan pertama dapat peran sebesar ini dari Mas Adri. Saat syuting, saya juga masih syuting serial Ok-Jek, kalau tidak salah. Nah ini kan karakternya berbeda banget, satu lebih ke situasi komedi, sementara Mudik ini butuh keseriusan berbeda. Terus terang, dari dulu pengen banget dapat peran di film-film seperti ini. Setelah mengerjakan beberapa film, gua selalu bertanya kapan ya, gua bisa dapat film-film yang dekat ke real life, yang dekat sama permasalahan orang sehari-hari. Nah pas casting director Mudik datang menawarkan dua proyek, satu horor dan satunya drama, gua cobain dan lalu dikabarin kalau oke. Lantas kita reading dan workshop beberapa kali, ketemu Mas Adri, Putri dan yang lainnya, kemudian juga bertukar referensi film lain untuk semakin kenal dengan karakternya. Ini memang film pertama saya sebagai lead, pertama juga di genre drama, jadi semuanya memang serba pertama buat saya.
Pertama masuk festival juga…
Ibnu Jamil: Pertama masuk festival juga! (tertawa) Akhirnya film saya bisa ada gambar padi dan kapasnya (tertawa). Ya begitulah, selama ini sebenarnya pengen cari karya, berakting serius, tapi memang tawaran yang kerap datang seringnya horor atau komedi.
Semoga bisa jadi the next Reza Rahadian…
Ibnu Jamil: Amiiin (tertawa)
Jadi seperti apa tantangannya pertama kali berakting serius, di porsi lead, sebagai Firman dalam Mudik ini?
Ibnu Jamil: Saya banyak belajar dari Mas Adri saat lagi ngedirect. Ternyata menjadi biasa itu susah. Saat kita berada di depan kamera, jangankan saat main film atau memerankan karakter tertentu. Pertama kali saya jadi presenter sepak bola pun, semua pengetahuan yang ada di kepala kita susah banget bisa ke luar. Saya merasa saya kaku, dan perlu waktu untuk menguasai diri untuk lama-lama bisa terbiasa. Saat syuting, dalam beberapa take, Mas Adri selalu mencoba mentransfer energi itu, seperti plan A, plan B, plan C, membuat saya semakin mengerti; menjadi biasa di depan kamera dengan segala kejujuran rasa yang dihidangkan oleh setiap scene dalam Mudik, itu tantangannya. Bagaimana caranya mentransfer energi untuk menjadi sebuah frame yang sangat menarik dan dibutuhkan sutradara. Dan Mas Adri selalu memberikan kebebasan untuk menafsirkan karakternya, seperti apa eksplorasinya atau mau pakai referensi mana, semua diserahkan secara bebas, tapi kita tetap dibimbing. Jadi ya susah, ada. Nikmat, sangat menikmati. Untung ada kemudahan dari kerjasama tim yang sangat baik sehingga prosesnya bisa lancar. Mendapat bantuan dari banyak pihak akan sangat memudahkan.
Kemarin juga sempat chatting sama Dian Sastro yang jadi salah satu juri, terus terang deg-degan karena baru aja syuting bareng Dian. Jujur saya belum nonton Mudik sama sekali, baru nanti malam, tapi pesan Dian, sering-sering main film serius dan saya langsung mikir ada makna ganda, apa saya main bagus atau disuruh belajar lagi buat main di film drama (tertawa).
Oke yang terakhir, saya ingin menanyakan soal keputusan karakter mana yang mengenakan hijab, dalam hal ini karakter Santi yang diperankan oleh Asmara Abigail, sementara Aida (Putri Ayudya) tidak. Seperti apa ini prosesnya, dan apakah ada perdebatan tertentu soal karakter mana yang di-plot untuk menggunakannya, serta atas alasan apa?
Adriyanto Dewo: Dalam skrip, sebenarnya tidak ada penjelasan karakter secara detil. Kita hanya ngobrol setelah memilih karakter, karakter ini ingin kita tampilkan seperti apa. Saat itu saya ngobrol dengan Abi (Asmara), mungkin arahnya lebih pada gambaran realita yang ada sekarang, dan saya rasa masuk akal, lalu kita sama-sama memutuskan karakter Santi untuk memakai hijab. (Daniel Irawan)