Home » Interview » “FILM ADALAH MEDIUM TAK BERBATAS” – WAWANCARA EKSKLUSIF DENGAN BHUMI PEDNEKAR DI IFFA MACAO 2019

“FILM ADALAH MEDIUM TAK BERBATAS” – WAWANCARA EKSKLUSIF DENGAN BHUMI PEDNEKAR DI IFFA MACAO 2019


Ⓒ 2019 IFFAM

Melesat di Bollywood sebagai female lead di peran-peran sangat berbeda, tak biasa dan membumi – juga mendobrak karakteristik Bollywood heroine yang biasanya punya penampilan fisik sempurna, tak banyak mungkin yang tahu bahwa Bhumi Pednekar – dalam debutnya di Dum Laga Ke Haisha bukan benar-benar overweight tapi menambah bobotnya hingga sekira 30 kg dalam beberapa bulan. Mengawali karir sebagai asisten casting director di YRF (Yash Raj Films), ia juga tak menyangka kesempatan itu akan datang padanya, walaupun Bhumi mengaku, menjadi aktris Bollywood adalah impiannya sejak lama.

Hadir di IFFAM (International Film Festival & Awards Macao) 2019 sebagai salah satu penerima Asian Stars Up Next Award, Bhumi menyempatkan untuk berbincang-bincang dengan sejumlah media soal perjalanan karirnya hingga banyak hal soal eksistensi aktor wanita di industrinya. Uniknya, seperti di konferensi pers Asian Stars Up Next di mana Bhumi menjadi seperti seorang penampil terbaik yang berbicara lantang soal visi besarnya soal industri film dan masalah-masalah global termasuk perempuan, ia bercerita dengan penuh semangat, menjawab pertanyaan dengan panjang dan kadang juga terasa berapi-api. Rasanya ingin mengulik lebih banyak lagi soal karir dan visi-visinya, namun sayangnya waktu yang ada tak bisa tidak, harus terbatas.

Berikut adalah kutipan wawancaranya:

Salah satu film hit Anda, Shubh Mangal Saavdhan, juga dibuat spin-off/sekuelnya. Ada desas-desus kalau Anda juga ikut bermain sehingga ini akan jadi franchise pertama Anda. Benar atau tidak?

Well, Shubh Mangal Zyada Saavdhan adalah cerita yang berbeda. Sebuah lovestory homoseksual dengan lead yang tetap diperankan Aayushman (Khurana) dalam peran berbeda dengan induknya. Dan ya, saya akan muncul sebagai special appearance di situ. Iya juga, ini adalah franchise saya, dan tetap berdiri di atas ide berbeda tentang kisah percintaan yang terjadi di sekitar kita tapi jarang dibicarakan atas budaya-budaya tertentu. Jadi ia sebenarnya ingin mengangkat hubungan-hubungan antar manusia khususnya apa yang bisa ditempuh sebuah pasangan untuk mempertahankan hubungan mereka, dan ini bukan berupa problem-problem klise seperti selingkuh, tantangan orangtua atau hal-hal lain yang biasanya sudah kita lihat berulang kali di film-film Bollywood.

Dalam konferensi pers tadi Anda tampil paling fearless, bicara soal koneksi-koneksi global dan ide-ide lintas budaya dan pesan-pesan penting lainnya soal perempuan di tengah industri Bollywood. Apakah Anda memang selalu ingin menyuarakan ini?

Absolutely. Terima kasih. Benar, saya selalu merasa bangsa Asia tak pernah direpresentasikan dengan benar di industri-industri Barat. Salah satunya, cara kami berbicara dalam bahasa Inggris seringkali diplot untuk mengundang tawa. Saya benar-benar ingin mengubah hal-hal seperti itu. Dan sinema adalah medium tak berbatas. Di saat seluruh dunia masa kini sedang mengalami banyak masalah-masalah global yang sama; kemiskinan, pertentangan agama, menurut saya salah satu memperjuangkan suara kita adalah lewat film, karena film bisa memberi pengaruh sebesar fenomena global pada banyak manusia di tempat-tempat berbeda.

Apakah Anda merasa nature dari aktor-aktor Bollywood sekarang tengah bergeser, salah satunya dengan peran-peran tak biasa yang Anda mainkan dalam melawan stereotip Bollywood heroine? Menjadi perempuan obesitas di Dum Laga Ke Haisha, perempuan berkulit gelap di Bala, dan sebagainya…

100 persen. Saya yakin Anda juga melihat evolusi yang tengah terjadi. Ada perubahan drastis di industri film kami. Dulunya, film-film Bollywood kebanyakan adalah produk self-centered ke aktor yang mereka jual, di mana orang-orang memang datang karena nama sang bintang. Benar, bahwa ini masih terjadi, tapi harus kita sadari bahwa makin ke sini semakin banyak penonton yang menginginkan cerita yang baru, fresh dan berbeda. Terima kasih juga pada platform OTT seperti Netflix yang memang mengakomodir hal ini – film-film seperti Lust Stories tak akan pernah diterima industri bila tak diakomodir oleh platform-platform seperti ini, sehingga sekarang perkembangan produk-produk story-driven mulai merambah ke mana-mana. Saya yakin bila dimulai 10-12 tahun lalu, belum tentu pergerakan baru ini bisa mencetak kesuksesan Box Office yang sama dengan sekarang, di mana kesadaran orang-orang terhadap banyak isu penting soal perempuan dan problem sosial lain juga mulai meningkat.

Salah satu film terbaru Anda yang belum dirilis kemarin mendapat slot world premiere di Busan Film Festival di segmen A Window on Asian Cinema. Bisa cerita sedikit soal ini, dan apakah ini juga ada dalam rangkaian peran-peran khas yang Anda pilih untuk menyuarakan sesuatu terutama soal perempuan?

Oh yes. 18 bulan terakhir cukup gila buat saya. Dari mulai syuting hingga premiere di Busan, di mana saya jelas sangat senang dan bangga, Dolly Kitty Aur Woh Chamakte Sitare memang benar bicara banyak soal permasalahan sosial yang tengah terjadi di India, di atas sebuah kisah sisterhood dan coming of age. Tentang pilihan peran, karakter Kitty di sini juga merupakan hal penting buat saya, dengan tantangan yang kira-kira bertolak belakang namun sama beratnya dengan Saand Ki Aankh (2019), di mana saya harus memerankan nenek berusia 40 tahun di atas usia saya sebenarnya yang hidup di daerah pinggiran namun mencetak prestasi begitu besar sebagai penembak. Dua-duanya seperti surga berakting buat saya, dan ya, Saand Ki Aankh juga sedikit banyak merupakan kisah sisterhood. Dan jangan lupakan juga Bala yang meraih sukses besar sebagai film Bollywood yang tidak mainstream dan punya komentar sosial begitu besar soal beauty standards di India. Selagi Ayushmann berperan sebagai pria yang kehilangan sebagian besar rambutnya, saya memerankan wanita berkulit gelap – melawan standar kecantikan di India di mana para wanitanya, apalagi yang berkarir di industri hiburan, bagaikan terobsesi dengan warna kulit terang.

Yeah, menurut kami Saand Ki Aankh juga sangat spesial, dan film Diwali yang sebenarnya jauh, jauh lebih baik dari Housefull 4 yang dirilis bersamaan…

(Tertawa keras) Anda tahu apa yang membuat saya begitu mencintai Saand Ki Aankh? Karena menurut saya filmnya sama sekali tak menggurui ataupun cerewet, kisah tentang dua perempuan hebat ini adalah sebuah perayaan terhadap perempuan, keberanian, kekuatan serta apa arti mimpi dan aspirasi di tengah tekanan yang ada. Tapi yang lebih hebat lagi, filmnya juga lucu dan sangat menghibur. So yeah, walau saya ikut berperan di dalamnya, Saand Ki Aankh adalah salah satu film favorit saya (tertawa).

Oke, tentang Pati Patni Aur Woh, sebenarnya kami penasaran. Sebagai sebuah remake dari sebuah screwball comedy 70an yang merupakan pure comedy dan juga sangat komersil, tentang suami, istri dan selingkuhannya pula, apa yang kira-kira memutuskan Anda mengambil peran sebagai Vedika di sini? Terus terang rasanya ini agak berbeda dengan peran-peran yang baru saja Anda sebutkan di mana biasanya seorang Bhumi Pednekar selalu memilih peran-peran dengan subteks dan pesan-pesan aktual…

Sejujurnya, yang saya senangi dari Pati Patni Aur Woh adalah kenyataan bahwa di India, Patni yang artinya istri, punya gambaran stereotipikal sebagai manusia yang tak punya ambisi, karir, mimpi selain satu-satunya pekerjaan untuk melayani suami. Menurut saya ada sisi yang didobrak tentang pandangan stereotip terhadap status istri ini di Pati Patni Aur Woh sebagai film yang murni komersil, dan juga Woh dalam konteks ke orang ketiga di film itu, juga tak digambarkan secara hitam putih. Kenyataannya adalah kita bisa jadi jahat bahkan seperti setan bagi seseorang yang lain karena dunia memang sudah banyak sekali berubah dalam beberapa puluh tahun terakhir. Perselingkuhan tak lagi bisa hanya dipandang secara hitam putih, di mana orang-orang yang memilih meninggalkan hubungan ataupun pernikahan tak lagi hanya bisa disalahkan dari satu sisi, dan saya rasa Pati Patni Aur Woh sedikit banyak menyuarakan itu dari sisi pandang baru yang kekinian bila dibandingkan dengan versi aslinya. Itu yang membuat saya mau bermain di film ini, dan tentu, karena ini sebuah komedi dan penuh lagu, sejujurnya, ini bagi saya juga seperti me-time di mana dari dulu saya sesekali memang ingin menari (tertawa). Yeah, saya tumbuh dewasa menyaksikan aktris-aktris seperti Karishma Kapoor, Kareena Kapoor, Priyanka Chopra, Madhuri Dixit, Juhi Chawla, dan saya rasa saya ingin melakukan itu semua – and I had a blast! Saya senang sekali ikut dalam Pati Patni Aur Woh karena kita juga perlu keseimbangan dalam karir, dan saya juga tidak mau dapat stempel anti-komersil. Yang terpenting bagi saya adalah film-film yang saya pilih tidak bertentangan dengan basis moral atau kebenaran yang saya percaya. Walau filmnya mungkin tak sempurna, saya rasa Pati Patni Aur Woh juga cukup empowering untuk perempuan karena lihat betapa kuat dua perempuan itu tergambar termasuk di adegan klimaksnya…

Dan versi baru ini juga memasukkan soal perjodohan yang tak ada di versi aslinya…

Ya itu juga saya rasa merupakan hal penting dalam keseluruhan social commentary-nya. Lagi-lagi, di India, masyarakatnya masih menganggap tabu bila perempuan punya keinginan, nafsu dan ambisi secara fisik, dan ini juga yang mendorong saya mengambil peran dalam Lust Stories…

Anda mengawali karir di industri sebagai asisten casting director di Yash Raj Films. Mengapa memilih ini bila memang ingin mengejar karir sebagai aktris?

Sejujurnya, karena itulah pekerjaan yang saya dapatkan karena saat itu orangtua saya sudah siap mengirimkan saya ke Inggris untuk kuliah, dan saya tidak menginginkannya (tersenyum). Saya tahu ini terdengar buruk, tapi saya tetap menyelesaikan kuliah saya belakangan (di Whistling Woods International Institute of Arts, Communication & Media Arts, Mumbai) karena saya juga tak setuju bila tak punya titel, tapi jelasnya saya tak mau jauh-jauh dari dunia yang ingin saya geluti. Dan jabatan pekerjaan itu memang jadi pintu masuk saya ke industri. Untungnya memang sampai saat ini seluruh keluarga dan kerabat tetap sangat mendukung saya.

Menarik sekali membaca perjalanan karir Anda, terus terang…

Yeah, it’s quite something (tertawa)

Dengan begitu berkembangnya sekarang film-film yang bisa dikatakan alternatif di industri – story-driven films yang tak ragu menggunakan aktor-aktor non superstars ataupun dinasti ke dalamnya – sebut seperti Anda, Ayushmann, Rajkumar Rao dan banyak lagi, dan datang di atas sebuah sikap tegas soal pembaharuan termasuk women’s empowerment, Bollywood tetap punya film-film yang mengundang kontroversi seperti Kabir Singh. Padahal versi asli Telugunya yang nyaris persis sama tak mengundang kontroversi di tahun 2015 lalu…

Ya, dan Kabir Singh menuai kontroversi cukup masif. Saya tahu.

Benar. Apa pendapat Anda tentang hal ini?

Saya rasa ketika membuat atau terlibat dalam sebuah film, walau menyuarakan pilihan saya terutama bila saya diserahi jabatan menyutradarai film, semuanya mesti datang bersama pertanggungjawaban terhadap apa yang ingin kita sampaikan. Film punya impact ke masyarakat luas dan India, khususnya, adalah sebuah negara di mana film punya sisi budaya yang sangat kuat, sementara sedikit sekali masyarakatnya yang sudah teredukasi dengan baik. Di saat kita sekarang ada di masa di mana semua hal bisa menjadi sangat sensitif, saya rasa oke-oke saja menunjukkan karakter se-negatif apapun bila memang ada sesuatu yang benar dan relevan ingin disampaikan di ujungnya. To each his own, sebisa mungkin cobalah untuk melakukan pilihan-pilihan yang benar dan bagi saya sendiri, semuanya jangan sampai bertentangan dengan standar moral dan kepercayaan kita sendiri.

Apa pendapat Anda tentang rentang masa karir yang secara drastis berbeda bagi aktor pria dan wanita di Bollywood? Dari dulu hingga sekarang, aktor-aktor pria dari Amitabh Bachchan hingga Shah Rukh Khan bisa terus bertahan untuk dipasangkan dengan katakanlah, 2 atau 3 generasi aktor wanita di bawah mereka sementara aktor wanita tak sepanjang itu, dan biasanya setelah sekian lama langsung tergeser menjadi peran-peran supporting?

Ya, saya rasa kita tak mungkin menghindari kenyataan yang ada seperti karakteristik usia buat masing-masing (pria dan wanita), tapi dengan perubahan yang sekarang sedang terjadi secara drastis di industri kami, juga dengan adanya regenerasi aktor yang baik, semoga pilihan-pilihan ke depannya akan semakin luas.

Film apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?

Selanjutnya saya akan mengerjakan film berjudul Durgavati. Ini adalah film female led solo pertama saya tanpa didampingi male hero, dan diproduksi Akhsay Kumar dan Bhushan Kumar bersama Abundantia Entertainment (Toilet: Ek Prem Katha, Baby, Airlift). Ini sebuah thriller, scary thriller, dan Takht yang akan disutradarai Karan Johar dan direncanakan akan jadi magnum-opus buatnya; juga akan punya banyak sekali bintang-bintang ternama di dalamnya. I’m very excited.

Wah… oke, terakhir, apakah ada yang ingin Anda sampaikan soal perubahan-perubahan Bollywood ke arah yang lebih baik sekarang?

Yes. Saya rasa sudah lebih dari cukup kita disuguhi fantasi dan fantasi. Audiens kami sekarang ingin mendapatkan cerita. Cerita yang bagus, yang berbeda, lebih nyata, yang bisa menarik bagi masyarakat dunia secara global, sekaligus juga menghubungkan manusia di tempat bahkan belahan bumi berbeda. Juga, soal kedekatan tema serta karakter-karakter yang membumi sehingga lebih mudah terhubung bagi audiens dan bisa hidup tahun demi tahun dalam pemikiran penontonnya. Karena saya bisa pergi sewaktu-waktu, tapi saya mau karakter saya hidup terus dan karena itu pula saya memilih untuk menjadi aktor, melakukan apa yang saya lakukan sekarang. Profesi ini bisa memberi kita imortalitas, dan terima kasih buat semua yang sudah memberi cinta dan mendukung saya. Saya bukan siapa-siapa tanpa audiens dan penggemar. (dan)