Home » Interview » “BAHASA YANG SEDANG KITA BICARAKAN ADALAH SINEMA” – WAWANCARA EKSKLUSIF DENGAN EDMUND YEO DI TOKYO INTERNATIONAL FILM FESTIVAL KE-34

“BAHASA YANG SEDANG KITA BICARAKAN ADALAH SINEMA” – WAWANCARA EKSKLUSIF DENGAN EDMUND YEO DI TOKYO INTERNATIONAL FILM FESTIVAL KE-34

©2021 TIFF

Perjalanan karir kadang memang tak pernah bisa diduga. Edmund Yeo, sutradara Malaysia kelahiran Singapore ini adalah salah satu contohnya. Minatnya di film yang dimulai dari tahun 2008 dengan film pendek pertamanya, CHICKEN RICE MYSTERY – meraih penghargaan untuk Kimmy Kiew sebagai aktris terbaik, honourable mention di Malaysia’s BMW Shorties. Berangkat mengambil gelar master ke Waseda University – Tokyo, Edmund kemudian membuat film pendek eksperimental FLEETING IMAGES, sebuah homage ke film dokumenter Prancis Sans Soleil karya Chris Marker yang memenangkan Grand Prix di CON-CAN Movie Festival 2009 yang dewan jurinya dikepalai sineas Jepang terkenal Naomi Kawase.

Namun yang membuatnya melambung adalah dua film pendek di 2009, LOVE SUICIDES dan KINGYO, yang merupakan adaptasi karya penulis Jepang Yasunari Kawabata. Selagi Love Suicides ditayangkan sebagai world premiere di Festival Paris Cinema 2009 dan memenangkan sutradara terbaik di China Mobile Film Festival, Kingyo, film pendek berbahasa Jepang pertamanya, terpilih untuk berkompetisi di Venice 2009, membuatnya menjadi sutradara Malaysia termuda yang pernah berkompetisi di sana.  Sejak itu, budaya Jepang jadi melekat ke film-film pendeknya yang hampir selalu mencetak prestasi di banyak festival internasional hingga ia membawa film panjang pertamanya, River of Exploding Durians berkompetisi di Tokyo International Film Festival  (TIFF)sebagai film Malaysia pertama yang pernah berkompetisi di TIFF.

Seperti Jepang yang berdasar pengakuan Edmund menjadi rumah kedua, bahkan terkadang seperti pertamanya, ia meraih Best Director Award untuk AQERAT (WE, THE DEAD) di TIFF 2017 selain juga dokumenter Yasmin Ahmad, Yasmin-san.

Setelah MALU, filmnya yang merupakan produksi bersama Jepang dengan Malaysia tahun lalu juga ditayangkan di TIFF 2020 di segmen Tokyo Premiere, juga JAFF di tahun yang sama, tahun ini Edmund membawa film drama MOONLIGHT SHADOW yang ditayangkan di segmen Nippon Cinema Now TIFF. Moonlight Shadow yang merupakan adaptasi cerita pendek (novella) karya penulis kondang Jepang Banana Yoshimoto (diinspirasi dari lagu Mike Oldfield) menjadi film panjang berbahasa Jepang pertama Edmund yang juga sepenuhnya diproduksi oleh Jepang sebagai film Jepang pertama yang disutradarai oleh sutradara Malaysia.

Lewat wawancara ekskslusif secara virtual di TIFF tahun ini, kami mencoba mengulik lebih dalam kiprah sutradara yang mungkin layak disebut sebagai sutradara Pan-Asian yang makin melaju dalam karirnya ini.

©2021 “MoonlightShadow” Production Committee

Berikut adalah kutipan wawancaranya:

Anda berkarir cukup panjang sejak seorang sutradara Malaysia yang justru lebih established di sinema dan audiens Jepang sejak film pendek berbahasa Jepang pertama Anda – Kingyo, seolah Jepang menjadi rumah kedua dalam karir Anda. Saya yang mengikuti film-film Anda sejak River of Exploding Durians dan Aqerah sejak lama ingin menanyakan ini – mengapa Jepang menjadi pilihan Anda?

Saya tumbuh besar memang bersama kultur Jepang yang sangat saya gemari; manga, anime, sebelum akhirnya saya mengenal film-film Jepang yang dengan cepat menarik perhatian saya. Setelah selesai kuliah di Australia, saya mulai membuat film pendek dan memutuskan mengambil gelar master di Waseda University, Tokyo. Kingyo memang merupakan master project saya di sana, untuk menjelaskan mengapa saya membuat film berbahasa Jepang.

Moonlight Shadow merupakan film panjang berbahasa Jepang pertama Anda – jika Anda setuju menyebutnya begitu. Bisa ceritakan sedikit bagaimana proses awalnya dan atas dasar apa Anda memilih mengerjakan Moonlight Shadow sebagai sebuah film adaptasi cerita pendek ini?

Ya, saya setuju, Moonlight Shadow memang bukan hanya merupakan film berbahasa Jepang pertama, tapi film Jepang pertama saya sepenuhnya. Malu, seperti Anda tahu, masih merupakan joint production Jepang – Malaysia. Begini, saya sudah membaca Moonlight Shadow-nya Yoshimoto sebagai cerita pendek bahkan sejak sebelum saya membuat film, mungkin di tahun 2006 (Edmund memperlihatkan novel Kitchen-nya Yoshimoto yang memuat Moonlight Shadow di dalamnya) dan saya begitu menyukainya, juga novel-novel Jepang lain seperti karya-karya Haruki Murakami. Jalan untuk mengadaptasi novella kesukaan saya ini jadi terbuka ketika produser Jepang di film Malu membicarakan kemungkinan untuk meminta izin ke Yoshimoto untuk mengadaptasinya. Saya tentu menyambut sangat baik ide ini karena bisa dibilang ini sudah menjadi impian saya sejak lama saat membacanya. It’s like “This is it and I must do it”.

©2021 TIFF

Selamat. Saya dengar Banana Yoshimoto puas sekali dengan hasilnya, dan saya juga sangat tersentuh dengan Moonlight Shadow terutama visual dan endingnya yang sangat indah.

Terima kasih.

Nana Komatsu bermain bagus sekali sabagai Satsuki dengan semua kepedihan yang muncul di ekspresinya. Boleh cerita tentang proses castingnya? Apakah Nana merupakan pilihan pertama Anda untuk memerankan Satsuki dan bagaimana dengan yang lainnya?

Actually, yes. Nana Komatsu adalah satu-satunya pilihan saya untuk memerankan Satsuki. Saya sejak lama mengagumi aktingnya, terutama lewat film THE WORLD OF KANAKO (film drama misteri karya Tetsuya Nakashima tahun 2014 yang diperankannya bersama aktor senior Koji Yakusho). Dalam proses castingnya, juga peran Nana sebagai Satsuki-lah yang pertama kali saya pilih sebelum bergerak ke karakter-karakter lainnya. It’s like ‘Nana or no one’, dan untunglah dia langsung bersedia memerankan Satsuki. Selanjutnya adalah karakter Hiroshi, yang juga mesti tak kalah kuat, karena meski tak muncul sebanyak Satsuki, sosok dan penampilannya mesti bisa meyakinkan penonton bahwa memang seberat itu beban Satsuki terhadap kehilangannya. Bahkan ketika dia tidak ada, ‘presence’-nya mesti bisa terasa. Secara tak sengaja saya menyaksikan sebuah trailer di youtube, film Jepang berjudul HIS (2020), saya melihat apa yang saya inginkan dari Hio Miyazawa; aspek wajah yang harus terlihat sangat baik, hangat dan penuh kasih, juga presence yang sangat kuat. Lantas yang lainnya memang saya dapatkan dari proses audisi, termasuk Nana Nakahara sebagai Yumiko. Pendeknya, saya sangat senang bisa mendapatkan cast terbaik yang bisa saya temukan, dan mereka bisa saling membentuk chemistry yang erat satu dengan yang lainnya.

Ok. Dari pengamatan saya, karya-karya Anda, paling tidak dari sejauh yang saya ikuti, punya ‘visual poets’ dan aspek surealisme yang kuat lewat adegan-adegan yang banyak disebut ‘dreamlike feel’ oleh banyak orang, juga penggunaan metafora dan alegori dalam storytelling-nya. Saya rasa ini adalah signature yang jelas, tanpa mesti mengkotak-kotakkan mana yang lebih arthouse atau mainstream, acccessible atau tidak. Apakah ada pengaruh dari sineas tertentu yang menjadi panutan Anda dan apakah ini memang pilihan Anda untuk membentuk signature seorang ‘Edmund Yeo’ di karya-karyanya?

(Tertawa) Mungkin tidak disengaja dan saya sebenarnya tak pernah memikirkan soal signature saya akan jadi seperti apa, namun memang benar mungkin akan ada hal-hal yang kemudian membentuk style saya jadi seperti itu. Saya sendiri adalah orang yang ‘dreamy’ dan mungkin secara emosi terobsesi dengan aspek-aspek ke arah sana. Batas tipis antara mimpi dan kenyataan, masa lalu dan masa depan, misalnya, memang merupakan elemen-elemen yang sangat saya sukai. Kalau soal pengaruh, saya juga tak menolak kalau kegemaran saya terhadap karya-karya sineas tertentu seperti Tarkovsky, Wong Kar Wai hingga Shunji Iwai dengan sinema kontemporer Jepang yang sangat romantis dan surealistik, dan satu yang juga tak boleh saya lupa sebutkan, Pedro Almodovar, semua mungkin ikut membentuk pendekatan dan estetika saya dalam membuat film.

Apa hal yang menjadi titik berat utama Anda dalam menerjemahkan Moonlight Shadow dari tulisan ke visual? Seberapa banyak perubahan yang Anda lakukan dalam proses penulisannya?

Saya mengakui bahwa saya banyak mengambil kebebasan dalam mengembangkan sumber yang sebenarnya hanya berupa cerita yang sangat pendek sebagai sebuah novella, namun cukup setia terhadap esensinya yang memang saya sukai sejak dulu, juga soal mitos berdasar folklor yang menjadi kepercayaan masyarakat di mana sepasang kekasih yang terpisah bisa bertemu kembali di ‘momen spesial’ yang menjadi inti kisahnya. Walau profesi karakternya ada yang mengalami perubahan seperti Yumiko yang di cerita aslinya seorang pemain tenis, tapi bentukan karakternya tetap sama. Seperti karya-karya adaptasi favorit saya yang tak harus persis serupa dengan sumbernya, saya ingin Moonlight Shadow versi film bisa dinikmati sebagai karya standalone. Novella asli itu kami gunakan seperti ‘bible’ untuk dikembangkan lebih jauh agar lebih punya emosi lebih dalam lagi, dan ini saya kira sejalan dengan waktu syuting yang kami lakukan di masa pandemi, di mana persoalan sehari-hari yang kita hadapi adalah soal kematian, bertahan hidup dan seputar itu. Orang-orang yang kita cintai datang dan pergi, namun cinta tetap tinggal dan kita mesti berjalan terus, dan itu yang saya tuangkan walau saya tak menulis skripnya sendiri, terutama dalam dialog di ending Moonlight Shadow. Penulisnya adalah Tomoyuki Takahashi (co-writer film Happy Hour (2015) karya Ryusuke Hamaguchi yang meraih special mention untuk skrip selain kemenangan 4 aktris utamanya di Locarno Festival di tahun yang sama), yang baru sekali ini bekerjasama dengan saya dan sangat saya sukai dari ‘poetic touch’-nya dalam menulis. Adalah sebuah keajaiban pada akhirnya kami bisa menyelesaikan film ini dengan penundaan dan pembatasan di kala pandemi.

Satu lagi yang sangat saya sukai dari Moonlight Shadow adalah tampilan lanskap penuh daya magis yang ada di filmnya dalam menggambarkan batas antara realisme dan supranatural di penekanan percikan fantasinya yang sangat indah. Saya tertarik untuk mengetahui lebih jauh soal pencarian dan pemilihan lokasi set-nya. Bisa ceritakan sedikit soal ini?

Terima kasih. Kami memang melakukan location scouting dengan intensif selama satu setengah tahun, di mana saya dan Kong Pahurak, sinematografer yang sudah sering berkolaborasi dengan saya sejak di perkuliahan master (termasuk dalam film terakhir Edmund, Malu), bepergian untuk menemukan lokasi dan tempat-tempat yang kami inginkan. Yang mana yang paling fotogenik, sinematik dan punya pencahayaan yang pas. Saya selalu percaya dengan mata dan shot-shotnya.

Dan di mana saja letak lokasinya, terutama yang memiliki lanskap indah tadi?

Tidak terlalu jauh. Jaraknya hanya sekitar 1 jam berkendara dari Tokyo, di sekitar Kama City dan Kama River. Kami juga melakukan sejumlah shot di seputaran Yokohama.

©2021 TIFF

Dengan karya-karya yang semakin baik dalam perjalanan karir Anda, apakah tertarik untuk merambah genre lain selain drama? Fantasi atau action, misalnya?

Oh yes. Tentu saja, ketika waktunya tiba, saya tentu ingin mencoba genre lain. Saya sebenarnya menyukai segala jenis film, bukan hanya terbatas pada kegemaran saya ke film-film Tarkovsky, saya juga suka film-film Ang Lee, Martin Scorsese yang sedikit banyak juga punya ragam genre berbeda. I would love to.

Karena karir Anda lebih mapan di sinema Jepang, saya ingin tahu pendapat Anda tentang sinema Malaysia sekarang ini.

Saya percaya Malaysia punya talenta-talenta filmmaker yang baik dan terus berkembang, namun sayangnya masih harus berhadapan dengan sensor. Film mestinya tidak dibatasi dengan self censorship dan membiarkan generasi-generasi barunya berkembang dengan ragam tema yang selama ini terbentur dengan banyaknya aturan. Seperti Indonesia yang memiliki kultur sangat kaya, saya sangat menikmati film-filmnya seperti karya-karya Garin Nugroho, Joko Anwar. Saya juga punya proyek yang saat ini belum boleh saya bicarakan yang melibatkan seorang aktris Indonesia. Tapi satu hal yang sangat penting, di mana pun saya membuat film, bahasa seharusnya tidak membatasi kita karena bahasa yang kita bicarakan adalah Sinema.

Wah, penasaran dengan proyeknya (tertawa). Sangat ditunggu. Oke, terakhir, karena waktu wawancara kita sudah akan berakhir, saya ingin tahu pendapat Anda soal Sinema vs. Revolusi Digital dengan lahirnya tontonan OTT.

Saya cinta sinema, tapi saya percaya OTT memberi banyak keleluasaan terhadap banyak filmmaker dan industri film terutama Asia seperti Taiwan, Thailand dan lainnya, hanya saja memang ada satu hal yang tak bisa diberikan OTT. Ada karya dan film yang memang harus kita saksikan di layar lebar untuk pengalaman sinematik yang berbeda. Dengan semakin banyaknya opsi, hal terpenting adalah co-existence untuk sama-sama berkembang dan saling mendukung satu dengan lainnya.

Noted dan setuju. Ok, terima kasih sudah meluangkan waktunya, Edmund. Sukses untuk Moonlight Shadow dan proyek-proyek selanjutnya sangat ditunggu.

You’re welcome.