Home » Interview » WAWANCARA DENGAN DUA PENGGERAK TOKYO INTERNATIONAL FILM FESTIVAL TERKINI – CHAIRMAN HIROYASU ANDO DAN PROGRAMMING DIRECTOR ICHIYAMA SHOZO (BAGIAN 1)

WAWANCARA DENGAN DUA PENGGERAK TOKYO INTERNATIONAL FILM FESTIVAL TERKINI – CHAIRMAN HIROYASU ANDO DAN PROGRAMMING DIRECTOR ICHIYAMA SHOZO (BAGIAN 1)

Hiroyasu Ando ©2021 TIFF

Tokyo International Film Festival edisi ke-34 yang diluncurkan 30 Oktober lalu bergerak membawa sejumlah pembaharuan dari edisi-edisi sebelumnya, terutama edisi ke-33 tahun lalu yang terpaksa dilangsungkan di tengah pandemi dengan segala keterbatasannya, termasuk absennya segmen Kompetisi Internasional. Di tangan Inaugural Chairman Hiroyasu Ando yang diangkat tahun 2019 setelah sebelumnya cukup lama bekerja sama dengan TIFF sebagai President Japan Foundation dan kini menjadi pimpinan penyelenggaraan TIFF setelah mundurnya Takeo Hisamatsu sebagai Festival Director selepas TIFF ke-33, setelah 17 tahun, TIFF mengalami penggantian Programming Director.

Seperti  yang telah diberitakan Maret lalu, posisi yang dulunya diisi oleh Yoshi Yatabe untuk segmen utama kompetisi dan sejumlah segmen yang lain sejak 2004, kini berganti ke tangan Ichiyama Shozo, produser film kawakan yang sebelumnya menjabat sebagai chief di Tokyo FIlmex yang tahun ini bekerjasama dengan TIFF di sejumlah programnya. Sementara, Kenji Ishizaka yang sebelumnya juga memegang programming di sejumlah segmen tetap bertugas sebagai senior programmer, namun mungkin benar, kondisi pandemi yang melanda tahun lalu merupakan titik balik yang tepat bagi TIFF untuk kembali memikirkan reorganisir seluruh program-programnya. Dari kurasi dalam keseluruhan programming dengan kehadiran segmen-segmen baru, perhelatan salah satu festival film internasional terbesar di Asia ini pun berpindah dari venue utama di Roppongi Hills setelah 14 tahun ke kawasan Yurakucho – Ginza – Hibiya yang seperti dikatakan Shozo dalam wawancaranya, adalah pusat market industri film Jepang dengan segala situs keramaiannya termasuk bioskop.

Di tengah kesibukan mereka me-reorganisir ulang TIFF di edisi ke-34 yang dilangsungkan secara hybrid – offline dan online, terutama dalam program-program pendamping berupa talk show dan masterclass, Ando-san dan Shozo-san menyempatkan untuk berbicara dan berbagi tentang visi dan misi mereka terhadap kelangsungan dan masa depan TIFF pada sejumlah media. Lebih berupa obrolan santai sambil bertukar pikiran dan terkadang juga memberi saran, pembicaraan yang berlangsung membuat kita menyadari sungguh tak mudah untuk mengelola festival sebesar TIFF, terlebih dengan hantaman pandemi dalam dua tahun terakhir penyelenggaraannya meski tahun ini kondisinya sudah jauh lebih membaik.

Berikut adalah kutipannya.

Hiroyasu Ando ©2021 TIFF

Hiroyasu Ando

(Membuka sesi wawancaranya) Saya ingin berbicara soal karakteristik TIFF tahun ini dengan perubahan-perubahan yang saya gagas ke festivalnya.

Ini adalah tahun ketiga saya sebagai Chairman TIFF, namun secara substansial ini adalah tahun pertama saya bertanggung jawab lebih besar sebagai Chairman, jadi saya ingin mengubah beberapa hal untuk membuat TIFF menjadi lebih baik. Saya akan menyimpulkan beberapa perubahan besar yang saya bawa tahun ini.

Yang pertama, adalah soal venue. Tahun ini saya mengubah venue TIFF dari Roppongi ke Yurakucho – Ginza – Hibiya district. Seperti sebagian dari Anda sudah pernah mengunjungi Roppongi dan berfestival di TIFF sebelumnya, Roppongi adalah kawasan yang bagus, namun untuk bisa menarik publik secara lebih luas lagi, kami ingin memindahkannya ke kawasan Yurakucho – Ginza – Hibiya karena kawasan ini sudah lama dikenal sebagai kawasan sinema (a town for cinema/theatre) dengan banyaknya fasilitas di sekitarnya; restoran, pertokoan, hotel dan sebagainya. Kami yakin warga akan sangat menikmati perpindahan ini, apalagi cuaca tahun ini juga sangat baik kecuali di hari pertama festival yang agak mendung.

Yang kedua, yang saya ubah setelah 17 tahun adalah programming director TIFF dari Yoshi Yatabe ke Ichiyama Shozo. Ichiyama sangat dikenal oleh dunia, menjadi programmer dan juri di sejumlah festival film internasional, punya kemampuan lebih untuk memilih film dan juga punya jaringan yang luas di festival-festival internasional luar Jepang dan para penggeraknya. Saya yang memintanya mengadakan perubahan di banyak segmen di TIFF dan memilih film-film yang bagus dan berkualitas karena film bagus adalah syarat utama untuk festival yang baik. Contohnya, sebelumnya kami punya segmen Asian Future yang berisi film dari negara-negara Asia, dan kami punya segmen Japanese Cinema Splash untuk memperkenalkan sutradara-sutradara muda Jepang. Segmen ini kini kami gabungkan menjadi satu segmen Asian Future, karena menurut saya tidak ada alasannya memisahkan sutradara Jepang dengan sutradara Asia lainnya yang sama-sama tergolong baru. Saya tak ingin mendiskriminasikan sineas Jepang dengan Asia lain, dan sudah seharusnya mereka bertanding di satu segmen yang sama tanpa dipisah-pisahkan. Masih banyak lagi segmen-segmen lainnya yang mengalami penyesuaian.

Perubahan ketiga, adalah memberi sorotan lebih sekaligus memperkuat dan menambah warna internasional dari festival kami, yang bernama Tokyo INTERNATIONAL Film Festival, namun selama ini saya rasa kata International di situ, sejujurnya, tidak begitu kuat dan spesial. Saya ingin membawa lebih lagi filmmaker, jurnalis film dan kritikus film dari luar Jepang untuk berinteraksi bersama profesi-profesi sama dari Jepang untuk saling bertukar pembicaraan, pikiran dengan cara informal sehingga bisa membentuk ide-ide baru, pertukaran review dan cara pandang hingga kesempatan untuk menggagas co-production. Sayangnya, tahun ini seperti tahun lalu, karena kondisi pandemi, pemerintah Jepang masih mengadakan restriksi bagi pengunjung luar Jepang. Karena itu tujuan saya untuk benar-benar meng’internasional’kan TIFF belum bisa sepenuhnya terwujud, namun untunglah ada sejumlah undangan luar terbatas yang diizinkan datang ke TIFF, walau tak sampai 10 orang. Tahun depan, saat kondisi mudah-mudahan sudah lebih baik, saya berjanji untuk mengundang kalian semua serta lebih banyak lagi tamu internasional yang lain.

Oke, Anda mengatakan ingin membuat TIFF menjadi lebih besar di tahun depan, semoga kondisinya sudah lebih membaik, tapi apakah program hybrid  yang kita lakukan sekarang akan tetap dipertahankan?

(Ando-san menyapa perwakilan media Filipina dan mengenang karirnya sebagai diplomat di Manila, juga tentang 2 film Brillante Ma Mendoza yang ditayangkan di TIFF tahun ini namun sayang pada saat terakhir Mendoza berhalangan hadir). Untuk menjawab pertanyaan Anda, saya rasa sementara saya akan tetap mempertahankan program hybrid antara festival film secara fisik dan online. Karena adanya pandemi, mau tak mau kita terpaksa berhubungan secara online, dan bagi sebagian orang mungkin ini bisa sangat membantu, namun audiens di sini tetap menghadiri penayangan secara fisik karena pemerintah kami sudah mengizinkan kapasitas 100% di dalam bioskop dari sebelumnya 15% hingga September tahun ini. Saya sangat senang namun tentu masih harus sangat berhati-hati.

Saya ingin menanyakan soal segmen Special Screening yang sekarang menjadi Gala Selection. Apakah ada perubahan dalam pemilihan film-film yang biasanya berisi film-film studio besar atau nama-nama filmmaker yang sangat dikenal?

Ya, ada perubahan cukup besar juga di segmen Special Screening yang kami ubah menjadi Gala Selection. Saya ingin meningkatkan kualitas film-film yang kami pilih di Gala Selection, dan dalam segmen ini kami memberi titik berat ke film-film yang sudah punya prestasi di festival film internasional ternama dan juga film-film yang populer di negara lain. Seperti apa yang diinginkan Mr. Ichiyama untuk memperkuat independensi dalam memilih film-film berkualitas, bila tahun-tahun sebelumnya ada rekomendasi distributor yang tak bisa ditolak oleh programmer, tahun ini semua secara resmi dipilih oleh Mr. Ichiyama. Sayangnya tidak ada film Indonesia, tapi ada film-film Asia yang bagus seperti Memoria karya Apichatpong Weerasethakul, dan Kamila Andini juga hadir dalam talk sessions bersama sutradara wanita Jepang walaupun Yuni tidak ditayangkan di TIFF, tapi ditayangkan di Filmex yang tahun ini bekerjasama satu sama lain di kawasan Yurakucho – Ginza – Hibiya.

Apa pendapat Anda tentang film-film Jepang yang menjadi seleksi tahun ini?

Begini. Tahun ini, jumlah keseluruhan film yang tayang di TIFF terpaksa dikurangi karena perubahan venue. Sampai tahun lalu kami bisa menggunakan 10 layar, sementara tahun ini cuma ada 8 layar, jadi ada pengurangan jumlah film dari biasanya 150 film ke tak sampai 100 film untuk tahun ini. Saya sejauh ini sudah menyaksikan sekitar 60 film sampai tidur larut malam (tertawa). Saya rasa pilihan-pilihan Mr. Ichiyama tahun ini sangat bagus, tapi khusus buat film Jepang, di kompetisi tahun ini kami hanya punya 2 film dari 15 film kompetisi, dan 2 film di Asian Future. Biasanya, film-film Jepang memang mendominasi. Dalam sisi kualitas, 4 film ini punya kualitas sangat baik, tapi film-film ini, menurut pandangan personal saya, masih bicara soal keluarga, hubungan, lelaki dan perempuan, berbeda dengan film-film dari negara lain yang sudah merambah isu-isu sosial, konflik sosial, sejarah dan sebagainya, dan sangat berorientasi sosial. Saya harap makin banyak film-film Jepang yang mau merambah isu-isu serupa yang lebih luas lagi.

Apakah ada rencana memperluas program TIFF lagi misalnya ke program-program workshop atau film funding selain ekspansi film dan jumlah layar seperti yang Anda katakan?

Tentu saja. Saya sangat ingin menambah jumlah film paling tidak ke pola di festival-festival sebelumnya. Hanya saja karena ada perubahan venue, jumlah film tahun ini harus dikurangi. Tapi saya sudah bernegosiasi ke beberapa venue di sekitar lokasinya untuk bisa membuka layar di festival tahun depan, terutama kalau kondisi sudah membaik. Dan kami juga harus meningkatkan bujet. Ini juga, dikarenakan pandemi, tak cukup banyak sponsor untuk tahun ini. Kami akan berusaha keras untuk ini. Dengan peningkatan bujet, kami akan meningkatkan aspek-aspek lainnya.

(Dari salah satu media Thailand) Maaf, Ando-san. Mengenai seleksi film-film di TIFF, saya datang sebagai old-school yang suka melihat film-film menyenangkan, membuat kita tersenyum ketika selesai menonton. Mayoritas film di festival biasanya serba gelap dan depresif, tanpa bermaksud mempertanyakan, tapi apakah ini bisa sedikit diseimbangkan? Saya juga ingin lebih banyak film-film klasik seperti samurai, yakuza seperti film-film klasik Jepang yang saya senangi.

(Tertawa) Saya juga datang dari kalangan old-school. Saya menonton banyak film-filmnya dan sangat bisa mengerti perasaan Anda. Tapi begini. Saya mempercayakan seleksinya pada Mr. Ichiyama dan tidak mencampuri kebijaksanaannya. Anda mungkin bisa bertanya lebih jauh pada Mr. Ichiyama, tapi saya bisa bilang begini, kalau kita mencoba memilih film yang berkualitas, dalam kebanyakan kasus, film-film ini memang tidak bisa terlalu optimistik dengan kondisi dunia yang terjadi sekarang. Begitu banyak represi ke perempuan, isu-isu LGBT dan elemen-elemen tak menyenangkan lainnya. Filmmaker yang peduli dengan keadaan dunia dan relevansinya memang cenderung agak pesimistik, tapi saya setuju dengan Anda. Film-film yang menyenangkan bisa saja ditayangkan sejauh kualitasnya baik dan saya akan menyampaikan ini kepada Mr. Ichiyama (tertawa). Saya juga tak melupakan film-film klasik dan saya sangat menggemarinya. Tahun lalu kami menayangkan film-film Yamanaka Sadao dari era ’30-40an, dan saya sangat menghormati dia. Tahun ini kami memilih retrospektif pada film-film klasik karya sutradara/aktris perempuan Kinuyo Tanaka. Dia kurang dihargai sebagai sutradara dan tak banyak orang Jepang yang tahu karya penyutradaraannya selain hanya sebagai aktris. Saya setuju film-film Samurai dan Yakuza sangat menarik, mudah-mudahan ada kesempatan buat kami untuk menayangkannya lebih banyak lagi. Terima kasih untuk sarannya.

TIFF punya program Crosscut Asia yang diinisiasi Japan Foundation sebagai ajang pertukaran budaya bagi sineas Asia. Tahun lalu segmen ini sudah tidak ada, apakah ada rencana untuk menghidupkannya kembali?

Begini. Crosscut Asia bukannya tidak ada, tapi untuk tahun lalu digabungkan ke Asian Future. Begitu juga untuk tahun ini dengan penyatuan beberapa segmennya, namun saya ingin menekankan bahwa kepentingan untuk film-film Asia sama sekali tidak kami tinggalkan dan tetap ingin kami tingkatkan. Bersama Japan Foundation, kami terus mengembangkan program Asia Lounge di mana tamu-tamu luar bisa berinteraksi dengan filmmaker Jepang, menikmati kuliner kami dan ada program-program talk sessions dengan talenta-talenta yang bervariasi. Dan satu hal lagi, Japan Foundation juga akan mulai menggelar Online Film Festival dengan judul Crosscut Asia Delicious! yang akan menayangkan film-film bertema kuliner dari beberapa negara Asia berikut penayangan film-film Crosscut Asia di tahun-tahun sebelumnya, dan pemberitahuannya akan dirilis hari ini.