
Ichiyama Shozo, Programming Director TIFF
Bisa jelaskan tentang proses seleksi kompetisi utama TIFF tahun ini dan pola-pola yang menjadi pertimbangan bagi Anda?
Ketika memulai seleksi, pada awalnya kita menentukan jumlah dari segmen kompetisi utama. Sasaran kami adalah 1-2 film Jepang, kemudian 6 film Asia di luar Jepang, dan 7 film di luar Asia. Namun di akhir seleksi, kami merasa film-film Asia tahun ini justru jauh lebih kuat ketimbang film-film dari luar Asia seperti Eropa. Ada banyak submisi dari luar Asia terutama Eropa, namun kami rasa sebagian besar sangat lemah. Akhirnya kami memutuskan menambah jumlah film Asia, dan jumlah akhir yang kami dapatkan adalah 6 film Eropa kalau terhitung dengan Crane Lantern dari Azerbaijan berdasarkan histori geografisnya. Sisanya adalah film Asia walaupun ada yang merupakan co-production. Pendeknya, ternyata film Asia berjumlah di luar ekspektasi kami dan memang layak.
TIFF tahun ini menayangkan 2 film Brillante Mendoza; Gensan Punch dan Payback. Kami ingin mendengar pendapat dari Anda tentang keduanya di segmen yang berbeda.
Gensan Punch terutama kami pilih karena merupakan co-production antara Jepang dan Filipina. Ide orisinalnya datang dari aktor Shogen untuk memerankan sosok nyata petinju Jepang yang menjadi subjeknya, yang kemudian menggagas produksinya dan menghubungi/meminta Brillante Mendoza menyutradarainya. Status Japan Premiere menjadi alasan yang kuat, dan memang Gensan Punch adalah film yang sangat bagus, hanya saja dalam perbandingan arthouse dan komersil, walaupun punya gaya Brillante Mendoza dalam pendekatan realismenya, filmnya lebih komersil dari film-film dia yang lain. Sebaliknya, Payback, film lain dari Brillante Mendoza, adalah jelas sebuah karya auteur yang punya semua signature arthouse Mendoza. Jadi Payback yang kami pilih untuk masuk ke dalam segmen kompetisi internasional, sementara Gensan Punch di Gala Selection. Dalam Gala Selection, kami mengutamakan nama-nama sineas yang sudah sangat dikenal ke seluruh dunia seperti Wes Anderson, Jane Campion, Edgar Wright.
Kami ingin mendengar pendapat Anda soal pemilihan juri kompetisi internasional tahun ini. Mengapa tidak semuanya dihadirkan sebagai program masterclass tahun ini?
Juri kompetisi internasional TIFF tahun ini datang dari profesi berbeda. Ketua juri kami, Isabelle Huppert adalah seorang aktris, kemudian Shinji Aoyama seorang sutradara, Lorna Tee adalah produser dan kurator, Hiroko Sebu adalah seorang komposer dan Chris Fujiwara seorang kritikus film. Saya memilih profesi-profesi berbeda untuk bergabung sebagai juri kompetisi internasional. Soal program masterclass, memang hanya Isabelle Huppert dan Lorna Tee yang hadir dalam sesinya, tapi kami sebenarnya ingin menghadirkan mereka semua. Hanya saja maaf memang venue kami di tahun ini dikarenakan masih adanya sebagian restriksi jadi sangat terbatas. Saya berjanji di tahun-tahun berikutnya, bila venue kami sudah semakin mencukupi, kami akan membuat lebih banyak lagi sesi-sesi masterclass dan menghadirkan semua juri kompetisi internasional. Tapi kami tetap mengadakan talk session di Asia Lounge, seperti kemarin kami menampilkan Hirokazu Kore-eda dan aktor Chang Chen. Masih ada sutradara-sutradara Asia terkenal lainnya seperti Apichatpong Weerasethakul, Edwin dan Kamila Andini dari Indonesia yang mengisi tiap-tiap talk sessions dan masterclass. Masterclass ini masih melanjutkan program yang kami mulai tahun lalu dan bisa disaksikan semua orang secara live lewat kanal Youtube TIFF dan setelahnya tetap ada sebagai arsip yang bisa ditonton di kanalnya.

Sebagai seorang produser legendaris dan sosok yang memimpin banyak festival film internasional, apa yang menjadi titik berat Anda terhadap masa depan TIFF dari sisi programming dan kurasi film-filmnya?
Tentu saja yang pertama adalah menyeleksi film-film di festival kami untuk memperkenalkannya pada audiens di Jepang dan sebaliknya, memperkenalkan film-film Jepang ke mata dunia. Tapi pada dasarnya tetaplah memilih deretan film-film bagus yang mempresentasikan festivalnya. Saya sebenarnya ikut mengurus TIFF di tahun 90an sebelum akhirnya sibuk dalam pekerjaan saya sebagai produser di Shochiku. Setelah itu saya menangani Tokyo Filmex dan akhirnya kembali ke TIFF setelah 21 tahun. Ketika dulu saya masih di TIFF, TIFF sudah menayangkan banyak film dan mengundang banyak filmmaker dari seluruh dunia. Tapi saya lihat, satu yang tidak mereka lakukan adalah mengundang sosok-sosok influential dari festival film internasional lainnya seperti eksekutif, sales agent, programmer dan jurnalis. Menurut saya ini adalah problem TIFF sejak dulu, apalagi mengingat posisi Tokyo sebagai meeting point yang bagus sekali di Asia. Jadi ini yang berusaha saya wujudkan sekarang. Mengundang lebih banyak lagi sosok-sosok seperti ini selain filmmaker dan profesional lainnya, untuk dihadirkan dalam sesi-sesi dan program masterclass. Sayang memang saat saya ingin menginisiasi ini, pandemi datang. Dengan keadaan yang membaik sekarang di Jepang, mudah-mudahan kami bisa mewujudkannya di tahun-tahun berikutnya. Programmer, jurnalis internasional yang berpengaruh dari seluruh dunia sangat penting untuk lebih banyak lagi diundang agar ikut memberitakannya ke mata seluruh dunia. Dan masih ada lagi masalah venue yang tahun ini sangat terbatas di pasca pandemi, sehingga program dan jumlah film yang kami tayangkan juga jadi cukup terbatas. Harapan saya di tahun-tahun berikutnya, venue ini bisa saling mendukung dengan jumlah film sehingga lebih banyak lagi segmen yang bisa dihadirkan, terutama segmen-segmen retrospektif yang sangat terbatas di tahun ini. Hanya ada segmen khusus untuk Keisuke Yoshida dengan 3 filmnya, serta Kinuyo Tanaka – pionir film Jepang klasik yang hanya bisa kami tayangkan 4 film dari keseluruhan 6 film yang pernah dibuat sutradara wanita ini. Kami akan mencoba menghadirkan segmen ini lebih banyak lagi di tahun berikutnya.
Dengan mulai dibukanya lagi bioskop-bioskop di seluruh dunia, apakah Anda yakin penonton akan datang kembali ke bioskop atau berpindah ke OTT?
Ya, saya rasa masih cukup banyak yang merasa nyaman selama pandemi untuk menonton servis OTT dari Netflix, Amazon Prime dan sebagainya, selagi sebagian mungkin masih belum sepenuhnya merasa aman untuk kembali ke bioskop. Walau begitu, cinema experience bagi seorang terutama audiens kami di Jepang, tentu tak bisa digantikan. Yang saya rasa agak mengkhawatirkan adalah bioskop-bioskop kecil yang memutar film-film arthouse, yang cukup banyak jumlahnya di Tokyo. Kelompok penonton lebih dewasa yang biasanya datang menonton ke bioskop-bioskop seperti ini sangat berkurang. Mudah-mudahan dengan membaiknya situasi pandemi kebiasaan ini bisa pelan-pelan kembali normal. Untuk sekarang, saya lihat audiens menjadi sangat pemilih. Mereka kebanyakan datang ke bioskop untuk film-film komersil berskala besar dengan promosi luas yang masih sangat baru, sementara untuk film-film menengah atau kecil mereka memilih menunggu di OTT dan sebagainya. Paling tidak ini yang terjadi di depan, dan memang tak mudah membawa mereka kembali seperti dulu ke bioskop.
Apa yang menurut Anda menjadi trend dari film-film seleksi tahun ini? Adakah kesamaan tema atau warna yang Anda lihat dari submisi hingga seleksinya secara keseluruhan?
Ketika saya menyeleksi film-film submisi, saya sebenarnya tidak memperhitungkan trend selain memilih film-film yang bagus, namun trend ini biasanya baru terlihat setelah film-film itu terseleksi. Ini memang pertanyaan yang banyak sekali dilontarkan setiap tahun kepada seorang programmer festival. Untuk tahun ini, kecenderungan yang saya lihat mungkin adalah lebih dari separuh film-film itu punya protagonis utama wanita, dan bicara soal wanita yang berdiri melawan sistem dan represi-represi sosial lainnya. Seperti Arisaka dari Mikhail Red, tentang seorang polisi wanita yang melawan polisi-polisi korup, Vera Dreams of the Sea – tentang wanita paruh baya yang suaminya tiba-tiba bunuh diri dengan tanggungan hutang sehingga ia terpaksa mempertahankan rumahnya dan mengatasi keadaan. Saya tak yakin ini adalah sebuah trend, tapi mungkin memang makin banyak filmmaker yang mengangkat tema-tema ketidakadilan dari kacamata wanita melawan sistem yang rata-rata dibangun oleh pria, terutama di film-film arthouse.
Dengan peran dan posisi berbeda di TIFF dan di Tokyo Filmex, adakah perbedaan pola kurasi antara keduanya?
Ya, benar. Saya memang masih ada di dewan pengarah di Tokyo Filmex dan bukan sepenuhnya keluar dari mereka. Asisten saya sejak lama yang kini menjadi programming director di Filmex. Saya berdiskusi dan kadang masih memberi saran kepadanya untuk film-film mana yang lebih cocok untuk TIFF atau Filmex atas berbagai pandangan. Seperti misalnya sebuah film Georgia, What do We See When We Look at the Sky, ini saya rasa cocok sekali untuk Filmex karena baru saja masuk ke kompetisi utama di Berlin. Tidak ada aturan baku untuk hal ini, tapi bisa saya bilang seperti ini. Kami di TIFF biasanya mempertimbangkan untuk tak memilih film kompetisi yang sudah bertanding di sejumlah festival film besar lainnya seperti Cannes, Venice dan sebagainya, tapi bukan kami tetap bisa menayangkannya di segmen lain seperti World Focus. Aturan seperti ini tidak ada di Filmex di mana mereka bisa bebas memilih film-film yang sudah bertarung di festival besar untuk masuk ke segmen kompetisi. Selain itu ada ekspektasi-ekspektasi untuk status World premiere, Asian premiere, Japan premiere dan sebagainya. Ada banyak lagi contoh lain seperti Yuni-nya Kamila Andini yang juga masuk ke Filmex. Pada dasarnya TIFF masih merupakan bagian dari UniJapan sedangkan Filmex adalah organisasi independen. Tapi apapun pertimbangannya, menurut saya TIFF tahun ini punya line up kompetisi yang sangat bagus beserta film-film di segmen lainnya.
Apakah ada kesulitan juga dari film-film (major) studio yang belum mau menayangkan film mereka di festival karena pertimbangan-pertimbangan kondisi pandemi?
Ya, menurut saya tahun ini bukanlah tahun yang terlalu baik untuk film-film studio Jepang dibanding film Asia lainnya, tapi memang benar, ada beberapa film Jepang yang bagus dari sejumlah studio namun tak sesuai atau masih terlalu jauh jadwal rilisnya dengan TIFF. Itu juga makanya tak banyak film Jepang yang bisa kami tayangkan di segmen Gala Selection. Sebaliknya, film-film independen Jepang tetap cukup banyak yang saya rasa bagus dan cukup memuaskan. Studio besar memang masih bergulat dengan pembatasan-pembatasan yang ada dan tak jarang produksinya harus ditunda karena situasi pandemi. Jumlah produksi kami juga jauh berkurang. Mudah-mudahan situasi dan kondisinya akan membaik di tahun berikutnya.