Home » Interview » “TO BE ABLE TO BE WITH SOMEONE IS WHAT MAKES US HUMAN” – WAWANCARA DENGAN SUTRADARA MATSUI DAIGO DI TOKYO INTERNATIONAL FILM FESTIVAL KE-34

“TO BE ABLE TO BE WITH SOMEONE IS WHAT MAKES US HUMAN” – WAWANCARA DENGAN SUTRADARA MATSUI DAIGO DI TOKYO INTERNATIONAL FILM FESTIVAL KE-34

©2021 TIFF

Sebagai seorang sutradara/penulis muda Jepang yang baru berusia 36 tahun, Daigo Matsui sudah punya segudang prestasi. Dari debut pertamanya di AFRO TANAKA (2012), Daigo sudah berkali-kali mengantarkan filmnya ke festival-festival film internasional ternama di dunia. WONDERFUL WORLD END (2014) ditayangkan di Berlinale, sementara OUR HUFF AND PUFF JOURNEY (2015) memenangkan dua penghargaan di Yubari International Fantastic Film Festival, sebuah festival unik penuh perayaan yang dihelat di kota kecil Yubari di kawasan terujung Utara Hokkaido, bekas pertambangan yang kini lebih mirip sebuah resort (Quentin Tarantino pernah menghadiri festival ini dan menulis skrip PULP FICTION di kamar hotelnya, sebelum akhirnya membuat karakter bernama Gogo Yubari di KILL BILL: VoL.1, selain juga Steve Martin, Martin Short, Jon Voight dan Angelina Jolie, di antaranya). Daigo juga meraih penghargaan Best New Director di Tama Cinema Forum lewat dua film itu, dan cukup dikenal lewat film Daily Live of High School Boys (2013) dan Japanese Girls Never Die (2016).

Tahun ini, ia baru saja merilis film REMAIN IN TWILIGHT di bulan April, sebuah kisah 6 orang sahabat yang mesti menghadapi pendewasaan. Gaya penyutradaraan dan penuturan Daigo di film-filmnya memang unik. Selain hampir selalu punya pendekatan kontemporer, terkadang menyentuh absurditas dan visual sangat stylish, ia juga senang mengeksplorasi karakter-karakter anak muda Jepang yang dipenuhi sentuhan kultural sangat kuat dari karakter-karakternya.

JUST REMEMBERING, film terbaru Daigo yang masuk ke kompetisi utama Tokyo International Film Festival (TIFF) edisi ke-34 tahun ini pun begitu. Sekilas mungkin terlihat sebagai drama kisah cinta antara sepasang kekasih – yang dibintangi oleh Sosuke Ikamatsu dan Sairi Ito, film yang diinspirasi dari sebuah lagu pop cantik dari band Jepang populer CreepHyp, Night on the Planet, yang juga terinspirasi oleh film tahun 1991 karya Jim Jarmusch. Menggabungkan dua inspirasi ini, Daigo membesut Just Remembering menjadi sebuah kisah cinta berbalut pengalaman visual yang membius antara ingatan-ingatan masa lalu di tengah setting Tokyo semasa pandemi Covid-19.

Hadir di TIFF mempresentasikan Just Remembering yang di seremoni penutupannya memenangkan dua penghargaan dalam segmen Asian Future untuk Audience Award dan Jury Special Mention, Matsui menyempatkan diri untuk berbagi pengalaman dengan kami beserta sejumlah media. Tentang visinya membuat Just Remembering, juga sebagai filmmaker yang sangat konsisten bahkan di tengah keterbatasan saat pandemi.

Berikut adalah kutipan wawancaranya.

©2022 “Just Rememberring” Film Partners

Saya dengar Just Remembering diinspirasi oleh lagu bagus yang dipasang di scene penutup menuju kredit akhirnya. Saya langsung sekali lagu itu, dan katanya lagu ini juga terinspirasi dari filmnya Night on Earth Jim Jarmusch, makanya ada bagian excerpts Winona Ryder di film itu. Bagaimana proses Anda menulis cerita untuk menggabungkan kedua inspirasi ini ke dalam Just Remembering?

Idenya memang datang dari Night on the Planet – judul lagu itu, yang dinyanyikan oleh CreepHyp, yang memang terinspirasi dari film Jim Jarmusch yang sangat saya sukai. Namun tentu saya harus punya sebuah cerita baru sambil memberi homage ke inspirasinya seperti dalam gambaran taksi. Berbeda dengan Night on Earth yang berupa sebuah omnibus, 5 kisah berbeda yang terjadi di tempat-tempat berbeda secara horizontal, Just Remembering menggunakan lanskap Tokyo di waktu-waktu berbeda secara lebih vertikal.

Saya suka sekali konsep visual yang Anda hadirkan dalam Just Remembering. Semua simbol-simbol yang Anda gunakan lewat elemen-elemennya bekerja dengan baik. Seperti apa Anda menciptakan konsep visual dan pengambilan adegan-adegan yang menurut saya punya tingkat kesulitan cukup tinggi seperti adegan-adegan di dalam taksi?

Yang pertama memang balik ke konsep yang saya inginkan sejak awal bersama DoP saya, soal bagaimana Tokyo dihadirkan secara vertikal lewat set-set yang berbeda. Suasana, tampilan, terutama atmosfer Tokyo di malam hari beserta elemen-elemennya, semua menjadi bagian dari konsep visual itu bersama karakter-karakternya. Dan menarik memang membahas scene-scene taksi karena kami memilih untuk secara praktikal menarik taksi dengan kendaraan terbuka untuk syuting ketimbang menggunakan green screen untuk mempertahankan naturalitasnya, agar kami bisa menangkap latar secantik mungkin seperti jalanan, lampu-lampu bahkan kerumunan yang ada di belakangnya.

©2021 TIFF

Apa yang Anda rasa menjadi kesulitan terbesar untuk melakukan suting di tengah pandemi?

Mungkin hal paling sulit yang kami rasakan justru adalah pengambilan gambar di set 2019 sebelum pandemi karena hampir semua orang yang menjadi latar belakangnya menggunakan masker. Kami terpaksa mengarahkan semua extras untuk membuka masker dalam waktu yang sangat terbatas saat mengambil gambar. Walaupun ini hanya background tapi saya tidak mau tampilannya menjadi tidak akurat.

Menarik. Saya kira setting pandemi dalam film Anda juga relevan dengan soal struggle dari hubungan kedua karakter utamanya. Apakah memang ada metafora yang ingin Anda tampilkan antara keduanya?

Tidak hanya dalam masalah pandemi atau hubungan personal kita biasanya sering melihat balik kepada setiap memori dalam masalah-masalah yang kita hadapi. Penderitaan yang kita rasakan di saat pandemi juga tak jauh berbeda dari sebuah hubungan yang tidak berhasil. Namun yang ingin saya gambarkan adalah bagaimana kita memeluk semua masa lalu kita untuk menghargai semua yang telah terjadi walaupun rasa sakit untuk bisa bertahan dan berjalan maju tanpa penyesalan. Just Remembering adalah sebuah kisah soal menghargai hubungan yang telah atau pernah terjadi.

Chemistry dua karakter utamanya sangat genuine dan saya sangat menyukainya. Bagaimana anda membangun hal ini ke dua aktornya dan apa saja kesulitannya?

Hal pertama yang kami lakukan adalah mencoba untuk tetap setia kepada skrip yang saya kira sudah menggambarkan keterkaitan itu. Hampir semua adegan yang ada memang berfokus ke mereka, dan kesulitan terbesar mungkin ada adegan tari yang juga bertujuan untuk menggambarkan secara jelas chemistry antara mereka. Tentu saja kami punya koreografer tari tetapi agar tidak terlihat kaku, kami selalu berdiskusi untuk tidak terlalu serius menerjemahkan koreografinya. Yang saya inginkan adalah tarian-tarian dan gestur-gestur gerakan yang lepas untuk menggambarkan cinta di antara keduanya karena tari dalam film ini lebih menjadi simbol untuk hubungan mereka.

Ok. Karena Anda memang mengatakan adegan-adegan tari yang hadir dengan sangat indah dan penuh makna di sini, mungkin bisa ceritakan sedikit soal bagaimana koreografi dan gerakan-gerakan itu menerjemahkan simbolnya?

Konsep kami sebenarnya bukan hanya pada gerakan dan koreografi tapi lebih ke shot latarnya yang sangat dipengaruhi pencahayaan. Penggunaan kontras antara cahaya terang dan gelap adalah bagian paling sulit yang harus bisa tercapai di film ini karena menggambarkan motif karakterisasi dan keputusan mereka dalam kelanjutan hubungan itu. Bagaimana mereka bergerak keluar dari area gelap menuju cahaya, ini sebenarnya bukan hanya di adegan tari tapi juga set dan background lain yang menerjemahkan masing-masing fungsi pencahayaannya. Dan satu lagi yang ingin saya jelaskan walaupun saya ingin gerakan-gerakan itu natural Tapi sebenarnya saya tidak ingin hasilnya terlihat seperti manusia yang tengah menari. Dalam gerakan-gerakan yang harus terlihat lebih lepas, kami lebih mengarahkan koreografi itu seperti ikan yang tengah berenang di dalam akuarium.

©2022 “Just Rememberring” Film Partners

Anda sangat konsisten membuat film, bahkan punya satu film yang rilis sebelumnya di tahun ini. Seperti apa Anda mengatur energinya?

Saya justru merasa bingung ketika tidak sedang membuat film dan saya selalu menganggap film adalah sesuatu yang bisa mengatasi negativitas yang saya hadapi ke arah yang lebih positif. Film making membuat saya bisa mengatasi semua masalah yang saya hadapi dan sebagai pengingat yang selalu saya pegang, kalau saya tidak membuatnya pasti akan ada orang lain yang membuatnya. Jadi kesempatan tidak boleh disia-siakan.

Sejauh ini, terutama di tengah pandemi yang sedikit banyak sangat berbeda dengan kondisi di festival-festival sebelumnya, apakah Anda merasa puas dengan pencapaian yang ada?

Saya tetap sangat berterima kasih walaupun ada perubahan-perubahan yang terjadi untuk disesuaikan dengan situasi pandemi. Pandemi juga mampu membuat kita terpaksa mengalami banyak penundaan. Ketika pada akhirnya saya bisa menayangkan film saya ke depan publik saya tentu sangat senang. Dan melihat reaksi audiens saat Just Remembering diputar sebagai World Premiere di TIFF, saya merasa sangat puas.

Apalagi tepat di saat ulang tahun Anda. Happy birthday!

(Tertawa) Benar. Terima kasih.

Oke. Satu pertanyaan terakhir dengan jawaban cepat. Kebanyakan film anda bercerita soal cinta. Seperti apa Anda pikir cinta mempengaruhi karya-karya Anda?

Yang saya bisa katakan sekarang adalah “To be able to be with someone is what makes us human”.