KUKIRA KAU RUMAH
Sutradara: Umay Shahab
Produksi: Sinemaku Pictures & MD Pictures, 2022

Film yang diilhami dari sebuah lagu mungkin cukup banyak, tetapi yang membuatnya penting selain popularitas lagunya sendiri, sebenarnya ada pada alasan-alasan di baliknya. Diangkat dari lagu berjudul sama dari band indie Amigdala, Umay Shahab bersama Monty Tiwa dan Imam Salimy mengetengahkan isu kesehatan mental di kalangan anak muda yang tengah relevan dengan kondisi saat ini. Walau balutan utamanya tetap sebuah kisah cinta di ambang usia remaja yang mengharu biru, Kukira Kau Rumah adalah proyek yang cukup ambisius dari Umay sebagai debut penulisan sekaligus penyutradaraannya, dan mengajak serta pula Prilly Latuconsina yang tak hanya bermain sebagai karakter utama, tapi juga ikut duduk di kursi produser.
Menjadi menarik memang kala sebuah film yang menyorot keresahan subjeknya datang dan digagas dari kelompok usianya sendiri karena ini paling tidak punya POV berbeda dari kebanyakan film remaja kita yang digagas oleh orang dewasa. Lebih lagi, debut penyutradaraan Umay dan Prilly dalam produksi ini didukung oleh nama-nama senior seperti Monty, juga Andi Rianto yang ikut menggarap score dan soundtrack-nya, walau tetap harus dicatat, sebagian besar krunya juga diisi oleh nama-nama baru yang paling tidak menjadi faktor penting dalam kiprah-kiprah regenerasi di sinema kita.
Seorang gadis dengan latar belakang unik yang menyimpan rapat-rapat rahasianya, Niskala (diperankan Prilly) dengan cepat menarik perhatian Pram (Jourdy Pranata), mahasiswa introvert di kampus sama yang sehari-harinya bekerja sebagai pelayan kafe dan menyimpan bakat menulis lagu serta menyanyi. Hanya dua sahabat terdekat Niskala, Dinda (Shenina Cinnamon) dan Oktavianys (Raim Laode) yang mengetahui kondisi sebenarnya, bahwa Niskala sejak lama terdiagnosis dengan gangguan bipolar. Itu juga yang membuat ibu (Unique Priscilla), terutama ayahnya (Kiki Narendra) bersifat overprotektif terhadap Niskala. Kedekatan Pram yang introvert dengan Niskala yang meledak-ledak namun perlahan menemukan kebahagiaan baru di sisi Pram dan musiknya, mau tak mau memicu konflik yang lantas meledak di balik pilihan hati Niskala untuk memberontak antara batas tipis dari cinta, sikap keluarga dan belenggu kejiwaannya. Dan Pram ternyata juga punya pilihan sendiri untuk menyelamatkan Niskala yang sejak awal telah mencuri hatinya.
Di luar faktor popularitas Prilly yang pelan-pelan bisa keluar dari peran-peran tipikal di genre horor lewat serial OTT, juga Jourdy Pranata sebagai aktor muda yang tengah menanjak termasuk dari film pendek ‘Dear to Me’ yang cukup viral di kalangan medsos film, mesti diakui, Umay memang punya sensitivitas lebih dan terasa sepenuh hati membesut film debut penyutradaraannya ini. Cermat menangkap momentum dan percikan-percikan romansa di adegannya, ia membawa Kukira Kau Rumah tak terjebak di atmosfer depresif dengan subjek serius dan kompleks yang tengah diangkatnya.
Selagi penelusuran kondisi mentalnya tak lantas jadi berlebihan seperti kebanyakan melodrama lokal yang mengeksploitasi kondisi penyakit subjeknya, tak juga perlu kelewat detil memberikan informasi medis hingga berpotensi salah kaprah, lewat skrip dan penyutradaraannya, Umay memilih untuk mengedepankan hubungan-hubungan personal tanpa melupakan statement penting soal krisis eksistensi anak-anak muda sekarang di ambang usia remaja mereka. Sangat tak mudah untuk memberi distraksi manis tanpa membuat elemen utama soal kondisi mentalnya jadi tempelan superfisial, dan dalam hal ini, Umay bisa dibilang cukup berhasil mengetengahkan keseimbangan itu, sekaligus membangun empati yang mengakar terhadap dua karakter sentralnya. Di sela-sela itu, Umay juga terlihat piawai membesut adegan-adegan gigs yang sangat berjiwa, dengan dukungan Andi Rianto sebagai salah satu komposer film terbaik yang kita punyai sekarang, untuk ikut bercerita sebagai aspek pendukung yang sangat penting. Aspek teknis lainnya pun sama baiknya, dari shot-shot DoP Beben Jenggot, juga editing Oliver Sitompul yang sangat menyokong peralihan-peralihan nuansanya.
Bangunan chemistry antara Prilly dan Jourdy, di atas semuanya, hadir dengan sangat jempolan. Dalam unsur-unsur aksi-reaksi dalam sebuah romansa yang paling diperlukan di genre-nya, keduanya menyatu di adegan-adegan mereka dengan eskalasi yang sangat wajar dan bisa dipercaya, menanggalkan tahapan-tahapan klise ala FTV kita. Bermain dengan gestur cukup detil dalam ledakan-ledakan perubahan emosinya, Prilly juga berhasil menokohkan Niskala tanpa berlebihan. Dan tak bisa juga meninggalkan porsi deretan pendukungnya yang juga sangat mencuri perhatian. Shenina yang selalu bisa tampil berkarakter, Raim Laode dengan celetukan-celetukan lucunya dan tak juga gagal ketika diberi penikungan dramatis dengan motivasi believable, Unique dan Kiki, pun juga sederet aktor-komedian senior yang tampil singkat dari Ence Bagus, Ruth Marini, Ananta Rispo dan Totos Rasiti.
Di luar pencapaian-pencapaian yang cukup impresif itu, mungkin hal yang perlu lebih dibahas dalam Kukira Kau Rumah ada di piihan ending yang digagas Umay bersama timnya. Adalah sebuah hal bagus bahwa di tengah ujung yang terus terang tak terduga itu, Kukira Kau Rumah tak lantas kehilangan aspek hopeful dalam konklusi akhirnya secara keseluruhan walaupun mungkin punya pilihan kontradiktif sebagai tontonan yang mau tak mau mesti punya unsur ‘tuntunan’ kepada target market-nya, tapi paling tidak, meski saya tak sepenuhnya setuju, sangat bisa mengerti bahwa ada pernyataan yang ingin dikedepankan Umay buat menumpahkan keresahan-keresahan psikologis anak muda sekarang terhadap eksistensi mereka dalam sebuah lingkungannya. Paling tidak, dengan selipan-selipan motivasi yang tetap sangat bisa dimengerti, Umay bisa menghindar dari persepsi-persepsi melodramatis yang ada di banyak film demi memberi kesan akhir yang sangat digemari penonton-penonton Asia terutama sinema lokal kita.
Pada akhirnya, adalah sebagian dari kita mungkin, di kelompok usia lebih dewasa, yang tak lantas kemudian harus berdiri sebagai lawan ataupun mengekang subjek-subjek ini dengan rantai penghakiman yang malah makin membelenggu generasinya dengan segala keresahan mereka. Ini butuh pemahaman timbal-balik yang sungguh tak gampang, tapi muncul dengan semangat solid untuk berkarya, Kukira Kau Rumah tak hanya tengah sekadar men-trigger kondisi mental di kalangannya, namun jauh lebih dari itu, mengajarkan kita untuk lebih saling memahami dan menjadi sebuah rumah bagi masing-masing yang lain. Seperti sebuah curhatan sesuai sasaran, hasil pesat perolehan BO-nya menunjukkan bahwa Kukira Kau Rumah digagas dengan sudut pandang yang tepat. I’d say, don’t run, but embrace, have a heart, and LISTEN. (dan)