Home » Dan at The Movies » PELANGI TANPA WARNA: MELODRAMA ALZHEIMER YANG LAYAK DIHARGAI LEBIH

PELANGI TANPA WARNA: MELODRAMA ALZHEIMER YANG LAYAK DIHARGAI LEBIH

PELANGI TANPA WARNA

Sutradara: Indra Gunawan

Produksi: Falcon Pictures, 2022

Tak terlalu banyak pasangan ikonik yang terbentuk dari medium film, baik sinetron maupun layar lebar. Selain dulu dikenal lewat kolaborasinya bersama Yessy Gusman atau Lydia Kandou, belakangan lewat sinetron Si Doel, pasangan Rano – Maudy sebagai Doel dan Zaenab mencuat dan terbukti lebih bertahan ketimbang Sarah dengan trilogi kelanjutan layar lebarnya di bawah kerjasama Rano bersama Falcon Pictures.

Terang-terang memanfaatkan popularitas pasangan on-screen ini, Pelangi Tanpa Warna pun melanjutkan kolaborasi mereka mengadaptasi novel pemenang kompetisi Kwikku karya Mahfrizha Kifani. Kembali dipasang sebagai suami istri, film ini mengetengahkan soal penyakit Alzheimer dalam sorotan sentralnya.

Hidup berbahagia bersama Divo (Zayyan Sakha), putra semata wayang mereka yang baru saja berulang tahun ke-15, Ferdi (diperankan Rano) dan Kirana (Maudy Koesnaedi) tak menyangka kalau bahtera rumah tangga mereka akan dilanda badai besar dengan kondisi ingatan Kirana yang tiba-tiba menurun dan jadi semakin parah. Tak hanya Ferdi, dan Divo, ibu Ferdi (Ratna Riantiarno) juga ikut terombang-ambing ke dalam konflik ini, apalagi ketika ternyata ada faktor pemberat lain yang akhirnya ikut menyerang kondisi kesehatan Kirana.

Tak ada sebenarnya yang spesial dalam guliran plot yang mungkin sudah berkali-kali kita saksikan di banyak melodrama baik lokal maupun luar yang bertolak mengeksploitasi aspek medis lewat untuk memicu kesedihan penontonnya. Pelangi Tanpa Warna pun tak lantas mencoba tampil beda namun dengan sengaja lewat skrip yang diadaptasi oleh penulis novelnya sendiri menimpakan cobaan bertubi-tubi, penyakit satu dengan yang lain ke subjeknya bak orang sudah jatuh ditimpa tangga dan dilindas mobil, tak pula dengan penelaaahan medis yang sepenuhnya akurat meski tak sampai fatal.

Mendominasi durasi singkatnya dengan derita demi derita (bayangkan, gejala-gejala awal Alzheimer ditambah dua kali serangan stroke) hingga menyisakan sedikit sekali ruang untuk arah konklusi dan penyelesaian, Pelangi Tanpa Warna jadi terasa tak utuh sebagai sebuah keseluruhan cerita yang akhirnya cukup memilih bermain aman dengan selipan narasi yang preachy.

Namun untungnya, kelas keaktoran para pendukungnya, juga penceritaan Indra yang cukup lancar memang harus diakui bisa sedikit menyelamatkan Pelangi Tanpa Warna untuk tak benar-benar jatuh ke melodrama picisan yang sekadar menjual eksploitasi penyakit belaka. Meski tak sempurna – Rano kadang-kadang masih menampilkan intonasi yang kurang konsisten di balik sebagian dialog kelewat baku, sementara Maudy masih beberapa kali terlihat keliru menerjemahkan lapis dan tahapan kondisi penyakitnya padahal porsi minim dialognya benar-benar bergantung ke bahasa tubuh, gestur dan chemistry mereka satu sama lain cukup bisa menyelamatkan kekurangan yang ada. Soal ini, ketika saling berhadapan dalam adegan-adegan yang butuh percikan-percikan mesra, mereka memang hampir tak meleset.

Didukung Zayyan Sakha yang secara mengejutkan bisa mengimbangi irama akting Rano, Maudy bahkan Ratna Riantiarno – yang satu ini tak perlu lagi ditanya, Pelangi Tanpa Warna jadi tetap bisa terasa cukup menyentuh dengan interaksi para pendukungnya. Secara keseluruhan, permainan ansambel ini tetap terlihat menarik dan punya kelas, bahkan ketika penyelesaiannya terburu-buru dengan sandungan inakurasi medis tadi.

Satu hal lagi yang perlu dicatat dari Pelangi Tanpa Warna adalah keberaniannya menghadirkan drama keluarga tanpa faktor IP/brand dengan aktor/aktris utama di masing-masing rentang usia 60 dan 40an. Harus diakui kalau ini, tak seperti di film-film luar yang bukan hal spesial, bagi sinema kita adalah sesuatu yang langka dan membuat kebanyakan karir aktor-aktor senior jadi kerap terhambat di porsi character actor/pemeran pendukung saja dan sebaliknya, begitu diperlukan, seakan kita tak punya atau hanya segelintir aktor 40 ke atas yang representatif buat memegang peran utama di film komersil.

Sepenting-pentingnya regenerasi di industri, bukan juga berarti lead harus selalu muda belia. Pelangi Tanpa Warna bisa menjadi contoh, dan untuk itu, ia memang layak dihargai lebih. (dan)