IBLIS DALAM KANDUNGAN
Sutradara: Adhe Dharmastriya
Produksi: Darihati FIlms, 2022

Tak bisa dipungkiri, genre horor memang selalu punya pasar yang konsisten di Indonesia. Apalagi setelah pandemi, dari banyak pengamatan, ada kecenderungan penonton umum yang mau ke bioskop semata untuk hiburan ketimbang sisi lain dari sebuah film. Teror-teror yang terasa dekat, dipenuhi jump scare ketimbang cerita. Paling tidak, ditakut-takuti adegan di layar sambil bereaksi, bergidik dan berteriak bersama, bagi masyarakat penonton bioskop kita, kerap diterjemahkan sebagai “hiburan”. Tak heran kalau kemudian triwulan pertama 2022 menuju triwulan berikutnya, meski ada sebagian produk yang memundurkan tanggal rilisnya, bioskop kita marak oleh film horor yang ingin menjajal kesempatan ini.
Iblis Dalam Kandungan yang kabarnya sudah menjalani masa syuting sejak 2019 dan awalnya disiapkan rilis 2020 ini pun begitu. Tema-tema horor yang sudah jadi template populer soal ibu hamil dan teror maternitas adalah jualan utama yang minim resiko selain star-factor yang bisa menjual. Darihati Films yang ada di ranah PH low key Indonesia yang cukup konsisten berproduksi dengan skala produksi menengah – paling tidak masih bisa menggamit nama-nama populer di deretan cast-nya, dari Catatan Akhir Kuliah, The Chocolate Chance, Love Reborn hingga Gas Kuy, pun kini ikut merambah genre horor dengan sutradara yang juga baru kali ini membesut genrenya setelah kiprahnya di Nikah Yuk (2020).
Pasangan Amelia (Nafa Urbach) dan Ferdi (Ali Syakieb) yang sudah menikah 15 tahun namun belum dikaruniai keturunan mengadopsi Alani (Denira Wiraguna) dan Vito (Muhammad Adhiyat) sebelum Amelia akhirnya berhasil mengandung. Sayang kondisi kesehatannya yang bermasalah membuat Amelia memerlukan lingkungan lebih tenang untuk menjaga kandungannya. Ferdi pun kemudian menerima kepindahan pekerjaannya ke daerah pinggiran di kaki Gunung Salak, tanpa mengetahui bahwa rumah baru yang mereka huni ternyata menyimpan rahasia masa lalu yang mengerikan, yang akhirnya menempatkan mereka semua dalam keadaan bahaya. Tapi ternyata bukan ini satu-satunya ancaman yang datang.
Tentu, dari jabaran plot itu, tak ada hal baru dalam Iblis Dalam Kandungan dalam subgenre horor soal teror seputar maternitas. Namun skrip yang ditulis nama-nama cukup punya kredibilitas dari Pabrik Fiksi; Bagus Bramanti, Asaf Antariksa dan cerita oleh Gea Rexy (sayangnya dikredit dengan term keliru lewat kata ‘writtens’ – bukan written by, baik di poster maupun kredit filmnya), sejak awal terlihat mencoba memberikan spin tak biasa menuju twist yang datang di babak akhirnya. Meski mudah tertebak, ada putaran-putaran serta detil cukup baik soal mitos dan kepercayaan Jawa, pun lagu tradisional Ayun Ambing yang katanya jadi salah satu inspirasi, juga sematan dramatisasi keluarga dalam interaksi karakter yang bisa pula dipercaya meskipun secara tampilan, di luar beda usianya, Nafa dan Denira masih terlihat tak jauh berbeda.
Ini juga termasuk pemanfaatan sosok-sosok seperti Yati Surachman dan Inggrid Widjanarko yang memang jadi amunisi tepat buat genrenya. Paling tidak, separuh awal durasi cukup singkatnya masih punya beberapa jump scare yang cukup efektif meski klise dengan makeup template yang sudah saban kali kita lihat di film-film horor lokal. Adegan Yati pun menjadi salah satu adegan yang cukup baik dalam gelaran teror berbalut kultur dan mitos mistis lokal kita. Hanya sayang, Nafa yang dipromosikan dengan istilah ‘comeback’ (padahal belum terlalu lama menjadi pemeran utama di Kembang Kantil yang juga bergenre horor) tak diberi banyak ruang selain terbaring tak berdaya setelah beberapa konflik dramatis, sementara karakter Ferdi yang diperankan Ali Syakieb sama sekali tak tergali dan muncul hanya sesekali dengan justifikasi tipikal film-film kita. Muhammad Adhiyat juga sayangnya kurang terjaga di pengaturan ekspresi, hingga di ansambel utamanya hanya Denira yang terlihat menonjol, berusaha bermain dengan baik di atas eksekusi yang serba inkonsisten.
Inkonsistensi penceritaan ini jugalah yang akhirnya benar-benar meluluhlantakkan Iblis Dalam Kandungan menjelang masuk ke babak ketiga untuk menggelar adegan-adegan klimaksnya yang terlihat punya potensi tadi. Bukan hanya karena menyadarkan kita semua sebagai penontonnya tak ada setup baik yang terbangun sejak awal, penceritaannya benar-benar melompat tanpa kejelasan seolah pencatat skripnya tak bekerja atau pemotongan tak tepat guna di meja editing. Seburuk-buruknya film horor luar, hal-hal seperti jumpy storytelling ini memang kerap kali terjadi di film kita. Tiba-tiba begini, tiba-tiba begitu, dengan justifikasi tipis, lantas logika internalnya pun serba berantakan dengan gestur-gestur yang terlihat minim staging atau pengaturan. Bukan hanya di soal adegan yang sebenarnya bisa jadi jagoan – soal penggalian kuburan yang sudah disebar di promo-promonya, sekelumit subplot soal air suci yang mestinya berhubungan dengan selang infus yang ditarik-tarik di adegan klimaksnya malah membuat yang mengerti jadi bisa tertawa padahal sematannya sebenarnya sah-sah saja di ranah fantasi dan hal-hal mistis seperti ini.
Ini, tak bisa tidak, memang merupakan kesalahan fatal yang membuat babak ketiga Iblis Dalam Kandungan – yang sebenarnya punya potensi eskalasi cukup segar sebagai twist-nya, benar-benar hancur lebur tanpa konsistensi pengadeganan yang proper. Apa boleh buat, meski mungkin tetap bisa menyajikan jump scare buat audiens horor kita yang kadang juga tak peduli perintilan lain, tapi secara dramaturgi dan penceritaan, Iblis Dalam Kandungan akhirnya lebih memilih untuk sekadar “menghibur” tapi mengorbankan potensinya. (dan)