ITO
Sutradara: Satoko Yokohama
Produksi: ARK Entertainment, 2021

Sebagai seorang sutradara wanita di industri film Jepang yang datang dari kota kecil di prefektur Aomori, ujung Utara pulau utama Jepang, Honshu, Satoko Yokohama bukanlah sutradara yang baru meniti karirnya. Salah satu filmnya, “Bare Essence of Life” sudah pernah ditayangkan di Toronto di tahun 2009. Cukup lama setelah film terakhirnya, “The Actor” (2015), Yokohama kemudian kembali dengan “Ito”/”Itomichi”, judul yang punya aspek metafora terhadap nama karakter berdasarkan novel trilogi karya Osamu Koshigaya ke Osaka Asian Film Festival tahun lalu sekaligus meraih penghargaan Grand Prix dan Audience Award. Ito jadi terasa sangat personal karena memang novel asli Koshigaya bertolak dari setting di kota kelahiran Yokohama, Aomori.
Begitu pula, karakter utama bernama Ito itu diperankan oleh Ren Komai, aktris muda yang penampilannya baru saja kita saksikan tahun lalu lewat “True Mothers”-nya Naomi Kawase, yang ternyata juga berasal dari Aomori. Membawa drama coming of age berlatar budaya khas setting-nya, dari soal dialek, kultur “maid cafe” yang berbeda ke instrumen musik “Shamisen” yang tergambar jelas di poster filmnya, Ito menjadi sebuah film yang sangat tak biasa. Tetap punya visi yang kuat dalam penggambaran karakter perempuan di balik sosok Yokohama sebagai sutradara wanita, Ito memang memerlukan pemahaman lebih soal kultur daerah Jepang yang jarang-jarang kita saksikan, dan untunglah, subtitelnya bisa menjelaskan terutama soal benturan dialek itu dengan benar-benar jelas.
Dari sinilah cerita soal gadis SMU Ito Soma (diperankan Ren Komai) yang introvert karena kerap dirundung soal dialek “Tsugaru”-nya yang dianggap aneh di sekolah. Pun bukan hanya itu alasannya buat menutup diri, Ito yang sehari-harinya hidup dengan ayahnya (Etsushi Toyokawa), seorang profesor linguistik yang kaku dan neneknya (Yoko Nishikawa) yang piawai memainkan alat musik Shamisen, juga merasa malu dengan namanya yang tak lazim, sekaligus sejak lama kehilangan sosok ibu yang juga diingatnya punya keahlian sama soal Shamisen dan menurunkannya kepadanya. Ito yang kemudian mencoba mencari pekerjaan sambilan diterima di sebuah maid cafe yang sedikit berbeda dengan budaya kota besar. Di sana, perlahan Ito mulai ‘memainkan’ perannya di tengah pertentangan dari sang ayah, namun ia mulai merasa bisa diterima oleh rekan-rekannya di kafe, termasuk manager (Ayumu Nakajima) dan seniornya (Mei Kurokawa). Pencarian jati diri Ito pun dimulai hingga pelan-pelan ia akhirnya mulai menemukan kedekatan dengan hal-hal yang awalnya membuatnya menutup diri, tak hanya dalam berkomunikasi tapi juga di tengah dawai-dawai Shamisen yang dimainkannya buat menghibur pengunjung kafe.
Ito memang bukan sebuah kisah coming of age yang biasa. Dengan sempalan kultural sedemikian tebal lewat segala aspek dan unsur-unsurnya, ia juga sama sekali bukan film seringan tampilan posternya. Bergerak pelan dengan tone yang cukup melankolis walau tak pernah sekali pun jatuh menjadi depresif di tengah tekanan yang dialami Ito sebagai karakter utamanya, dimainkan dengan baik sekali oleh Komai, skrip adaptasi Yokohama tak terburu-buru membuka satu demi satu keresahannya termasuk lewat subtitel yang sangat membantu menjelaskan dialek Tsugaru khas Aomori dan dipertebal dengan karakter sang ayah yang mendalami bahasanya.
Namun hal yang lebih menarik terutama untuk penonton yang lebih memahami budayanya, mungkin ada di soal penggambaran “maid cafe” dalam lapis berbeda sebagai sebuah “distinct culture” yang kerap disalahartikan oleh perkembangan yang ada. Tak seperti banyak gambaran kafe sejenis yang kita kenal di sisi Jepang yang lebih besar dan serba modern, walau tetap mengeksplorasi adanya resiko orang-orang atau pengunjung yang tak benar, juga soal persepsi masyarakat luar profesinya, Yokohama memberi statement cukup detil soal latar yang sekaligus menjadi salah satu aspek terbesar Ito untuk mendorongnya keluar dari zona nyamannya.
Dan Yokohama, sebagai sutradara, memang terlihat sangat mumpuni menangkap spirit dan kehidupan kota kecil latarnya sebagai set cerita yang sangat solid, terutama untuk membawa kita pelan-pelan menyibak konflik internal dari karakter utama dan orang-orang di sekelilingnya. Di tangan Yokohama dan akting bagus dari Komai, Ito terasa bergulir sangat tulus di tengah percikan komedi-komedi kecil yang membuat kita tersenyum dan di lain sisi merasa trenyuh dengan perjalanan Ito buat bisa keluar dari belenggu dirinya. Bersama musik dan permainan instrumen Shamisen yang juga tertangkap dengan detil serta sangat baik – sama sekali bukan sekadar tempelan, proses perubahan Ito dalam pencarian dan penemuan kembali jati diri itu jadi tampil sangat wajar, tetap terasa punya emosi walau tak bergulir ke ranah melodramatik menuju ke pengujungnya yang cukup menyesakkan dada.
Walaupun secara keseluruhan terlihat sangat bersahaja dari sisi teknis produksi, sinematografi Katsumi Yanagijima bisa bersinergi dengan spirit yang sangat terasa lewat penyutradaraan Yokohama dalam menyajikan detil sudut-sudut dan landmark set-nya tanpa harus menjual semata gambar-gambar indah bak panorama wisata, namun jadi aspek penting buat penceritaan mereka. Pada akhirnya, hal terpenting dari Ito adalah kita, sebagai pemirsanya, tak lagi sekadar merasakan kedekatan dari konflik-konfliknya yang membumi dan sehari-hari dialami, tapi lebih dari itu dan belum tentu bisa tercapai oleh semua film coming of age sejenis, membuat kita benar-benar peduli. (dan)
Selain Under the Open Sky yang sudah diulas sebelumnya, Ito juga menjadi salah satu film unggulan di line up event film tahunan Japanese Film Festival yang digagas oleh The Japan Foundation dan akan berlangsung secara online dari 14 hingga 27 Februari 2022.