Home » Dan at The Movies » INVISIBLE HOPES: DOKUMENTER PENTING DAN RELEVAN SOAL ANAK-ANAK YANG LAHIR DI BALIK JERUJI PENJARA

INVISIBLE HOPES: DOKUMENTER PENTING DAN RELEVAN SOAL ANAK-ANAK YANG LAHIR DI BALIK JERUJI PENJARA

INVISIBLE HOPES

Sutradara: Lamtiar Simorangkir

Produksi: Lam Horas Film, 2021

Sebagai bagian dari mediumnya, film dokumenter, memang masih selalu kalah pamor dengan film feature hingga sinetron, terlebih di masyarakat kita. Bahkan di kalangan penikmat film, minat untuk menonton film-film dokumenter masih sering diangkat ke berbagai diskusi soal film. Keberadaannya sebagai salah satu penyedia informasi memang kerap dikalahkan oleh tendensi menonton film demi hiburan, walaupun belakangan, minat ini mulai berkembang lewat dokumenter-dokumenter di platform OTT seperti Netflix yang dikemas lebih audience-friendly di atas topik-topik aktual yang lebih mudah memancing minat audiens.

Di ranah film lokal, apalagi, kebanyakan film dokumenter masih terbatas di mimbar-mimbar festival ketimbang hanya segelintir saja yang bisa merambah layar lebar. Tapi sama sekali bukan berarti tak ada yang layak disimak dari sisi kualitas. Menambah daftar singkat film-film dokumenter untuk konsumsi layar lebar, Invisible Hopes yang dirilis di bioskop di tahun 2021 merupakan satu yang terpenting dalam beberapa tahun terakhir atas topiknya. Kalau kebanyakan dokumenter masih berkutat di sisi lingkungan, Invisible Hopes yang diproduseri dan disutradarai Lamtiar Simorangkir dalam debut penyutradaraannya ini mengangkat topik serius soal kehidupan nyata anak-anak yang lahir dari ibu narapidana di balik jeruji penjara. Selain ditayangkan di bioskop, Invisible Hopes yang meraih Piala Citra 2021 untuk Film Dokumenter Panjang Terbaik ini juga dibawa dalam pemutaran keliling untuk menjangkau lebih lagi kepedulian masyarakat soal isu yang diangkat.

Invisible Hopes mengangkat kehidupan itu di Rutan Pondok Bambu Jakarta, di mana 3 bayi yang baru lahir tinggal bersama ibunya dan 12 narapidana perempuan hamil lainnya dalam sebuah sel sempit tanpa perlakuan khusus terkait kondisinya. Sementara, di Lapas Pondok Bambu, tinggal 12 anak di mana 4 dari mereka yang sudah berusia lewat 2 tahun harus segera meninggalkan penjara tanpa ibu mereka yang masih harus menyelesaikan hukuman sesuai undang-undang. Mengikuti kehidupan narapidana dan anak-anak yang lahir di balik jeruji ini, lewat lensa kamera bersama tim kecilnya, Lamtiar memotret perjuangan para ibu ini menghidupi anaknya, sementara masalah lain sudah menunggu di luar sana menyangkut pengasuhan dan perawatan anak-anak ini lebih lanjut.

Sebagai sebuah dokumenter yang memang mutlak mesti menyemat penggal-penggal informasi secara aktual, Invisible Hopes memang sukses menyembulkan pertanyaan paling mendasar dari visual yang digelar lewat filmnya. Apakah kita tahu selama ini kalau banyak perempuan-perempuan narapidana yang melahirkan anak mereka di penjara? Atau narapidana dalam kondisi hamil? Lantas, bagaimana pula penyesuaian aturan-aturan terhadap kondisi mereka dan apa yang harus dilakukan seorang ibu untuk membesarkan anak-anak itu di dalam penjara? Ini semua tersampaikan dengan sangat baik, juga dengan fokus yang tak lantas terpecah dari Lamtiar sebagai filmmaker debutan, di luar profesinya yang memang seorang praktisi hukum, terutama di ranah dokumenter yang jelas memerlukan riset panjang dan usaha-usaha pendekatan buat membangun komunikasi terhadap para narasumbernya, baik di kalangan petugas ataupun narapidananya sendiri. Ini jelas bukan subjek yang gampang dieksekusi, dan kita bisa membaca itu lewat penggalan-penggalan adegannya.

Seperti kebanyakan dokumenter lain, Invisible Hopes juga dibesut jelas dengan tendensi khusus yang bukan hanya sekadar mau menyuguhkan tontonan semata, tapi berdasar sebuah kepedulian untuk memperjuangkan hak-hak narapidana, perempuan dan lingkungan yang layak di tengah kondisi mereka. Bertujuan membuka mata atas isu-isu aktual yang mungkin lewat dari perhatian banyak orang, Lamtiar juga dengan efektif membawa kita dan pemirsanya menyadari kekurangan-kekurangan sistem penjara di Indonesia. Usahanya membawa Invisible Hopes untuk mendapatkan dukungan dari yayasan-yayasan kepedulian hingga kedutaan Swiss dan Norwegia, juga mempertontonkan film ini ke pemerintah pusat serta daerah lewat pemutaran keliling, paling tidak akan memantik perhatian lebih terhadap isu-isu penting di seputarnya.

Begitupun, dalam ulasan ini, hal yang lebih mengarah pada kelengkapannya sebagai sebuah dokumenter dari sisi teknis adalah bahwa Lamtiar tak lantas hanya ingin seperti meneriakkan lapis masalah yang ia angkat. Secara manusiawi, ia juga menjadikan Invisible Hopes menjadi potret yang sangat manusiawi dengan penceritaan yang tertata dengan baik. Sekuens-sekuens yang dipilihnya berhasil menampilkan sejumlah detil yang membawa kita sebagai pemirsanya untuk bisa berempati dengan subjeknya dan menyadari masalah-masalah yang selama ini mungkin tak pernah kita pedulikan. Bangunan emosinya punya eskalasi yang baik menuju sekuens penutupnya yang menyentuh dengan unsur-unsur teknis termasuk pemilihan scoring yang tepat guna.

Lewat Invisible Hopes, Lamtiar memang tak hanya memaparkan, tapi juga menggugah kita terhadap subjek yang ia angkat. Percaya dan akhirnya setuju dengan perjuangan yang ingin dilakukannya. Dan itu artinya, ia berhasil. Bukan hanya jadi sebuah karya dokumenter yang cukup memukau di ranah yang jarang-jarang tersentuh audiens bioskop, lagi sebagai salah satu dokumenter lokal terpenting dalam beberapa tahun terakhir, mestinya lebih banyak lagi yang menyaksikan film ini. (dan)