Home » Dan at The Movies » CADO-CADO: DOCTOR 101 (CATATAN DODOL CALON DOKTER): TOKYO REVIEW

CADO-CADO: DOCTOR 101 (CATATAN DODOL CALON DOKTER): TOKYO REVIEW

CADO-CADO: DOCTOR 101 (CATATAN DODOL CALON DOKTER): GOOD INSIGHT ON BECOMING DOCTORS

Sutradara: Ifa Isfansyah

Produksi: CJ Entertainment, Radikal Pictures, 2016

cado-cado

Berbeda dengan sinema luar termasuk Asia, walau gemar sekali menghadirkan konflik-konflik medis, sinema kita belum punya satu film pun yang menjadi representasi profesi dokter dalam genre apapun. Merupakan produksi pertama perusahaan Korea CJ E&M dalam usaha mereka melebarkan sayap memproduksi film Indonesia, film yang diangkat dari novel komedi best seller karya Ferdiriva Hamzah, ‘Catatan Dodol Calon Dokter’ yang disingkat menjadi ‘Cado Cado’ dengan tambahan ‘Doctor 101’ di judul internasional ini agaknya sudah bisa mengarah ke sana. Sama seperti novel itu menjadi pionir bagi banyak pengikutnya – buku-buku komedi tentang pendidikan dokter dalam berbagai variasi kemasan.

Di balik alasan umum masuk Fakultas Kedokteran yang sering diplesetkan menjadi bahan candaan di masyarakat kita; demi jaminan penghasilan, gengsi atau pelancar mendapatkan jodoh, Riva (Adipati Dolken) sebenarnya tak pernah tahu yang mana alasannya selain ikut-ikutan sahabatnya sejak SMA, Evi (Tika Bravani) plus Budi (Ali Mensan). Kekonyolan demi kekonyolan pun selama pendidikan co-ass pun terjadi dan berkembang menjadi kompetisi saat munculnya Vena (Aurelie Moeremans), anak pemegang saham RS yang mengganggu sekaligus menyadarkan Riva atas hubungannya selama ini dengan rekan-rekannya termasuk perasaannya terhadap Evi, serta lebih dari itu, makna panggilan dari pilihannya selama ini.

Berbeda dengan pakem novelnya yang murni merupakan catatan pengalaman pribadi dari sudut pandang komedik Ferdiriva – berisi hal-hal yang disampaikan secara ngocol, perpaduan elemen dari skrip akhir yang ditulis Ardiansyah  Solaiman bersama Chadijah Siregar menggesernya ke ranah romcom yang justru lebih banyak diwarnai drama ketimbang komedi. Begitupun, Ifa masih berusaha menjaga balance-nya dengan tetap mencoba menginjeksikan percikan-percikan komedi lewat gambaran karakter-karakternya dan beberapa penyesuaian storytelling untuk kepentingan sinematis setelah pakemnya secara keseluruhan berubah cukup drastis dari perempat awal film.

Di satu sisi, ini memang merupakan resiko untuk fans novelnya yang bukan berjumlah sedikit. Namun begitu, dari POV pelaku profesinya sendiri, ‘Cado Cado’ sebenarnya memuat unsur-unsur profesi itu dengan cukup baik ke arah motivasi dan hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi seorang dokter atau calon dokter dalam overview keseluruhan soal ‘saving lives’ dan dilema-dilema yang dihadapi pelaku profesi itu. Skrip itu juga dengan jeli menyemat beberapa subkonflik soal keluarga, persaingan dan persahabatan yang diselipkan cukup enak – bahkan sebagian hadir dengan cukup menyentuh.

Hanya saja, mungkin keseimbangan dalam presentasi akhir-nya tetap terasa lebih dramatis ketimbang melucu. Tak bisa sepenuhnya disalahkan, paling tidak ia mengajak pemirsa di luar profesinya paham dengan konflik yang dihadapi para calon dokter yang tengah mengenyam pendidikan mereka – termasuk ke balutan ending yang meski terasa bombastis tapi mengemas konklusinya dengan baik serta menarik.

Di luar itu, untungnya ‘Cado Cado’ punya pilihan cast yang cukup solid untuk tetap membuat penceritaan Ifa mengalir dengan lancar. Tika Bravani tampil paling menonjol sebagai Evi, sementara Adipati Dolken dan Aurelie Moeremans membentuk chemistry bagus bersama sejumlah supporting cast lain dari Ali Mensan, Amec Aris, Cindy Valerie, Albert Halim, Rizky Mocil dan Rizka Dwi Septiana, yang meski tak tersorot banyak tapi berdiri di atas bentukan karakter dengan detil cukup tertata.

Sementara pendukung senior yang beragam dari Inggrid Widjanarko, Ikke Nurjanah, Gito Gilas, Donna Harun hingga Torro Margens serta Adi Kurdi sebagai Prof. Burhan yang killer – diganjar nominee FFI tahun ini dengan layak, bisa menyokong semua bersama sisi teknis dan keahlian profesi yang cukup bisa dipertanggungjawabkan dengan baik. Ini mungkin belum sepenuhnya sempurna, tapi paling tidak, ia sudah memberi insight bagus dalam bahasan profesi yang seringkali tertinggal dalam film-film kita tak lebih dari sebatas gimmick. (dan)