Home » Dan at The Movies » CHRISYE (2017)

CHRISYE (2017)

CHRISYE: THE UNTOLD SPIRITUAL JOURNEY OF INDONESIAN POP ICON

Sutradara: Rizal Mantovani

Produksi: MNC Pictures, Vito Global Visi, 2017

Durasi dua jam mungkin terasa tak cukup buat membicarakan Chrisye sebagai seorang icon musik pop Indonesia. Memilih satu karyanya di antara sebegitu banyak hits yang ada dalam rentang beberapa dekade saja sudah sulit. Namun memang, sebuah memoar tentang Chrisye agaknya sangat layak buat terus diperkenalkan ke generasi sekarang. Visi Damayanti Noor, istri mendiang dalam mengangkat sosoknya menjadi sebuah pendekatan cukup unik dalam sebuah untold story yang memang hampir selalu bisa menjadi penelaahan menarik ketimbang sebuah biopic linear. Ia memilih menghadirkan Chrisye dari kacamatanya, dan di situ, tak hanya soal istri dan suami, ada perjalanan spiritual yang terangkat lewat salah satu karya terpentingnya, Ketika Tangan dan Kaki Berkata – lagu dari album Kala Cinta Menggoda (1997) yang liriknya digubah oleh Taufik Ismail atas permintaan Chrisye.

Lagi-lagi, menuangkan memoar tokoh penting dalam rentang beberapa dekade jelas bukan hal yang mudah. Apalagi, bicara Chrisye berarti juga sedikit banyak akan mengarah ke sejarah musik pop kita dengan sejumlah nama-nama insan penting di industrinya. Saat pemilihan casting menjadi hal yang sangat krusial, beban terberatnya juga ada pada pemeran Chrisye dan Yanti di titik sentralnya.

Selagi nama Vino G. Bastian mungkin masih diragukan sebagian orang, untungnya, kiprahnya menghidupkan ulang Kasino di Warkop DKI Reborn, setelah sebelumnya berperan sebagai Djamin Ginting di biopic 3 Nafas Likas sudah terlihat sangat meyakinkan. Bahwa Vino tak hanya terus-terusan mau berkiprah sebagai idol di industri film kita, tapi juga sebagai aktor handal dalam segmentasi film-film biopic. Sementara Velove, meski mungkin tak pernah terbayang sebagai pilihan utama, ternyata juga bisa mengimbangi Vino sebagai Yanti yang buat fans Chrisye dikenal sebagai istri yang cukup mendominasi karir sang icon.

Chrisye pun dibuka dengan gambaran singkat awal karirnya melawan keinginan ayahnya (Ray Sahetapy) yang lebih menginginkan Chrisye (Vino G. Bastian) menjadi seorang insinyur. Menemukan tambatan hatinya pada Damayanti Noor (Velove Vexia) yang membawanya menjadi mu’alaf lantas membuka cakrawala baru dalam karirnya. Berlanjut merambah musik pop yang lebih komersil ke era karirnya di Musica Studios untuk menafkahi keluarga, ternyata juga memunculkan kegelisahan yang kemudian membawa Chrisye menempuh sebuah perjalanan spiritual menuju titik balik di antara kecintaannya terhadap musik, kesetiaan pada keluarga sekaligus keresahan terhadap talenta dan perjalanan karirnya sendiri.

Dalam banyak keterbatasan antara hak penggunaan lagu dan banyak sisi karir Chrisye yang terkait ke pihak-pihak lain, skrip yang ditulis Alim Sudio bersama Yanti untungnya cukup fokus menggelar visi mereka soal Chrisye. Batasan-batasan terhadap pembahasannya tak pernah sekalipun lari keluar dari lingkup yang ingin mereka sampaikan buat rendisi dan pengenalan ulang sosoknya. Di situ, icon-icon penting musik pop yang berperan dalam perjalanan karir Chrisye dari Guruh Gipsy ke masa-masa akhir karirnya dimunculkan cukup efektif meskipun sebagian masih miss dalam soal ketepatan casting, namun paling tidak, lagu-lagu yang mereka pilih dalam keterbatasan itu sudah sangat mampu mewakili rentang karirnya.

Ada Lilin-Lilin Kecil yang sangat iconic buat tahapan awal karir Chrisye setelah Guruh Gipsy dan pengisi soundtrack, Sendiri yang merupakan kiprah awalnya di era Musica, Aku Cinta Dia dan Kisah Cintaku yang sangat relevan sebagai jembatan ke generasi sekarang karena masih terus direndisi ulang artis-artis baru, dan Sabda Alam yang dihadirkan dalam bentuk instrumental sebagai score latar dari Aghi Narottama dan Bemby Gusti. Sementara Ketika Tangan dan Kaki Berkata yang menjadi titik balik pembahasan soal perjalanan spiritual itu menggema membungkus pertiga akhir yang dihadirkan Rizal Mantovani secara menyentuh sekaligus menggetarkan. Semua sematan lagu-lagu ini bisa memicu reaksi yang jarang-jarang kita dapat dari film-film bertema musik hingga musikal Indonesia; sing-along audience di bioskop.

Ini sekaligus menjadi kekuatan terbaik Chrisye yang mulai bergerak konsisten setelah pertiga awal yang cukup bumpy dari penyutradaraan Rizal. Ada faktor religi yang mungkin memang perlu di-tone down untuk menghindari pembatasan segmentasi pemirsanya namun memunculkan resiko dramatis yang kurang mengena, lantas pengaturan blocking di sejumlah adegan penting pun terasa agak kacau walaupun penataan artistik dan teknikal lainnya sudah terlihat sangat berusaha di tengah keterbatasan skala produksi.

Namun ketika Chrisye mulai menggelar rendisi momen-momen pentingnya yang kita kenal; dari kehadiran karakter-karakter yang memunculkan trivia soal industri musik pop Indonesia hingga pemotretan cover album, scene-scene studio recording dan rendisi playful Aneka Ria Safari dengan kecanggungan dansa patah-patah Chrisye yang iconic sejak album Aku Cinta Dia (juga memunculkan karakter Adjie Soetama, pencipta lagunya), Rizal benar-benar terlihat menemukan kekuatan penceritaannya menuju pendalaman pergulatan batin dan spiritual tokohnya. Meski bagian-bagian rendisi konser tunggal Chrisye mungkin bisa dihadirkan dengan nuansa lebih megah lagi, namun tak sampai mengganggu eskalasi emosinya.

Menghidupkan kembali sosok Chrisye, performa Vino G. Bastian tampil luar biasa meyakinkan. Di sepanjang film, tak lagi melihat Vino, kita seakan melihat Chrisye benar-benar dihidupkan kembali melalui rentang panjang perjalanan hidup dan karirnya. Begitu pula dengan Velove sebagai Yanti yang meski tak sempurna oleh pengarahan Rizal di bagian-bagian awal namun semakin kuat dan konsisten sebagai sosok istri pop icon yang sangat menekankan dominasi kuat dalam perjalanan karir sosoknya.

Bersama mereka, ada sejumlah cast yang perlu dicatat dalam memerankan tokoh-tokoh penting industri musik kita. Verdi Solaiman bermain paling baik sebagai A Ciu, pentolan Musica Studios di eranya, kemudian juga ada Roby Tremonti yang tampil dengan gestur pas memerankan Jay Subiyakto, Andy Arsyil Rahman sebagai Erwin Gutawa di balik kemiripan tata rias yang cukup baik, Neni Anggraeni sebagai Indrawati Widjaja aka Ibu A Cin Musica dan tentunya Fuad Idris sebagai Taufik Ismail. Selagi Dwi Sasono mungkin agak mengundang tawa sebagai Guruh Soekarno Putra serta Tria Changcuters dan Irsyadillah yang sama sekali tak pas masing-masing sebagai Eddy Sud dan Addie MS, dan Cholidi Asadil Alam yang tak cukup kuat sebagai Surya, sosok yang seharusnya sangat penting di balik perjalanan spiritual Chrisye, masih ada deretan nama-nama lain di cast-nya; T. Rifnu Wikana, Ayu Dyah Pasha, Ray Sahetapy, Pieter Taslim, Ali Mensan yang cukup bisa menutupi extras lain yang agak mengganggu flow penceritaannya secara keseluruhan.

Begitupun, Chrisye tetaplah merupakan sebuah biopic terhadap icon yang sangat penting dalam sejarah industri musik pop kita. Pada akhirnya, Rizal dan timnya bisa sukses menutupi sejumlah kekurangan yang ada – kebanyakan dalam keterbatasan skala produksi dan ketidaktepatan casting karakter-karakter pendukung, dengan pendekatan-pendekatan penting yang menjadi syarat paling mutlak dalam sebuah biopic. Rendisi nostalgik terhadap momen-momen yang sangat lekat terhadap sosok Chrisye, membawa kita menelusuri bagian-bagian pergulatan sosoknya yang selama ini mungkin luput dari perhatian kita serta yang terpenting; menghidupkan kembali sosoknya ke depan semua fans dan pemirsanya, juga meneruskan legacy-nya ke generasi baru. Tak hanya tersentuh bahkan berkali-kali merinding di tengah visi yang ingin mereka bahas, di sini kita bisa benar-benar melihat Chrisye kembali hidup, dan itu rasanya sudah jauh lebih dari cukup. (dan)