Home » Dan at The Movies » BELOK KANAN BARCELONA (2018)

BELOK KANAN BARCELONA (2018)

BELOK KANAN BARCELONA: A GLOBE-TROTTING ROMCOM THAT OFTEN WENT GONZO YET ALSO HAS WINNING MOMENTUMS

Sutradara: Guntur Soeharjanto

Produksi: Starvision, CJ Entertainment, 2018

Image: avatara88.com

Tampak hanyalah sebagai sebuah romcom nasional dengan gimmick foreign locations di permukaan, sebagai sebuah adaptasi dari novel berjudul hampir sama karya Adhitya Mulya, Ninit Yunita, Alaya Setya dan Iman Hidajat yang juga menuangkannya ke skrip film, Belok Kanan Barcelona sungguh bukan materi yang mudah untuk diangkat ke layar lebar. Bukan masalah 4 karakter utama, tentunya, karena sudah banyak juga romcom dengan konsep ansambel, tapi setting plot meliputi 4 benua dengan banyak negara dan kota; dari Indonesia, Vietnam, Senegal, Pantai Gading, Maroko, Denmark dan Spanyol yang dikemas di 4 lokasi syuting selain Indonesia, jelas perlu effort lebih termasuk menyangkut soal extras. Apalagi, putaran plotnya sampai membawa background perang dan pesawat jatuh.

Adalah tugas cukup berat bagi sutradara Guntur Soeharjanto yang belakangan lekat ke tema-tema drama reliji buat mengemas keseluruhan kisah yang memang tetap punya unsur itu (reliji) di dalamnya. Untungnya, deretan cast-nya punya potensi jualan cukup kuat sebagai sebuah star-studded ensemble. Dan produksi Starvision belakangan juga tak pernah mengabaikan faktor look di film-film mereka. Seperti apa hasil akhirnya, juga dengan keterlibatan CJ Entertainment dari Korsel, dari semua sisi ini memang merupakan sebuah high stakes material dalam standar rata-rata bujet genre romcom kita.

Francis (Morgan Oey), Retno (Mikha Tambayong), Farah (Anggika Bolsterli) dan Yusuf/Ucup (Deva Mahenra) menyimpan hubungan rumit sejak bersahabat di masa SMA. Francis dan Retno saling mencintai namun terhalang oleh perbedaan agama, sementara Farah diam-diam menyukai Francis dan Yusuf diam-diam menyukai Farah. Tambatan rasa masing-masing ini tak kunjung selesai meski mereka tetap berhubungan jarak jauh di sela kesibukan kerja terpisah negara, hingga di satu saat, rencana pernikahan Francis dengan tunangannya, Inez (Millane Fernandez) memicu konflik yang sudah lama terpendam di antara keempatnya.

Secara keseluruhan, skrip yang ditulis oleh keempat penulis novel Traveler’s Tale – Belok Kanan: Barcelona ini agaknya sudah cukup efektif memadatkan keseluruhan plotnya untuk sebuah film berdurasi 102 menit. Tentu masih harus berhadapan dengan detil-detil yang kurang dan tak bisa tidak – back and forth storytelling yang kadang masih diwarnai beberapa bagian yang mungkin tak diperlukan (plot meninggalnya ayah Ucup – misalnya) dan sederet aktor senior yang tampil sekelebat dari Cok Simbara, Cut Mini, Karina Suwandi dan aktris sinetron 90an Eksanti, ia juga jelas punya kewajiban menyuguhkan dua elemen utamanya; romansa dan sempalan komedi yang bukan hanya ada di jejas sejatinya sebagai romcom, juga dalam kepentingan jualan di trend film kita. Termasuk menampilkan komika-seleb medsos seperti Ananta Rispo, Yusril Fahriza dan Atta Halilintar – bahkan Bayu Skak di salah satu adegan tribute ke Yowis Ben.

Sayangnya, elemen yang sebenarnya sudah dengan sendirinya terbangun di atas konsep kuat soal menyatakan perasaan – ini tertuang dalam salah satu dialog esensialnya – fortune favors the bold, di mana karakter Francis dan Retno tetap berada di ranah mereka masing-masing sementara Farah dan Yusuf yang sibuk bergerak ke sana ke mari di antaranya, masih harus berhadapan dengan sempalan komedi nyeleneh yang seringkali terasa ke luar batas. Lagi-lagi, walaupun ini pilihan untuk meringankan kompleksitas sekaligus mungkin – menyemat justifikasi soal preferensi reliji yang terasa sangat sepihak, dari adegan pramugari ditonjok di tengah chaos di atas pesawat hingga gambaran pastor dan suster saling jatuh cinta dan pastinya aftermath crash landing yang melenceng dari logika internal pengisahannya, yang terbaca adalah sebuah ketidakpekaan penulisnya dalam keseluruhan penyampaian itu. Mereka bisa saja memilih sisi lain yang lebih halus, seperti misalnya pasangan seagama yang terganjal perbedaan etnis atau yang lain untuk justifikasi pilihan karakter utamanya, misalnya, yang tetap bisa digambarkan tak kalah komikal ketimbang apa yang akhirnya kita saksikan di layar.

Namun untungnya, pengarahan Guntur dan penyuntingan Aline Jusria dalam bangunan-bangunan adegannya bisa menyiasati belokan-belokan serba gonzo ini dengan baik. Bukan hanya setup kuat di setiap flashback masa SMA di atas chemistry kuat oleh Morgan – Mikha – Anggika dan Deva, mereka bisa mengemas setiap interaksi romansa dalam Belok Kanan Barcelona dengan ketepatan momentum yang membuat kita bisa dengan cepat melupakan kekurangan yang baru tampil di depan mata kita sebagai pemirsanya. Ada beberapa simetri cantik dari skrip Adhit dkk yang tertuang dengan bagus kalau kita mau menyimaknya dengan cermat selain juga sangat tertolong dengan scoring Andhika Triyadi dan pemilihan lagu-lagu yang tak kalah cakep; rendisi Untuk Dikenang-nya Jikustik oleh Endah n Rhesa, Sahabat Sejati dari Sheila on 7, di antaranya, ataupun Bicara dari The Overtunes dan Monita Tahalea. Satu adegan di tengah chaos landasan bandara Pantai Gading yang aslinya disyut DoP Padri Nadeak di Cibubur dengan 500 extras etnis luar, salah satunya – merupakan scene terbaik karena bisa memberikan ilusi sinematis yang sangat baik melebihi scene-scene lain dengan tingkat kesulitan cukup tinggi seperti scene di tengah padang gurun atau interaksi karakter Yusuf dengan petugas imigrasi yang bisa meluncur dengan mulus dengan sisi jenakanya. Dan lagi satu yang terpenting, sematan reliji yang tak bisa tidak dibilang tersembunyi di baliknya, walau mungkin bisa disiasati tanpa memuat dialog-dialog verbal, paling tidak bisa muncul cukup halus dengan simbolisasi yang sudah didahului setup baik soal souvenir di pengujungnya.

Namun tetaplah, aspek terbaik yang tampil ke permukaan terdepannya adalah chemistry di antara ansambel utamanya. Morgan Oey tetap tampil dengan persona terkuatnya di genre sejenis dengan detil permainan piano yang tak mau serba gampang seperti rata-rata film kita, sementara Deva Mahenra – seperti dalam Sabtu Bersama Bapak, yang walau bisa jadi sangat mendistraksi bangunan dramatiknya lebih ke arah komedi nyeleneh, di sini tetap mengisi bagiannya dengan cukup seimbang. Melebihi mereka, pengarahan Guntur ternyata juga bisa menggali sisi lebih dari dua pemeran wanitanya; Mikha Tambayong dan Anggika Bolsterli dalam penampilan terbaik mereka di sini.

Percikan chemistry ini jugalah yang pada akhirnya membuat Belok Kanan Barcelona bisa menyelamatkan diri dari sejumlah belokan nyelenehnya. Seolah saat kita baru saja menarik nafas dan menggeleng-gelengkan kepala melihat gonzo turnover-nya, yang walau mungkin memang diperlukan untuk menaikkan urgensi pesannya secara ekstrim tapi seringkali tak bisa tampil cukup halus, pergantian adegan berikutnya bisa meluncur dengan romantic sparks yang tepat membuat kita dengan cepat melupakan kekurangannya. Secara keseluruhan ia boleh jadi tak sempurna bahkan dipenuhi belokan-belokan yang terasa ke luar batas, namun lagi – sebagai sebuah romcom dengan tingkat pertaruhan sebesar ini buat menyampaikan pesan simpel soal hati, matters of the heart – that is, Belok Kanan Barcelona punya ketepatan momentum yang tak selamanya bisa didapat film-film sejenis di kotaknya. (dan)