Tak banyak mungkin moviegoers sekarang, kecuali penikmat fotografi atau dokumenter yang mengenal Yuichi Hibi, sineas yang sebelumnya lebih dikenal sebagai fine art photographer Jepang terkenal dan berkarir di New York. Pindah ke New York sejak 1988, setelah sempat berkarir sebagai aktor dan bermain di mahakarya Akira Kurosawa, Ran (1985), New York dalam karya-karya fotografinya dalah New York yang kita lihat dalam Taxi Driver atau Midnight Cowboy. Menggelar banyak pameran dan merilis buku-buku fine art photography, pada tahun 2011 ia melanjutkan mimpinya sebagai filmmaker lewat dokumenter A Weekend with Mr. Frank tentang fotografer veteran Robert Frank, berlanjut ke dokumenter keduanya di tahun 2016 tentang aktor legendaris Jepang Ken Takakura, Ken San, yang mendapat slot premiere di Cannes 2016 dan dirilis di bioskop-bioskop Jepang Agustus 2016. Dokumenter ini berisi interview dengan banyak aktor serta sineas terkenal seperti Michael Douglas, John Woo, Yoji Yamada, Paul Schrader dan Martin Scorsese.
Tahun ini ia banting stir membuat feature film berjudul Erica 38 yang di-premiere-kan di Okinawa International Movie Festival. Diproduksi Yoshimoto, film yang juga diproduseri dan ikut dibintangi aktris legendaris Jepang, Kirin Kiki, yang baru saja tutup usia belum lama ini, mengangkat kisah nyata seorang wanita berusia 60 tahun yang melakukan penipuan investasi dan kemudian melarikan diri ke Thailand dengan nama baru – Erica, dan mengaku berusia 38 tahun untuk melanjutkan tindak penipuannya. Hadir di festivalnya, Yuichi menyempatkan slot wawancara eksklusif untuk mengulik karir, Erica 38 dan karyanya mendatang. Berbeda dengan wawancara biasa, ia tampak antusias untuk duluan bertanya soal tanggapan ke filmnya. Berikut adalah kutipan wawancara yang berlangsung santai seperti obrolan itu.
Sudah nonton filmnya (Erica 38)?
Oh ya, saya baru saja menontonnya.
Bagaimana?
Saya suka sekali filmnya, dan tentu, karena Anda adalah fotografer, selain cerita yang menarik dan akting luar biasa, yang paling saya sukai adalah shot-shot yang memanjakan mata di sepanjang filmnya.
Oh great (tertawa). Oke, mari kita mulai.
Anda adalah seorang fotografer handal yang juga punya nama sampai AS bahkan mendunia. Ketika turun membuat feature debut non-dokumenter seperti ini, apakah Anda memakai DoP atau terjun sendiri? Boleh tahu dasar pemikirannya seperti apa?
Oh ya. Saya memilih bekerja dengan orang lain yang dapat berkomunikasi dengan saya. Tentu karena latar belakang profesi saya, saya juga tak bisa menahan ikut melakukan setup pengambilan gambar di sana-sini, tapi anggaplah ini seperti berkolaborasi.
Mengapa tak melakukannya sendiri seperti Alfonso Cuaron di Roma?
No, tapi ya, ya, saya memikirkannya, karena saya juga sudah menyaksikan Roma dan melihat tantangannya, juga dalam menggunakan aktor non-profesional, tapi pada akhirnya, saya pikir saya memang lebih berpikir old-fashioned. Bukan saja menggunakan DoP untuk berkolaborasi di lapangan, saya juga memilih aktor-aktor profesional karena saya ingin berkomunikasi dengan mereka.
Oke, lantas bagaimana cara Anda memilih DoP yang Anda anggap bisa menuangkan ide-ide Anda ke dalam shot-shot filmnya?
Dia sebenarnya teman saya dan saya benar-benar membicarakannya terlebih dahulu sebelum kita bersama-sama ke set agar dia mengerti yang saya inginkan sebagai sutradara, dan memang benar, kebanyakan saya yang menentukan posisi pengambilan gambarnya. Pada dasarnya saya benar-benar teliti memilih orang-orang yang akan bekerjasama dengan saya, walau terkadang kesalahan juga bisa jadi sesuatu yang berbuah bagus.
Anda terlihat mencintai sekali profesi ini, saya akan jujur Anda terlihat jauh lebih muda dari usia ketika saya mencari informasi lebih tentang Anda.
Ya, usia saya 55 (tertawa). Terimakasih mengatakan itu.
Anda sebelumnya juga bekerja sebagai seorang aktor…
Ya saya sebenarnya ingin sekali menjadi seorang aktor…
Apa peran Anda di Ran karya Akira Kurosawa?
Ya, saya berperan sebagai kakak kedua tokohnya. Tapi tahukah Anda? Pada saat itu saya benar-benar tidak tahu siapa Kurosawa. Saya masih sangat muda kala itu, dan lebih tumbuh besar mengagumi Robert De Niro, Al Pacino, dan saya suka sekali Taxi Driver. Baru setelah itu saya menyadari betapa besarnya nama Kurosawa. Saya juga tidak pernah sekolah film hingga saya memulai profesi fotografer, barulah saya belajar menonton lebih banyak film.
Bagaimana awalnya Anda terjun menjadi seorang fotografer?
Tidak ada sebenarnya yang menginspirasi saya saat itu. Saya datang dari generasi film (non-digital). Saya akan memberi contoh misalnya ketika audisi, kita harus punya head shot. Jadi dalam film, dalam 36 frame, kita harus memilih foto di lab bersama fotografer. Ini yang membuat saya berpikir waktu itu, kenapa saya harus membayar mahal fotografer saat saya bisa membuatnya sendiri. Saya pun mulai mencoba still photographer. Lalu, lab tempat saya sering bekerja, ada banyak sekali fotografer di dalamnya, dan saya mulai berteman dengan fotografer-fotografer terkenal itu. Saya ingin membuat film tapi saya tak bisa menggambar storyboard, jadi saya mulai mempelajari fotografi. Saya mulai mengembangkan portfolio, contact sheet dan seseorang mulai melihat pekerjaan saya. Dia bilang, kamu harusnya menjadi fotografer profesional. Dari situlah hasrat itu mulai berkembang dan untungnya jalan saya cukup mulus. Sejumlah galeri mulai mengenali karya-karya saya, saya mulai melakukan ekshibisi, kemudian ditawari membuat buku fotografi, dan semuanya bergulir seperti sekarang tanpa saya duga. Dalam hati, sebenarnya saya masih sangat ingin mengejar karir menjadi aktor atau filmmaker. Saya pikir ini seperti blessings in disguise. Anda kenal Anthony Quinn? Dia selalu ingin menjadi pelukis, bukan aktor, tapi nasibnya berkata lain, begitupun, setelah dia sukses menjadi aktor, dia kembali melukis dan saya melihat lukisan-lukisannya. Luar biasa indah. Intinya, kita punya keinginan namun kadang nasib berkata lain mengantarkan kita ke tempat lain yang juga bisa kita sukai sama dengan keinginan sebelumnya. Saya tak pernah ingin menjadi fotografer. Hingga sekarang. Bahkan ketika semua sudah kenal saya, pameran demi pameran, film, buku, saya tetap agak menolak menyebut diri saya sebagai fotografer (tertawa).
Mengapa Anda kini ingin membuat feature film ketimbang dokumenter seperti yang Anda lakukan sebelumnya?
Seperti saya katakan tadi, saya sangat ingin membuat film.
Di luar dokumenter?
Saya malah tidak pernah berniat membuat film dokumenter. Saya selalu mau membuat feature film bergenre drama. Hanya saja, kesempatan yang datang ke saya adalah dokumenter. Saya tidak mengatakan bahwa dokumenter lebih mudah dibuat. Ada kesulitan-kesulitan berbeda, tapi kesempatan yang saya dapatkan adalah dokumenter terlebih dahulu dan saya mengambilnya, karena juga sejalan dengan apa yang saya lakukan dengan fotografi.
Bagaimana Anda akhirnya memilih cerita ini, kisah nyata soal Erica sebagai feature pertama Anda?
No, saya tidak memilihnya sendiri. Ada banyak proyek dalam hidup saya yang tidak saya pilih sendiri. Kesempatan itu yang datang ke saya. Begini, almarhum aktris Kirin Kiki mendatangi saya dengan proyek ini, dari beberapa proyek sebelumnya yang urung terlaksana karena masalah finansial. Tapi kita berteman sejak lama, ngobrol untuk mencari proyek. Di bulan Mei 2017, dia menelepon saya dan mengatakan apakah Anda tahu cerita seorang wanita yang baru saja tertangkap karena kasus investment scam? Wanita itu berusia 60 tahunan tapi berpura-pura menjadi usia 38 tahun dan menipu banyak orang dengan nama Barat. Berita ini cukup besar kala itu, jadi saya juga membacanya. Saya lantas bertanya apakah Anda (Kirin Kiki) mau memerankan karakter ini? Dia menjawab tidak, ada seorang aktris bernama Miyoko Asada yang sudah saya anggap seperti anak sendiri, mantan idol yang selama ini (menurutnya) tidak mendapat peran-peran terlalu bagus. Dia bukan aktris terbaik, tapi saya kira dia cocok sekali un tuk peran ini dan dia meminta saya untuk menyutradarainya.
Saya baru mau menanyakan kalau Anda yang memilih Miyoko Asada untuk memerankan Erica…
No, itu bukan pilihan tapi adalah syarat mutlak dari Kirin. Kirin memang membuat film ini untuk Miyoko Asada. Kirin meminta saya menulis karena dia belum membuat skrip dan belum ada yang membiayai proyeknya, dan saya mulai melakukan riset soal si wanita dan kasus penipuannya. Penulisan skripnya memakan waktu 6 bulan. Anda tahu, Francis Ford Coppola mengatakan bahwa skrip yang bagus memerlukan waktu 6-8 bulan untuk ditulis dan saya percaya itu.
Apa tantangan membuat feature film dibandingkan dengan dokumenter?
Keduanya adalah hal yang sangat berbeda, tapi saat saya membuat dokumenter pun, saya berusaha melakukan pendekatan-pendekatan drama untuk menyampaikan subjeknya. Sama seperti dokumenter, ketika saya membuat feature, pendekatan yang saya lakukan adalah membuat pengisahannya berjalan se-realistis mungkin. Orang harus percaya dengan cerita yang kita angkat. Anda sudah menonton film dokumenter saya yang terakhir?
Ken San? Maaf, saya belum menyaksikannya, tapi saya sangat menyukai Ken Takakura sebagai aktor.
Ah, Anda harus menyaksikannya.
Bagaimana dengan peran-peran lainnya? Apakah Anda terlibat langsung dalam menentukan cast dan crew lainnya?
Miss Kirin selalu datang dengan usulan-usulannya, tapi memang dia memberikan saya ruang luas dalam keputusan-keputusan kreatif. Jadi saya kira ya, saya terlibat langsung walaupun sebenarnya Kirin sebagai produser sudah punya perencanaan yang matang dalam hal itu.
Berapa lama waktu syuting Erica 38?
Anda akan terkejut. 13 hari termasuk shot di Thailand.
Wow, that’s fast.
Yeah, 10 hari di Jepang dan 3 hari total di Thailand. Saya sebenarnya tidak ingin mengerjakannya secepat itu. Film dokumenter saya tentang Ken San (Ken Takakura) perlu hampir 2 tahun dalam pengerjaannya. Ada level-level kesulitan yang berbeda, tapi ya, ini dikerjakan dengan sangat cepat.
Apakah karena semua sudah disiapkan sebaik-baiknya atau Anda harus bekerja lebih berat bersama seluruh crew?
Kami harus bekerja lebih berat karena memang mengejar waktu untuk menghemat bujet. Crew saya sering tidak tidur selama syuting. Kami juga menyisakan sehari untuk melakukan audisi di Thailand untuk memilih aktor-aktor lokalnya. Untunglah ada production company di Thailand yang membantu kami melakukan itu.
Pilihan Thailand sendiri, apakah memang datang dari kisah nyatanya?
Ya, benar. Wanita itu memang terbang ke Thailand di kisah nyatanya.
Anda membuat sebuah drama tapi Erica 38 terasa seperti sebuah thriller psikologis bersama tema heist movie yang diusungnya. Tema-tema soal investment scam juga jarang saya lihat di film-film Jepang.
Ya, saya kira begitu, terima kasih.
Bisa cerita sedikit soal proses hingga Erica 38 mendapatkan bujet produksinya?
Miss Kirin yang mengurus semua proses itu dan menemukan partnernya. Saya cukup senang dengan prosesnya dan saya rasa PH-nya sangat akomodatif untuk mengatur semua yang saya perlukan, juga kebebasan-kebebasan kreatif yang diberikan pada kami. Tapi bagaimanapun, di film berikutnya, saya memilih untuk memproduksinya sendiri, karena berharap pada PH besar juga punya tantangan dan resiko, di mana biasanya mereka sudah punya wishlist soal cast, crew dan sebagainya.
Oke, jadi ada proyek selanjutnya? Feature atau dokumenter?
Oh yeah. Saya sudah syuting satu film lagi, feature, dan ide dasarnya adalah perjalanan hidup saya sendiri, tapi ada banyak aktor terkenal yang memerankannya. Seperti sebuah biografi, tentang seorang lelaki, anak tertua dari tiga bersaudara yang tinggal di New York selama 25 tahun, dan akhirnya harus kembali ke Jepang saat kakak keduanya meninggal. Ini sebuah perjalanan untuk menemukan kembali dirinya, tentang kampung halaman.
Terdengar seperti film-film Ozu soal rekonsiliasi keluarga.
In a way, benar. Soal generasi tua, generasi muda dengan karakter nenek yang masih hidup di tengah mereka. Ada adegan percakapan tentang pencarian hal-hal yang hilang; yeah, saya setuju itu.
Saya kira sinema Jepang memang bagus sekali ketika mengangkat tema-tema soal keluarga dalam keseluruhan cakupan budayanya.
Yeah, you know what? Tolong kenalkan saya dengan filmmaker-filmmaker yang bagus dari Indonesia, kirimi saya email.
Will do, sir.
Erica 38 akan dirilis di bioskop-bioskop Jepang mulai 7 Juni 2019.