Home » Dan at The Movies » UNDER THE OPEN SKY: DRAMA MENGGUGAH SOAL REHABILITASI DAN PEMULIHAN JIWA

UNDER THE OPEN SKY: DRAMA MENGGUGAH SOAL REHABILITASI DAN PEMULIHAN JIWA

UNDER THE OPEN SKY

Sutradara: Miwa Nishikawa

Produksi: Warner Bros. Japan, 2020

Ada yang selalu spesial soal bagaimana sinema Jepang menyampaikan penceritaannya. Tak di karya-karya mainstream maupun arthouse. Sebagian pengamat dan penikmatnya menganggapnya bergerak dari pengaruh sineas-sineas legendaris Jepang macam Yasujiro Ozu ataupun Akira Kurosawa yang bahkan piawai pula dalam action staging, yakni soal investasi emosi. Tak pernah main-main soal ini dalam bangunan dramatisasinya, sinema Jepang rata-rata tak pernah terburu-buru dalam proses menanamkan emosi pada audiensnya tanpa jatuh ke ranah melodramatis yang serba meledak-ledak. Ini, menjadi semacam budaya khas sinema mereka yang banyak memengaruhi sineas lain di luar negaranya, bahkan mungkin, sebagian dari filmmaker kita di sini dan rasanya tak akan terbantah terutama oleh para penyuka yang banyak terekspos dengan film-film mereka.

Under the Open Sky (Subarashiki Sekai; judul asli dalam bahasa Jepang), karya terbaru sutradara wanita Miwa Nishikawa pun tak jauh dari itu. Dalam pendekatan gaya yang mirip dengan salah satu sineas wanita lain di sinema kontemporernya, Naomi Kawase, juga gaya Hirokazu Kore-eda, mentornya, yang sangat terasa, film yang diangkat dari novel karya Ryuzo Saki ini membawa Nishikawa kembali setelah vakum 4 tahun sejak film terakhirnya, The Long Excuse (2016). Ditayangkan dalam slot premiere pertama kali di Toronto International Film Festival, ia mengangkat tema kriminal yang kerap menjadi latar di novel-novel Saki (salah satu yang paling dikenal adalah Vengeance is Mine) sebagai karya adaptasi pertamanya, namun bukanlah sebuah film aksi, Under the Open Sky merupakan sebuah drama tentang pemulihan dan penerimaan diri yang dihidupkan oleh akting jempolan aktor legendaris Jepang, Koji Yakusho.

Masao Mikami (diperankan Koji Yakusho) yang baru saja menyelesaikan 13 tahun masa hukumannya harus menjalani rehabilitasi untuk kembali ke masyarakat. Didakwa membunuh dengan latar belakangnya di organisasi Yakuza, Mikami ternyata tak semudah itu bisa diterima oleh lingkungannya. Mencoba mencari pekerjaan baru, keberadaannya menarik perhatian produser dan sutradara TV, Yoshizawa (Masami Nagasawa) dan Tsunoda (Taiga Nakano) yang ingin memanfaatkannya dalam sebuah reality show di balik janji membantu menemukan kembali ibu Mikami. Apa yang terjadi kemudian bukan hanya sekadar usaha Mikami menghadapi berbagai macam reaksi orang-orang di lingkungannya, tapi juga benturan demi benturan sosial yang sewaktu-waktu dapat menyeretnya kembali ke masa lalu kelamnya.

Dipoles oleh skrip adaptasi yang ditulis oleh Nishikawa sendiri, Under the Open Sky secara tak terduga menjadi sebuah komen sosial yang luar biasa kuat soal perubahan zaman dan banyak hal aktual. Tak hanya soal benturan sosial dan kondisi ekonomi, tapi juga keberadaan mantan kriminal dan Yakuza termasuk dalam sinema-sinema bergenre Yakuza yang kini mengarah ke isu soal rehabilitasi masyarakat baru di tengah ekspektasi sosial yang ada. Tapi tentu, Under the Open Sky – apalagi di tengah ansambel mumpuni dengan aktor sekelas Yakusho di fokus sentralnya, tak lantas bermain di dunia satu dimensi yang mengeksploitasi penolakan-penolakan masyarakat secara melodramatis.

Nishikawa membawa kita mengikuti proses struggle karakter utamanya yang digambarkan secara abu-abu ini untuk pelan-pelan beradaptasi dengan sangat manusiawi di tengah proses interaksi yang turut memengaruhi motivasi dan perjalanan karakter-karakter lain di sekelilingnya. Di tengah-tengahnya, tak peduli ke mana arah ujungnya yang mungkin saja bisa tertebak, Nishikawa memuat percikan-percikan menyegarkan serta harapan, terkadang bahkan terasa sangat playful, untuk membawa kita memahami manusia seperti apa sebenarnya yang ada di depan kita dan membuat empati kita mengakar bersama investasi emosi yang terbangun dengan sangat kuat.

Kita, sebagai penontonnya, seolah dibawa ke tengah-tengah pergulatan Mikami bersama perubahan-perubahan yang diimbasnya terhadap orang-orang di sekitarnya, berdiri seperti karakter-karakter pendukung yang ada untuk bergerak bersama putaran-putaran penceritaannya. Dan Yakusho menerjemahkan semua kompleksitas karakter ini dengan sangat konsisten sekaligus elegan dan dipenuhi wibawa yang terjaga.

Departemen teknisnya pun tak pernah mengecewakan. Di tengah dramatisasi yang bergerak perlahan tanpa sekalipun terburu-buru, selayaknya sinema kontemporer Jepang yang dibahas tadi, sinematografi Norimichi Kasamatsu cermat menangkap tiap lapis sosial dalam gambaran masyarakat lewat komposisi visual yang cukup detil untuk memberi penekanan ke setiap karakternya. Begitu pula iringan scoring dari Masaki Hayashi.

Under the Open Sky pada akhirnya tetap bisa tampil emosional sekaligus terasa tak pesimistis bahkan ketika ia menyelam dengan satu dua komen sosial yang serius dan cenderung agak gelap, juga cukup meledak kala narasi akhir yang dikemas dalam sebuah statement penting soal rehabilitasi dan pemulihan jiwa subjeknya. Terhadap satu, dua bahkan lebih Mikami-Mikami yang lain, mungkin, Nishikawa agaknya tengah meneruskan pesan dari Saki dalam materi sumbernya buat mengingatkan kita untuk lebih memahami ketimbang menghakimi. (dan)

Under the Open Sky menjadi salah satu film unggulan di line up event film tahunan Japanese Film Festival yang digagas oleh The Japan Foundation dan akan berlangsung secara online dari 14 hingga 27 Februari 2022